MENINGKATKAN penerimaan pajak perlu kesadaran kita sebagai warga negara. Apalagi dengan adanya program pengampunan pajak (tax amnesty) yang dikampanyekan pemerintah pada saat ini. Kesadaran itu sayangnya dicemari oleh ulah oknum pegawai pajak dan panyakit akut korupsi di kementerian dan lembaga negara, sehingga perlu adanya pengawasan internal dan eksternal untuk mengamankan keuangan negara.
Demikian disampaikan oleh Guru Besar Ekonomi dan Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh, Prof Dr Apridar SE MSi, dalam opininya berjudul “Pajak dan Kesadaran Kita” yang dimuat di Serambi Indonesia (Rabu, 3 Agustus 2016).
Secara garis besar penulis setuju dengan opini Prof Apridar, namun ada beberapa hal yang perlu ditanggapi. Pertama, tentang kekeliruannya mengenai tarif uang tebusan dalam rangka pengampunan pajak ini. Kedua, pengawasan internal di lingkup Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dan, ketiga, potensi korupsi di kementerian dan lembaga negara.
Uang tebusan
Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan pengampunan pajak. Pengampunan itu diberikan melalui pengungkapan harta yang dimilikinya dalam surat pernyataan. Dalam surat pernyataan itu terdapat jumlah harta, utang, nilai harta bersih, penghitungan dan pembayaran uang tebusan.
Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki harta yang berada di luar negeri ini dan ingin mengikuti program pengampunan pajak, terlebih dulu mendeklarasikan hartanya dalam surat pernyataan dan berjanji akan menginvestasikannya ke dalam instrumen investasi yang telah ditentukan dalam jangka waktu minimal tiga tahun terhitung sejak dialihkan.
WNI yang ingin mengikuti program repatriasi aset ini harus membayar uang tebusan dengan tarif tertentu. Tarif sebesar 2% untuk periode penyampaian surat pernyataan terhitung sejak Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, berlaku sampai dengan tanggal 30 September 2016.
Tarif uang tebusan sebesar 3% diberlakukan jika WNI menyampaikan surat pernyataan terhitung sejak 1 Oktober 2016 sampai dengan 31 Desember 2016. Dan tarif uang tebusan lebih tinggi lagi sebesar 5% apabila WNI menyampaikan surat pernyataan terhitung sejak 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Maret 2017.
Tidak ada tarif sebesar 1% untuk permohonan tiga bulan pertama, 2% untuk permohonan tiga bulan kedua, dan 3% untuk permohonan semester II dalam program pengampunan pajak ini sebagaimana diungkapkan oleh Prof Apridar dalam tulisan opininya tersebut.
Sampai dengan tulisan ini dibuat (21/8/2016), laman DJP menyebutkan bahwa deklarasi harta bersih repatriasi yang masuk adalah sebesar Rp 1,44 triliun. Jumlah ini masih kecil daripada jumlah harta yang dideklarasikan oleh WNI yang memiliki harta di luar negeri, tapi tidak ingin merepatriasi asetnya sebesar Rp 5,56 triliun.
Uang tebusan yang dibayar WNI yang sekadar mendeklarasikan hartanya di luar negeri tanpa merepatriasi aset tarifnya, tentu lebih tinggi dua kali lipat dalam periode yang sama. Masing-masing dalam tiga periode itu adalah sebesar 4%, 6%, dan 10%.
Bagi pemerintah, masih ada waktu tujuh bulan sampai akhir Maret 2017 untuk mencapai target uang tebusan Rp 165 triliun, dana repatriasi amnesti pajak Rp 1.000 triliun, dan deklarasi harta di dalam ataupun di luar negeri sebesar Rp 4.000 triliun.
Kesadaran publik
Untuk menyukseskan program pengampunan pajak ini –dan secara umum meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak– butuh kesadaran publik, yang menurut Prof Apridar kesadaran itu menjadi akut karena ulah beberapa oknum pegawai pajak yang memiliki harta di luar kewajaran.
Tak bisa dipungkiri kesadaran membayar pajak terkait erat dengan kepercayaan publik kepada DJP. Tata kelola pemerintahan yang baik menjadi syarat untuk dapat memperoleh kepercayaan publik. Untuk itu DJP terus-menerus berbenah sejak reformasi birokrasi digulirkan pada 2002, kasus Gayus Tambunan muncul pada 2010, hingga sampai sekarang. Terutama dalam hal pengawasan internal.
Sistem peringatan dini telah pesat dikembangkan melengkapi pengawasan yang dilakukan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan Direktorat Kepatuhan Internal dan Transparansi Sumber Daya Aparatur (Kitsda) DJP. Unit kepatuhan internal dibentuk di setiap satuan kerja DJP.
Ini mendorong pimpinan dan seluruh pegawai DJP untuk menerapkan pengendalian intern dalam setiap pelaksanaan tugas dan fungsinya, terutama pengawasan melekat oleh atasan langsung kepada pelaksana tugas. Laporan rutin setiap bulan atas pengendalian itu menjadi sebuah kewajiban.
DJP menjadi unit eselon pertama di Kementerian Keuangan bahkan di kementerian dan lembaga tinggi negara lainnya yang merealisasikan secara konkret Whistleblowing System menjadi suatu peraturan. Sistem ini mewajibkan setiap individu pegawai DJP untuk saling peduli dan koreksi serta melaporkan setiap pelanggaran atas kode etik dan disiplin pegawai DJP.
Selain itu DJP membuka banyak saluran pengaduan agar tidak tersumbat melalui aplikasi internal, kring pajak 1500200, faksimile, email, laman pajak, surat yang langsung disampaikan kepada Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, atau datang langsung ke help desk yang telah disediakan Direktorat Kitsda DJP.
Melalui aplikasi WiSe (Whistleblowing System) Menteri Keuangan dapat memantau secara langsung sejauh mana tindak lanjut pengaduan-pengaduan terkait pelanggaran terhadap kode etik dan kedisiplinan pegawai DJP. Di samping itu, rapat pembinaan dan internalisasi nilai-nilai Kementerian Keuangan dan kode etik pegawai pajak diselenggarakan secara berkelanjutan.
Maka tak heran dengan pengembangan sistem peringatan dini tersebut, penangkapan terhadap oknum pegawai pajak setelah kasus Gayus Tambunan bahkan melibatkan peran dan informasi dari pegawai pajak sendiri. Ini semata-mata agar menjadikan DJP bisa lebih baik lagi dan mendapatkan kepercayaan publik secara penuh.
Deteksi dini
Selain membahas internal DJP, di bagian akhir opininya Prof Apridar memberikan penegasan bahwa tidak akan terjadi penyalahgunaan keuangan negara di kementerian atau lembaga negara jika ada pencegahan dan deteksi dini potensi korupsi. Muaranya adalah munculnya kesadaran kolektif untuk membayar pajak.
Prof Apridar membawa pemahaman utuh bahwa ada aspek di luar DJP yang mengakibatkan akutnya kesadaran publik itu alih-alih menyalahkan DJP sebagai biang kerok korupsi. Maka, slogan DJP yang berbunyi “Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya” menjadi relevan.
Slogan ini mengajak masyarakat untuk berperan aktif mengawasi penggunaan uang rakyat. Juga memberikan kesadaran bahwa tugas DJP adalah mengumpulkan uang pajak rakyat ke kas negara-an sich. Dana yang terkumpul itu membentuk postur APBN yang akan membiayai pembangunan melalui kementerian, lembaga negara, dan daerah. Pertanggungjawaban penggunaannya ada di masing-masing satuan kerja.
Ujungnya adalah DJP tidak menjadi pihak yang selalu disalahkan ketika praktik korupsi terjadi di instansi pengguna APBN. Publik paham, ke mana telunjuk akan diarahkan sebagai pengejawantahan hak bernegara. Karena pembayar pajak berhak tahu penggunaan uang pajak mereka. Juga tahu bahwa korupsi adalah musuh bersama para pembayar pajak dan juga bangsa ini.
Kesadaran inilah yang kita nanti-nantikan menjadi sebuah kenyataan. Mengutip Hamsi Pramono, “Jangan bermimpi untuk membangun bila tidak bisa menjaga.” Pajak dan kesadaran kita memastikan semua itu berlangsung. Nah!
* Riza Almanfaluthi, S.Sos., M.M., bekerja di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan. Email: riza.almanfaluthi@gmail.com
Artikel ini dimuat di Opini Koran Harian Serambi Indonesia pada Rabu, tanggal 31 Agustus 2016.
http://aceh.tribunnews.com/2016/08/31/menyoal-pajak-dan-kesadaran-kita