Musim mudik usai. Besok Senin semua pekerja akan menjalani rutinitasnya masing-masing. Saya termasuk di antaranya. Dengan menyisakan perjalanan mudik 2017 di kepala sebagai perjalanan yang tidak memberatkan. Mudik atau baliknya. Salah satunya adalah saya akan menepi kalau saya sudah mengantuk mengendarai mobil. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lebih baik antisipasi.
Sebenarnya banyak hal dilakukan agar tidak mengantuk seperti menampar-nampar pipi, memukul-mukul paha, mengusap-usap wajah dan kepala berulang-kali, minum air putih banyak-banyak, cuci muka, dan minum kopi. Tapi kalau sudah mengantuk ya ternyata semua tidak mempan. Obatnya cuma satu: tidurlah yang nyenyak.
Untuk mudik kali ini juga butuh strategi yang tepat. Teman saya memberitahukan strategi itu kepada saya: “Pakai Google Maps. Kalau ada warna merah di sepanjang jalan itu, belok cari jalan alternatif lain.” Ia sudah membuktikan strateginya di lebaran tahun lalu, sehingga tidak menjadi korban Tragedi Brexit seperti yang pernah kami alami.
Kami berangkat berlima saja dari Citayam menuju Semarang. Kami pilih jam 14.00 sebagai jam keberangkatan karena beberapa sebab. Pertama, setelah kantuk kami menghilang usai melaksanakan iktikaf di masjid Alikhwan.
Kedua, ternyata ketika saya mau mengeluarkan mobil di pagi hari, baru ketahuan ada masalah. Akinya soak. Kayaknya ada lampu di dalam mobil yang lupa saya matikan sehingga memakan daya aki. Terpaksa aki harus di recharge di tempat kios aki yang kebetulan masih buka. Ketiga, karena ternyata “loading” manusia, barang, dan segala tetek bengeknya ke dalam mobil memakan waktu lama.
Pada waktunya dari titik 0 depan rumah, saya sudah pantengin Google Maps di telepon genggam saya. Kami keluar dari Cibinong pukul 15.30 dan mulai menyusuri jalan tol. Ketika saya memantau jalur tol Jakarta Cikampek terlihat benar nyala merah memenuhi sebagian besar jalan itu dari awal sampai akhir. Wah, ini sudah enggak benar, pikir saya.
Dari tol Jagorawi, saya masuk ke tol Cikunir, lalu masuk ke tol Cikampek. Sejak pintu tol Bekasi Barat sudah mulai macet. Begitu pula di pintu tol Bekasi Timur. Akhirnya setelah melihat Google Maps, kami putuskan untuk keluar di pintu tol berikutnya yaitu pintu tol Tambun. Pokoknya untuk perjalanan ini saya berprinsip tidak mau kejadian kayak di Brexit lagi. Lebih baik menyusuri Pantura yang banyak masjid dan bisa kapan saja menepi tak perlu harus berhenti di KM berapa dulu seperti di jalan tol.
Azan Magrib sudah berkumandang ketika kami sampai di Cikarang. Ini pengalaman pertama kali memasuki daerah Cikarang, Karawang, dan Cikampek dengan menaiki mobil pribadi dalam seumur hidup saya.
Di Google Maps saya bisa memantau titik-titik kemacetan. Titik-titik macet yang berbanding terbalik daripada yang ada di Tol Cikampek. Google Maps selau mengarahkan saya ke jalan tol padahal saya tak mau ke jalan tol. Saya tetap melaju dengan tujuan awal, menyusuri daerah Pantura mulai dari Bekasi sampai Semarang.
Sewaktu di luar daerah Cikampek menuju daerah Subang, kami menepi untuk makan besar dan salat. Ini sekitar pukul 20.00 malam. Lalu setelah salat saya tidur dulu di jok belakang. Perasaan sebentar sih. Akhirnya kami berangkat lagi. Eh tapi tiba-tiba baru saja saya melajukan mobil, kantuk sudah mulai menyergap. Saya sudah mulai sering menguap. Barangkali karena saya kekenyangan sehingga oksigen tak ada di otak dan benar-benar digunakan sebagai energi perut untuk mengolah makanan yang masuk ke dalamnya.
Akhirnya saya minggir lagi dan mendapatkan SPBU buat tidur. Saya tidur sampai satu jam lamanya. Setelah segar kemudian saya berangkat lagi. Pokoknya kalau dihitung-hitung, saya sampai dua kali minggir buat tidur. Ada yang satu sesi tidurnya benar-benar lama banget sampai dua jam.
Luar biasanya untuk perjalanan malam itu adalah ternyata dugaan saya yang meleset. Saya menyangka bahwa jalanan pantura itu sepi apalagi kalau malam hari. Ternyata salah besar. Mobil tetap banyak dan motor sepertinya tiada habis-habisnya melesat kencang memenuhi jalanan. Mereka seperti kura-kura dalam cerita balapan lari antara kelinci dan kura-kura. Motor ada di mana-mana dengan energi tak berkurang sama sekali. Kencang-kencang.
Di Jatibarang, saya tidak mengikuti arus yang menuju Palimanan. Saya belok menuju kotanya lalu langsung melalui jalur alternatif Jatibarang-Karangampel-Cirebon. Jalur ini jalur favorit saya selama bertahun-tahun menjalani ritual mudik. Jalannya lebar dan sepi.
Tepat pukul 03.30 hari Sabtu, kami menepi di SPBU di daerah Kapetakan, Cirebon. Niatnya buat sahur dan sekalian salat Subuh. Kami mulai membuka bekal yang sudah dipersiapkan dari rumah. Air minum botol masih berlimpah. Azan Subuh menggema ketika jam sudah menunjukkan pukul 04.34. Kami salat Subuh di musalanya yang bersih dan berpendingin ruangan. Wajar saja bersih karena jalur ini sepi dari pemudik.
Setelah salat mata saya melek. Setelahnya kembali melaju menyusuri Pantura, mulai dari Brebes sampai Tegal. Tak ada yang istimewa lagi untuk diceritakan di jalur Jawa Tengah ini—walau ada satu sesi tidur lagi. Saya juga tidak memakai jalur tol fungsional mulai Brebes Timur sampai Gringsing itu dengan alasan sama seperti yang di atas. Kami sampai rumah di Semarang hari Sabtu sekitar pukul dua belas siang.
Inti dari cerita mudik ini adalah perjalanan kami tanpa menggunakan jalan tol ini berjalan lancar dan tidak ada kemacetan. Yang ada kendaraan ramai dan lancar. Kalau ada warna merah di Google Maps itu adalah kemacetan yang bisa ditanggungkan seperti di daerah Kendal. Alhamdulillah. Selesai sudah.
Ramadan kali ini pun adalah Ramadan yang istimewa buat saya, insya Allah. Mudiknya sebagai jalan mempererat tali persaudaraan dengan saudara di kampung pun sama adanya. Maka kalau sudah begitu, mesti nikmat apalagi yang harusnya banyak-banyak disyukuri.
Saya ulangi strategi saya dalam bermudik ria: tidak perlu memaksakan diri harus sampai jam berapa tiba di tujuan, mengantuk minggir, perlu manajemen tidur yang baik, pakai Google Maps, dan doa banyak-banyak. Itu saja.
Semoga ini bisa bermanfaat.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Citayam, 2 Juli 2017