Kampanye #dirumahaja pada saat pandemi COVID-19 bergema. Ini sebagai langkah antisipasi penyebaran virus yang telah menginveksi lebih dari 10 juta orang dan korban meninggal dunia lebih dari lima ratus ribu orang di seluruh dunia. Berbagai instansi pemerintah kemudian memberlakukan bekerja dari rumah atau lebih dikenal sebagai Work From Home (WFH). Termasuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sejak medio Maret 2020 sampai dengan akhir Mei 2020, hampir seluruh pegawai DJP bekerja dari rumah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menginstruksikan hal ini pada saat rapat bersama jajaran pimpinan unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan pada 19 Maret 2020. “Semua Eselon I tolong di rumah saja, dijaga semua stafnya. Please, take care of them for me,” pesan Sri Mulyani.
Kemudian banyak cerita mengiringi perjalanan DJP dalam bekerja dari rumah. Waktu kerja memang menjadi panjang seperti tidak berjeda. “Kami menjadi narasumber untuk wawancara penelitian seorang mahasiswa. Kami rapat melalui Zoom. Lima menit menjelang berbuka puasa sesi wawancara itu belum juga kunjung usai kalau tidak segera kami tutup,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Berita, Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Tedi Iswahyudi kepada Intax beberapa waktu lalu.
WFH juga identik dengan bekerja secara daring dan tanpa melalui kegiatan tatap muka secara langsung. Hal baru bagi pegawai DJP yang selama ini masih menggunakan cara kerja konvensional. Dengan WFH, interaksi yang dilakukan antarpegawai sebagian besarnya dilakukan melalui media virtual.
Kepala Seksi Kerjasama dan Hubungan Masyarakat Perpajakan, Kantor Wilayah DJP Sulawasi Utara, Tenggara, Gorontalo, dan Maluku Utara Yayuk Widianingsih yang menjalani WFH di Surabaya mengungkapkan, jarak Manado dan Surabaya menjadi tidak masalah. Tidak ada kendala jarak karena semua dilakukan secara virtual. “Waktu kemarin WFH, pekerjaan kami berjalan sesuai rencana karena anggota-anggota saya yang bagus dan bertanggung jawab,” kata Yayuk kepada Intax ketika dihubungi secara terpisah.
Sedangkan Arif Susanto, pegawai Kantor Wilayah DJP Jawa Timur III, yang sebelumnya tidak mempunyai jaringan wifi di rumah, memutuskan merogoh koceknya secara pribadi untuk memasang perangkat tersebut demi kelancaran pekerjaannya yang serba daring. “Hampir setiap hari kami bertemu secara virtual melalui media Zoom Meeting dan dengan adanya jaringan wifi di rumah, alhamdulillah tidak lagi ditemui hambatan pekerjaan yang berarti,” tutur Arif.
Walaupun tak dimungkiri oleh Arif, hambatan komunikasi juga terjadi. Pekerjaan yang dulu biasanya dapat dikerjakan dan diputuskan secara langsung melalui interaksi tatap muka, sejak WFH menjadi agak sedikit lambat karena kendala teknis maupun nonteknis.
“Bagi saya seperti ada yang kurang dan berbeda sewaktu semua dapat diputuskan lebih cepat dengan berinteraksi langsung. Awalnya sempat menghambat, tetapi seiring berjalannya waktu dapat teratasi dengan baik,” tambah Arif.
Contoh kendala teknis yang dialami Arif adalah jaringan internet yang lelet. Memang, belum semua daerah dapat menikmati perkembangan teknologi digital serta memiliki infrastruktur internet yang merata. Namun, saat ini masih lebih baik daripada bertahun-tahun lampau.
Tak bisa dibayangkan jika pandemi ini terjadi 10 tahun lalu ketika jaringan masih menggunakan 3G dan proyek Palapa Ring yang belum merata. Palapa Ring sendiri merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi yang dibangun pemerintah berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer.
Arif juga harus pandai membagi waktu antara bekerja dan melakukan kegiatan rumah sehari-hari. Banyak hal yang menggoda fokusnya dalam bekerja seperti bercengkerama dengan anak, melakukan hal baru yang sedang viral di dunia maya, hingga kegiatan olahraga yang sebelum WFH tidak pernah ia rutinkan. “Tentu banyak menyita konsentrasi dan mau tidak mau harus pintar membagi waktu demi kelancaran pekerjaan. Jangan sampai terlena. Mutlak harus profesional,” katanya.
Konsekuensi dari penerapan WFH adalah kinerja ditentukan berdasarkan output yang dihasilkan oleh pegawai. Tidak lagi ditentukan dari kehadiran fisik, berapa lama duduk di meja kantor, dan urusan pribadi yang muncul dalam jam kantor. Pada saat WFH semuanya bisa bercampur baur. Itu tidak masalah selama ada hasil yang bisa dipertanggungjawabkan sekaligus sebagai upaya memberikan keseimbangan hidup antara pekerjaan dan keluarga yang selama ini menjadi sebuah kemewahan yang jarang dirasakan.
Ann Herman-Nehdi, CEO perusahaan multinasional Herrmann yang menciptakan alat untuk membantu karyawan berkomunikasi dengan lebih baik lagi, sebagaimana dikutip New York Times, mengatakan, “It’s a different way to approach work and translates to more freedom to design your day.” WFH membuat semua berubah, tetapi tak menghentikan inovasi.
Salah satunya adalah Samsul Hidayatullah, Pelaksana Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kupang. Samsul sudah dua tahun bertugas di KPP Pratama Kupang. Niatnya ia akan pulang kampung di Pasuruan, Jawa Timur, namun tertunda karena adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Maret 2020.
Samsul menjalani pekerjaannya dengan WFH. Meskipun demikian, hampir setiap hari ia pergi ke kantor, tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan. Sebagai salah satu pegawai di Seksi Pelayanan, ia harus menuntaskan pekerjaan pencetakan produk hukum yang tidak bisa dilakukan selama ia tinggal di rumah.
Di masa WFH itulah Samsul dan temannya Akhsanda Abimanyu Dampar membuat aplikasi booking antrean. Konsep aplikasinya sempat dipresentasikan di kantor pusat sebagai salah satu masukan untuk penerapan aplikasi antrean secara nasional.
Aplikasi yang akan diterapkan DJP pada saat kenormalan baru, ketika DJP membuka layanan tatap mukanya kembali dengan penerapan protokol kesehatan, di saat setengah pegawainya melaksanakan WFH dan setengahnya lagi bekerja dari kantor.
***
Riza Almanfaluthi
Ditulis untuk majalah internal Direktorat Jenderal Pajak Intax Edisi Dua 2020.
Gambar Glenn Harvey dari NYT