Tumpukan batu bata roboh masih tak bosan merajam matanya dengan lembayung di suatu senja serupa boneka kuning di pinggiran bantalmu yang sering kauajak bincang-bincang di setiap malam ketika kauhendak mendaki puncak mimpi dan nyeri. Kantuk membuat sujudmu lama.
Malam usai dan dini hari bangkit menuju pintu membuka daunnya yang hijau, menyilakan kucingmu, lagi-lagi kuning, masuk ke haribaan matamu untuk tidur dan menghitung mawar yang tumbuh di sana, aku lupa jantungku pun merekah di tempat yang sama.
Subuh terbangun dengan susah payah memicingkan mata, betapa ia buta dengan pagi yang hendak lewat, menanggalkan rindu putih yang roboh satu per satu dari kepalanya tempat ia menyimpan belati. Aku masih ingat, langit adalah asalmu, tak sulit untuk membiru sebentar lagi.
Adalah benar, kenapa siang selalu menyimpan ribuan umpama? kenapa sore selalu terkecoh untuk cepat tiada? kenapa sarimu yang lembayung dan pernah kaupakai di suatu hari terbakar kobaran senja?
Karena aku adalah bilah bahu pikir dan bingungmu. Barangkali.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
19 Oktober 2017