Di samping rasio pajak yang sudah kerap digunakan sebagai indikator keberhasilan kinerja perpajakan suatu negara, ada juga upaya pajak yang mulai acap dipakai sebagai indikator alternatif. Apa itu upaya pajak? Lantas, di antara negara-negara ASEAN, berada di posisi manakah upaya pajak Indonesia? Apa yang perlu kita lakukan guna mendongkrak upaya pajak?
Pada Oktober 2016 lalu International Monetary Fund merilis World Economic Outlook Database. Dalam rilis itu Indonesia termasuk dalam kategori negara yang memiliki rasio pajak (tax ratio) rendah. Di Asia Tenggara, rasio pajak Indonesia masih di bawah Singapura dan Malaysia. Tahun lalu rasio pajak Indonesia hanya 10,3%. Jauh di bawah rasio pajak rata-rata negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) – sebesar 30%.
Rasio pajak ini merupakan alat ukur yang biasa digunakan untuk mengetahui perbandingan kinerja perpajakan antarnegara dengan struktur ekonomi, karakteristik demografis, dan tingkat pendapatan yang sama. Namun rasio itu menjadi tidak relevan ketika negara-negara yang menjadi perbandingan memiliki perbedaan dalam tiga variabel di atas. Ada hal lainnya lagi yakni rasio pajak tidak mempertimbangkan karakteristik sistem pajak maupun nonpajak suatu negara. Sebuah kritik yang disampaikan oleh Lotz dan Morss (1967) lima dekade silam.
Kini, parameter yang sering digunakan mengukur performa kinerja sistem perpajakan di suatu negara adalah dengan menggunakan perhitungan upaya pajak (tax effort). Perhitungan ini merepresentasikan seberapa baik upaya yang dilakukan oleh suatu sistem perpajakan di suatu negara dalam mengumpulkan penerimaan pajaknya.
Upaya pajak dihitung dengan cara membandingkan indeks rasio pendapatan pajak aktual yang dikumpulkan dengan kapasitas pajak (tax capacity). Kapasitas pajak sendiri merupakan hasil estimasi dari rasio perbandingan pendapatan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (predicted tax-to-GDP ratio).
Perhitungan kapasitas pajak menggunakan teknik regresi. Kemudian koefisien hasil regresi dari seluruh variabel independen akan dikalikan dengan nilai masing-masing variabel sehingga menghasilkan perkiraan kapasitas pajak (estimated tax capacity). Lalu, nilai upaya pajak didapatkan dari hasil pembagian pendapatan pajak aktual dengan perkiraan kapasitas pajak.
Jika indeks upaya pajak mendekati atau melebihi angka 1, berarti sistem perpajakan negara tersebut berhasil memaksimalkan basis pajak untuk meningkatkan penerimaan pajaknya. Jika semakin mendekati nol maka itu tanda masih ada potensi pajak yang dapat dihasilkan dari basis pajak yang ada.
Pada 2017 ini Direktorat Jenderal Pajak tepatnya tim dari Direktorat Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan telah melakukan kajian terkait upaya pajak yang berjudul Perbandingan Tax Effort Negara-negara di Asia Tenggara.
Kajian ini melakukan simulasi perhitungan upaya pajak yang diterapkan di sepuluh negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) selama dua belas tahun yakni dari tahun 2004 hingga 2015. Tujuannya untuk mengetahui tingkat kinerja sistem perpajakan di Indonesia dan membandingkannya dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Negara-negara itu adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, Indonesia, Laos, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Hasil kajian itu menginformasikan secara berurutan negara yang paling tinggi upaya pajaknya adalah Laos (0,65), Brunei Darussalam (0,59) dan Vietnam (0,57). Upaya pajak paling rendah dimiliki oleh Singapura dengan hanya 0,21. Sedangkan Indonesia memiliki rata-rata upaya pajak 0,44 dan menempati urutan tujuh dari sepuluh negara ASEAN tersebut.
Tabel Rekapitulasi Upaya Pajak dan Pendapatan Pajak
Negara | Tax Revenue
(Mean) |
Tax Effort (Mean) |
Laos | 19,11 | 0,65 |
Brunei Darussalam | 43,56 | 0,59 |
Myanmar | 15,19 | 0,57 |
Vietnam | 24,88 | 0,57 |
Filipina | 18,25 | 0,49 |
Kamboja | 15,59 | 0,47 |
Indonesia | 17,08 | 0,44 |
Malaysia | 23,5 | 0,44 |
Thailand | 20,95 | 0,42 |
Singapura | 21,29 | 0,21 |
Nilai Median | 20,03 | 0,48 |
Sumber: Kalkulasi data
Untuk mempermudah perbandingan, kesepuluh negara akan dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan tingkat pendapatan pajak aktual dan tingkat upaya pajak, sebagai berikut:
Tabel rekapitulasi menunjukkan perbandingan nilai antarnegara. Dalam kajian ini, nilai median untuk pendapatan pajak sebesar 20,03 dan upaya pajak sebesar 0,48. Suatu negara apabila memiliki rata-rata pendapatan pajak di bawah 20,03 masuk ke dalam kelompok pendapatan pajak rendah. Apabila suatu negara memiliki rata-rata upaya pajak di atas 0,48 maka masuk ke dalam kelompok upaya pajak tinggi.
Hasil perbandingan dari kesepuluh negara itu adalah sebagai berikut:
Kelompok Low-Low
Kelompok ini merepresentasikan negara dengan pendapatan pajaknya rendah dan upaya pajaknya rendah. Permasalahannya terletak pada kebijakan perpajakan dan administrasi perpajakannya. Dua negara dalam kelompok ini adalah Indonesia dan Kamboja.
Negara yang berada di kelompok ini menandakan bahwa negara masih harus meningkatkan upaya pajak yang dimiliki dengan mengeluarkan kebijakan yang dapat meningkatkan penerimaan pajak, misalnya dengan peningkatan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi. Dalam kelompok ini juga masih sangat terbuka peluang perluasan basis perpajakan dan penerimaan pajak.
Kelompok Low-High
Kelompok ini merupakan negara dengan sistem perpajakan yang berjalan efisien dan optimal. Upaya pajak yang dilakukan relatif rendah namun penerimaan pajak meningkat. Kondisi ini dapat terjadi apabila kesadaran perpajakan penduduk di negara tersebut sudah tinggi.
Tingginya kesadaran mereka akan kewajiban pemenuhan pembayaran, prosedur perpajakan yang mudah, dan compliance cost yang rendah menyebabkan wajib pajak mau memenuhi kewajiban perpajakannya.
Dari berbagai penelitian, beberapa negara seperti Kanada, Jerman, Irlandia, dan Swiss masuk dalam kelompok negara ini. Sedangkan dalam kajian ini, yang masuk kelompok ini adalah Singapura, Thailand, dan Malaysia.
Kelompok High-Low
Seluruh negara yang masuk ke dalam kategori ini wajib mengadakan pembenahan dalam sistem perpajakan karena usaha yang dilakukan sudah maksimal namun penerimaan masih rendah. Usaha yang dilakukan tidak efisien. Negara-negara yang masuk ke kelompok ini biasanya disebabkan karena tax intake yang rendah, basis pajak yang sempit, banyaknya tindakan penggelapan pajak, administrasi perpajakan yang tidak efisien, dan tingginya compliance cost.
Beberapa strategi yang harus dilakukan agar keluar dari kelompok ini adalah reformasi perpajakan, mengurangi compliance cost, mendorong tumbuhnya iklim investasi, dan memperbaiki kualitas pemerintah. Contoh dari negara yang masuk ke kategori ini adalah Laos, Myanmar, dan Filipina.
Kelompok High-High
Kelompok ini merepresentasikan negara yang memiliki upaya pajak yang tinggi dan penerimaan pajaknya juga tinggi. Usaha yang dilakukan sejalan dengan hasil yang didapatkan. Berdasarkan penelitian Bayraktar et al. (2012), ditemukan bahwa yang termasuk ke dalam kelompok ini merupakan negara berpendapatan tinggi dan menengah seperti Australia, Austria, Inggris, dan Perancis. Dalam kajian ini yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain Brunei Darussalam dan Vietnam.
Menurut Bayraktar, et al. (2012), sistem perpajakan sebaiknya tidak hanya berfokus pada pencapaian penerimaan pajak setinggi-tingginya, namun juga mempertimbangkan efisiensi dari proses pengumpulan pajak termasuk penyederhanaan prosedur administrasi perpajakan, peningkatan iklim bisnis yang baik, dan penyeimbangan kebijakan tax mix.
Indikator Alternatif
Pada akhirnya penerimaan pajak merupakan aspek penting yang mendorong jalannya roda pemerintahan. Dalam implementasinya, banyak negara –seperti Indonesia– yang belum mampu menyeimbangkan kebijakan perpajakannya sehingga pengumpulan penerimaan pajak menjadi kurang efektif dan tidak optimal.
Walaupun lebih rumit daripada perhitungan rasio pajak, perhitungan upaya pajak setidaknya akan memudahkan para pembuat kebijakan membuat kebijakan-kebijakan strategis yang dapat mendorong peningkatan pajak di Indonesia. Sebenarnya tidak berhenti sampai di situ, pemerintah punya indikator lain untuk menghitung efektivitas pemungutan pajak.
Mengingat jumlah penduduk dan skala ekonomi yang besar, kelas menengah yang mulai tumbuh, bonus demografi yang didapat, pengumpulan pajak di Indonesia tentunya bisa lebih baik daripada sekarang. [Rz/YY]
Penulis: Riza Almanfaluthi
Editor: Yacob Yahya
Tulisan di atas telah dimuat pada Majalah Internal DJP Intax Edisi 10/2017