Ketika pagi menyusut menjadi peputih di puncak-puncak ketinggian, di lobi hotel aku sedang menunggu bus warna kuning yang akan membawaku kembali kepada keramaian. Di sinilah aku lalu percaya kepada hidungku yang tak pernah mengelabui tentang aroma kopi yang menguar dari dapur, kepada mataku yang tak pernah mengaburi tentang kaki-kaki kabut dan gunung yang mulai mendekat, tentang pikirku yang tak pernah mengakali tentang kesementaraan dan kekekalan. Di pucuk-pucuk pinus aku taruh bulir-bulir embun untuk dimangsa cahaya. Di deru-deru bus aku taruh mata-mata rabun untuk digilas roda. Besok, aku kembali ke sini, tak membawa sendok dan garpu yang tak perlu. Karena jantungku saja sudah cukup. Dengan detaknya, dengan degup Berlinnya, yang pertama atau pun kedua.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
21 Oktober 2017