Aku terbakar bermenit-menit, bergolak dalam keramaian menuju kau. Aku mau memamahmu, tidak dalam butiran yang biasa, melainkan cairan dengan asap yang mulai tiada. Bau terbakar mulai ada, seadanya matahari selepas hujan. Dengan basah belumlah jua sirna dari jalanan. Ingat satu perihal ini: ketika kautuang aku di sebuah cawan retak kehilangan, kenang-kenanglah aku seperti genangan, di daun jendela matamu, atau di sudut segitiga sama kaki bibirmu. Aku yang terbakar perih di sini, engkau yang menjadi asap menuju sesap.”
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Citayam, 11 November 2017