…dan di sebuah terowongan (foto pribadi).
Hujan yang kemarin sore (21/9) membasahi Bandung, malam ini tak lagi singgah. Kursi-kursi taman yang berjejer di sepanjang pinggir jalan Braga, Naripan, Asia Afrika menunggu untuk diduduki para pelancong yang ramai memenuhi jalanan. Ini bukan malam minggu tapi keramaiannya tak kalah.
Bandung—terutama di tiga jalan itu—memang sudah berubah. Suasananya berbeda dengan dua tahun yang lalu ketika saya terakhir mengunjunginya. Kesan suram dan gelap tak ada sama sekali. Aman dan nyaman yang tertangkap. Preman hanya ada di sinetron. Itu pun sudah taubat. Para lelaki berbaju Hansip mondar-mandir atau duduk-duduk melihat-lihat suasana.
Yang paling menakjubkan buat saya adalah setiap sudutnya menyajikan etalase untuk bisa dibingkai dalam sebuah kegiatan bernama foto-memfoto. Maka tak heran banyak orang memanfaatkannya dengan telepon genggam yang mereka miliki.
Ini etalase itu. Jalan Braga dengan trotoar ala Eropanya. Sudut di simpang Jalan Braga dan Jalan Naripan dengan fiber besar huruf-huruf kapital berwarna merah membentuk kata “BRAGA”. Bangunan-bangunan tua di jalan Asia Afrika terutama Gedung Merdeka, sebagai gedung bersejarah tempat berkumpulnya para kepala negara pada saat Konferensi Asia Afrika 60 tahun yang lalu.
Gapura besar di atas Jalan Asia Afrika yang padat seakan—bahkan bukan seakan lagi, tetapi memang—membentuk sebuah terowongan. Tembok di dalam terowongan bercahaya terang itu dicat putih dan diberikan kalimat yang ditulis besar-besar agar bisa dibaca.
“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.” Ini kutipan dari Martinus Antonius Weselinus Brouwer atau biasa disingkat M.A.W Brouwer. Seorang fenomenolog, psikolog, dan budayawan Belanda yang menghabiskan sebagian besar umurnya di Indonesia, ditolak permohonannya menjadi WNI, dan pernah menjadi pengajar di Universitas Padjajaran.
Satu lagi kutipan di sisi terowongan yang lain adalah dari Pidi Baiq. Seorang seniman, penulis, dan ilustrator. “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.” Bandung. Ini etalase itu. Nyeni dan nyastra banget. Gue suka.
Sebagaimana sebuah toko, etalase senantiasa dipercantik, ditata, dirapikan untuk menarik minat calon pembeli, Bandung pun demikian. Sedangkan potret keseluruhan kota Bandung—sebagai gudang—yang terdapat “stok barang” berlimpah adalah realitas sesungguhnya—berantakan, kumuh, dan menyeramkan dengan tingkat kriminalitasnya—berusaha untuk ditata sedemikian rupa agar mendapatkan keseimbangan yang sama dengan etalase. Tak apa-apa. Ini sudah menjadi kewajiban walikotanya, Ridwan Kamil.
Tak ketinggalan adalah alun-alun kota Bandung. Dengan Masjid Raya Bandung berumput sintetis di halamannya yang menjadi sangat ikonik. Warga berduyun-duyun menikmati ruang lapang sebagai ajang kongkow-kongkow dan tempat bermain anak-anak di tengah sempitnya lahan perkotaan. Siang ataupun malam.
Pencahayaan masjid di malam hari itu tidak ditata sembarangan. Dalam konteks kekinian, ia menjadi latar belakang dari berbagai foto selfie para pengunjungnya. Saya pikir, walikotanya sedang berusaha mendekatkan warga dengan masjid, karena masjid tidak sekadar tempat kontemplasi menjauhi keriuhan melainkan tempat yang memberikan ruang hiburan tanpa dikenai pajak dan pungutan apa pun.
Petugas yang hilir mudik mengontrol keramaian memberikan pesan kepada para pengunjung. Silakan Anda bebas bermain, duduk-duduk, foto-foto, makan-makan, kejar-kejaran, main bola plastik di sini, asal kebersihan tetap dijaga.
Kalau saja tidak ada tugas yang harus dikerjakan buat besok dan karenanya saya tidak bisa mengabaikannya, saya ingin sekali menikmati keramaian alun-alun itu sampai tengah malam sambil menikmati ketan bakar kesukaan bersama istri tercinta dan tentunya Kinan.
Ah, Bandung memang eksotis Meneer. Dari dulu.
Kami Bertiga
Di berbagai Negara
Kami berdua saja di alun-alun Bandung.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
26 September 2015
dan…