Anak lelah itu baru tertidur ketika api menjilat dinding kamar, tirai, dan pinggiran ranjangnya. Asap sudah mulai semerbak dan memenuhi ruangan. Seorang ayah terjaga dan segera mendobrak kamar. Apa yang akan dilakukan ayah itu selanjutnya? Membiarkan sang anak ditelan api karena merasa kasihan kepada anak yang baru saja lelap atau akan menyeretnya sedemikian rupa untuk menyelamatkan nyawanya?
*
Langit sudah menanggalkan topeng dari wajahnya yang benderang merayakan pagi ketika petugas berbaju seragam putih biru masuk ke dalam Bus Damri yang akan berangkat ke bandar udara. Bus yang hanya berisi tujuh orang, termasuk Kinan, akan segera berangkat setelah pengecekan.
Petugas mulai menghitung, satu, dua, tiga, dan sepertinya melewatkan Kinan dalam hitungannya. “Pak, dihitung saja anak ini,” kata saya mengingatkan sang petugas sambil mengarahkan telunjuk kepada bocah berumur 9 tahun yang sedang berbaring di kursi kosong dan melela mainan anak zaman sekarang: squishy.
Petugas mengangguk dan mencatat jumlah penumpang di kertas tebal warna kuning lalu menyerahkannya kepada kru bus. Nanti di pos pemeriksaan bus dekat bandara, kertas tersebut akan dicek kebenarannya dengan kenyataan yang ada.
Setelah bus melata, kru bus mulai berkeliling memungut ongkos perjalanan dari para penumpang. Ia memberikan kepada saya lembaran tiket sambil menerima uang yang saya serahkan seharga tiga tiket perjalanan.
Sesudah berlelah-lelah menggilas aspal hitam di tengah terik matahari selama hampir satu setengah jam, roda bus berhenti di pos pemeriksaan. Petugas dengan seragam yang sama dan bertopi namun masih terlihat pinggiran rambutnya yang kelabu masuk ke dalam bus dan menerima kartu kuning yang disodorkan kru bus.
Petugas itu tanpa basa-basi bertanya kepada saya sambil memandang Kinan yang sedang pulas, “Ini ikut bayar?” Saya jawab disertai anggukan tegas, “Ya.” Beberapa saat setelah menunaikan tugas rutinnya, ia keluar dari mulut bus dan bus pun kembali melaju.
Kami tak menyembunyikan Kinan. Pula, tak mungkinlah itu terjadi. Dengan membayar tiket sendiri untuk Kinan itu sebenarnya ada pesan yang ingin kami sampaikan.
Pertama, agar Kinan tahu bahwa ia ada dan tak berhenti sekadar ada melainkan eksistensinya sebagai manusia itu diakui, tak masalah ia masih kecil dan belumlah dewasa. Pun, agar ia tidak merasa terabaikan oleh kami sebagai orang tuanya atau orang lain. Tidak enak bukan kalau kita dianggap “tidak ada” dan didiamkan begitu rupa.
Kedua, agar Kinan tahu hak dan kewajibannya sebagai penumpang. Ada hak yang bisa ia tuntut dan ada kewajiban yang mesti ia jalankan sebagai penumpang yang mahardika sekaligus manusia yang merdeka.
Kinan jadi tahu bahwa menduduki salah satu kursi di dalam bus itu adalah haknya. Tak boleh siapa pun orangnya bisa mengusir Kinan dari tempat duduknya dengan alasan apa pun. Kinan juga jadi tahu bahwa dengan itu dia dianggap dewasa serta mempunyai kewajiban yang melekat dan sama dengan penumpang yang lain.
Ketiga, Kinan jadi punya tempat duduk sendiri yang nyaman buat dirinya. Ia tidak akan digeser-geser oleh penumpang yang lain. Tidak juga berdempet-dempet atau diselipkan di tengah-tengah penumpang seperti barang.
Pembelajaran Kinan tak harus di bus, madrasahnya bisa di tempat lain seperti commuter line, angkot, tempat wisata, warung makan, bioskop, museum, dan lain sebagainya.
Patron ini yang bisa kami gelontorkan sebagai orang tua. Kami menyadari sepenuhnya kalaulah kami bukan makhluk sempurna. Tetapi kami senantiasa berusaha dan belajar memberikan yang terbaik kepada yang dicinta. Bukankah mencinta itu memberi? Pemberian yang berlimpah ruah. Semacam eulogia. Apatah lagi ketika mencinta itu tanpa syarat.
Namun mencinta tanpa syarat bukan berarti berlepas diri dari setiap kehendak anak lalu membiarkan mereka berlaku apa saja bahkan di luar norma agama asalkan yang penting tidak mencelakakan dan merugikan orang lain. Sebagaimana para eksistensialis yang meyakini kebebasan manusia adalah segalanya dan bersifat absolut. Bukan. Bukanlah seperti itu.
Cinta tanpa syarat bukan berarti membiarkan sang anak terjerumus ke dalam dosa. Karena dalam kacamata agama setiap pengingkaran kepada-Nya yang sungguh terlalu selalu akan mengundang azab sengsara yang tidak hanya akan memusnahkan pelaku melainkan pula mereka yang baik-baik namun membiarkan semua itu terjadi. Lalu bagaimana dosa-dosa itu tidak dikatakan sebagai tidak mencelakakan dan merugikan orang lain?
Marilah kita sembunyikan sajak Gibran Khalil Gibran di bawah karpet merah yang berdebu. Bait pertamanya itu berbunyi:
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
Tetapi senyatanya anak-anak kita tetaplah anak-anak kita yang harus diselamatkan dari panas api yang membara di kehidupan setelah ini. Kita tak bisa membiarkannya begitu saja. Bekal agama tetaplah utama.
Maka sang ayah, di paragraf pembuka, dengan cinta yang selalu memberi dan tanpa syarat, melulu akan menyeret sang anak yang rencananya akan dijemput malaikat ajal dari ranjang api nan membakar itu. Ini ayah yang benar. Sebenar cinta Muhammad kepada Fatimah yang akan memotong tangan Fatimah dengan tangan Muhammad sendiri jika Fatimah mencuri.
Cinta itu bukan mengikuti hawa nafsu atau eksistensialis pertama di alam semesta ini: iblis. Agama hadir untuk mengendalikannya. Ya selayaknya demikian.
Dari mula eksistensi anak kemudian menghilir kepada cinta tanpa syarat itu, kita akan menjadi ayah atau ibu seperti apa?
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Tegalsari, 5 Agustus 2017