SATU dekade kurang satu bulan setelah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) disahkan, pada 1 Juli 2016 Presiden Joko Widodo mengesahkan UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Program pemerintah dalam rangka membiayai pembangunan yang memerlukan pendanaan besar dan bersumber utama dari penerimaan pajak.
Wajib pajak yang mengikuti program pemerintah ini akan diberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan. Caranya, masyarakat mengungkap harta yang dimiliki dan belum dilaporkan serta membayar sejumlah uang tebusan dengan tarif yang ringan.
UU ini memanggil nurani seluruh warga negara untuk turut serta, terutama para wajib pajak yang belum melaporkan hartanya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan dan penduduk Indonesia yang menyimpan hartanya di luar negeri. Beberapa lembaga mengestimasi jumlah harta tersebut sangatlah signifikan.
Menurut McKinsey, terdapat 250 miliar dolar Amerika Serikat, sedangkan data Credit Suisse Global Wealth Report dan Allianz Global Wealth Report menunjukkan sebanyak Rp 11.000 triliun. Bank Indonesia memperkirakan sebanyak Rp 3.000 triliun dan data primer Kementerian Keuangan mengestimasi sebanyak Rp 11.000 triliun berada di luar negeri.
Mengingat dana Warga Negara Indonesia (WNI) yang terparkir di luar negeri begitu besar, maka UU ini memberikan daya tarik berupa tarif uang tebusan yang rendah. Tarif lebih rendah diberlakukan buat WNI yang bersedia mendeklarasikan hartanya lalu menyimpan di dalam negeri (repatriasi), dari pada mereka yang sekadar mendeklarasikan harta yang disimpan di luar negeri.
Juga ada tarif paling rendah yakni sebesar 0,5% bagi para wajib pajak Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM). Tarif di atas lebih rendah dari pada tarif normal pajak penghasilan (PPh) yang sebesar 1%
Waktu terbatas
Dengan waktu yang sangat terbatas hanya sampai 31 Maret 2017, maka wajib pajak diharapkan turut serta mengikuti program ini dengan sebaik-baiknya, karena pengampunan pajak ini tidak hanya buat konglomerat ataupun WNI yang memiliki harta di luar negeri.
Semua wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan ini, terkecuali wajib pajak yang sedang dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan, wajib pajak yang dalam proses peradilan, dan wajib pajak yang menjalani hukuman pidana.
Selain tarif uang tebusan yang rendah sehingga membuat Singapura meradang dan berusaha menjegal kebijakan pengampunan pajak ini, wajib pajak juga akan diberikan fasilitas sebagai berikut: (1) penghapusan pajak terutang; (2) penghapusan sanksi administrasi; (3) tidak dilakukan pemeriksaan dan penyidikan; dan (4) penghentian pemeriksaan dan penyidikan.
Oleh sebab itu, tentu sayang sekali jika tidak dimanfaatkan oleh para wajib pajak dari Sabang sampai Merauke. Apalagi kerahasiaan dijamin betul dalam UU ini. Semua identitas, data dan informasi yang diberikan oleh wajib pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak mana pun, kecuali atas persetujuan wajib pajak sendiri.
Ada ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun bagi Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak ini jika terdapat data wajib pajak yang bocor.
Pembiayaan infrastruktur dalam era lima tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo sebesar Rp 5.000 triliun. Kebutuhan itu tidak bisa dipenuhi dari pemerintah saja. Untuk itu peran serta swasta diperlukan. Maka dengan adanya program pengampunan pajak ini dapat mengokohkan pencapaian target pembangunan infrastruktur tersebut.
Program pengampunan pajak menarik dana dari dua sisi: Pertama, pemerintah mendapatkan uang tebusan yang ditargetkan sebesar Rp 165 triliun. Dalam jangka pendek hal ini menopang struktur Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) 2016 dan 2017. Dari APBN 2016 pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 313 triliun untuk pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia.
Postur APBN 2016 yang sehat tentunya menguatkan pemerintah pusat untuk memenuhi amanah Pasal 183 UU Pemerintahan Aceh, bahwa Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang berasal dari APBN ditujukan untuk membiayai pembangunan Aceh antara lain pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur.
Kedua, pemerintah mendapatkan dana repatriasi yang ditempatkan dalam instrumen investasi yang telah ditetapkan dalam UU Pengampunan Pajak. Salah satunya berupa investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha.
Dari dua sisi tersebut kita berharap banyak proyek infrastruktur Aceh segera terealisasi. Terutama untuk proyek Jalan Tol Trans Sumatera, perluasan bandara lokal, pembangunan rel kereta api dari Lhokseumawe-Bireuen, dan Bendungan Keureutoe. Karena kita meyakini kunci menarik investasi ke daerah adalah pembangunan infrastruktur.
Komitmen pemerintah pusat pun diperlukan dalam pembangunan infrastruktur strategis sebagaimana telah direncanakan dan diusulkan oleh pemerintah Aceh pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nasional 20 April 2016 lalu, antara lain untuk percepatan pembangunan seperti pengembangan kawasan ekonomi khusus di Lhokseumawe, revitalisasi Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet) Banda Aceh Darussalam, dan pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Lampulo, Banda Aceh.
Tidak bisa diabaikan adalah untuk pembangunan jalan lintas Tengah, Barat, dan Timur Aceh, pembangunan perlindungan kawasan hutan strategis, dan pembangunan terowongan di Gunung Geurutee, Aceh Jaya, sebagaimana disebut dalam laman Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh.
Manfaat strategis
Dengan berbagai manfaat strategis dari pengampunan pajak serta keterkaitan kebutuhan infrastruktur di Aceh, maka seyogianya program pengampunan pajak ini bisa berjalan sukses dan diminati serta dinikmati oleh masyarakat Aceh. Maka ada beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam hal ini Kantor Wilayah DJP Aceh sebagai operator dari program ini.
Pertama, sosialisasi secara masif dan terus menerus kepada Wajib Pajak terutama Wajib Pajak besar di provinsi Aceh, para pengusaha yang tergabung dalam pelbagai asosiasi, serta Wajib Pajak UMKM. Ini merupakan langkah kecil dari upaya terus menerus DJP untuk membangun persepsi yang sama antara pemerintah pusat dan Aceh bahwa pengumpulan pajak semata akan menjadi keuntungan yang mendukung banyak perbaikan aspek kehidupan masyarakat Aceh.
Kedua, silaturahmi kepada pemangku kepentingan di daerah terutama pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota agar turut bekerjasama mendorong masyarakat mengikuti program ini. Karena perlu disadari bahwa perkembangan ekonomi di daerah jauh lebih dipengaruhi politik perekonomian yang digunakan oleh pemimpin daerahnya ketimbang variabel lainnya (Armida S. Alisjahbana, 2010).
Ketiga, menyediakan dan memperluas media penyebaran informasi berupa gerai-gerai pengampunan pajak di titik-titik strategis daerah guna memberikan informasi seluas-luasnya tentang bagaimana cara masyarakat Aceh mengikuti program pengampunan pajak ini.
Kita berharap sedikit langkah itu membawa dampak prima dalam program ini, karena masyarakat hanya diberikan kesempatan 9 bulan untuk ikut serta bersama-sama membangun negeri. Setelah itu, kita berharap ada kelegaan sebagaimana slogan pengampunan pajak ini “Ungkap, Tebus, Lega”. Semata untuk kebaikan Aceh. Semoga!
* Riza Almanfaluthi, bekerja di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan. Email: riza.almanfaluthi@gmail.com
Artikel ini dimuat di Opini Koran Harian Serambi Indonesia, hari Kamis, 4 Agustus 2016.
Atau di tautan: http://aceh.tribunnews.com/2016/08/04/pengampunan-pajak-infrastruktur-aceh