RIHLAH RIZA #59: Tiga bukan Empat


via sarahohm.com

 


Di Tapaktuan ini akhirnya saya mendapatkan satu keberkahan baru dalam seumur hidup saya. Jadi teman-teman di Tapaktuan, kalau kalian bisa tahu, sekarang saya sudah bisa makan tiga jenis buah. Bukan empat seperti yang dikatakan oleh Bapak Kepala Kantor kita. Hahaha

~~R Almanfaluthi

 

Saya tuh tidak suka buah. Semua buah. Memakan buah bikin saya enek dan mau muntah. Apalagi kalau mencium baunya. Melihat orang makan buah juga bikin pengen muntah. Menjijikkan. Saya harus tutup hidung dan mata kalau ada orang yang makan buah di hadapan saya. Apalagi dalam sebuah kendaraan umum jarak jauh misalnya. Sudah pasti itu bikin bete.

Tapi seiring dengan berjalannya waktu perubahan terjadi. Saya mulai belajar makan buah. Di tahun 1997 saya baru bisa makan apel. Ketika itu saya pulang dari Kampus STAN dan membawakan oleh-oleh buah apel buat ibu. Dan mencoba satu potongan yang diberikan dari ibu. Alhamdulillah bisa masuk. Buahnya manis lagi. Sejak saat itu saya kecanduan buah apel. Apel tertentu saja. Yang warnanya merah. Apel malang sampai sekarang masih belum bisa masuk.

Lima belas tahun berjalan saya hanya bisa makan satu buah itu saja. Kemudian musibah terjadi, waktu itu saya masih jadi petugas banding dari Direktorat Keberatan Banding, Direktorat Jenderal Pajak. Jadwal sidang di Pengadilan Pajak membuat pola makan saya tidak teratur hingga membuat maag saya kumat dan akhirnya masuk rumah sakit karena sakit saluran pencernaan (gastritis) yang gawat.

Di rumah sakit Pasar Rebo, Jakarta saya dirawat. Di sana selama dua hari tidak boleh makan apapun kecuali cairan dari selang infus. Setelah puasanya selesai disuguhkan makanan rumah sakit dan buah. Melon dan pepaya. Karena irisan potongan buahnya bagus, tidak lembek, dan tidak menjijikkan serta yang pasti dingin saya mencoba melon dan pepaya itu.

Subhanallah, itu melon berasa nikmat banget. Manis dan segar. Pepaya juga saya makan. Walau rada takut-takut. Takut muntah. Dan berasa nikmat juga. Akhirnya keluar dari rumah sakit saya mencoba makan melon lebih banyak lagi. Istri yang harus mengupasnya sendiri. Alhamdulillah saya bisa makan buah melon setelah itu. Bahkan pulang kerja saya sering beli melon satu gelondongan begitu. Sampai sekarang kalau ada prasmanan dan ada buah melon sebagai penutupnya saya akan ambil, asal bentuknya bagus dan sudah terpotong-potong begitu. Hahaha…Lalu pepaya? Masih belum bisa makan lagi.

Kemudian di akhir November 2014 saya pulang dari Forum Penagihan di Lombok. Dalam pesawat Garuda yang menerbangkan saya menuju Jakarta, saya mendapatkan hidangan makan seperti biasa. Buahnya ternyata semangka. Saya sentuh itu buah dan berasa dingin, potongannya juga bagus. Saya mencoba sedikit dan enak. Akhirnya saya menghabiskan buah semangka yang sedikit itu. Itulah momen pertama dalam seumur hidup saya, saya bisa makan semangka. Tapi tidak bikin addict gitu. Berbulan-bulan saya tidak makan buah ini. Melupakannya begitu saja.

Di pertengahan Maret 2015 saya ditugaskan untuk mencari kambing buat pesta syukuran kantor. Saya mencari kambing di Kota Fajar. Jauhnya setengah jam perjalanan dari Tapaktuan ke arah Subulussalam. Setelah dapat dua kambing betina itu kami berempat pulang. Di tengah perjalanan, teman saya yang bernama Junaedi Ginting berinisiatif untuk beristirahat dan mampir di sebuah warung penjual buah semangka.

Dia ambil satu buah semangka dan langsung membelahnya. Entah kenapa saya pengen juga mencoba memakannya. Tapi saya lihat dulu jorok tidak dia saat memotong buah semangka itu. Benak saya tentang buah menjijikkan masih tergambar jelas. Eh, dia paham juga. Tangannya tidak menyentuh daging buahnya. Dia menyodorkan satu potong kepada saya. Saya tanya kepadanya kalau biji semangka ini bisa dimakan atau tidak? Dia heran dan baru tahu kalau saya tidak suka buah. Saya mampu menghabiskan satu potong semangka itu. Dan tidak muntah. Itu juga pertama kali saya makan buah dalam momen “sembarangan” kayak gitu. Thanks Jun…

Waktu berjalan dengan cepat. Pertengahan April 2015 saya pergi diklat lagi ke Jakarta. Ada SMS masuk ketika saya baru menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta (19/4). “Kinan maunya es krim dan semangka,” itu yang tertulis dalam pesan tadi. Ini berarti saya harus membeli dua “sesuatu” ini buat Kinan. Sudah lebih dari dua minggu tidak ketemu Kinan bikin rindu saja. So, semoga oleh-oleh sedikit ini membahagiakannya.

Di Citayam saya mampir ke warung buah yang biasa saya beli melon manis. Saya beli satu buah semangka besar tanpa biji. Sampai di rumah Kinan menyambut saya dengan gembira. Semangka yang beratnya lebih dari empat kilo itu dengan susah payah ia rebut dari genggaman saya dan dengan tertatih-tatih membawanya ke belakang. Bocah berumur tujuh tahun itu senangnya bukan main melihat abinya bawa itu barang.

Sama om-nya itu buah langsung dipotong-potong. Saya mencoba satu potong kecil. Dan momen inilah yang tidak bisa saya lupakan. Ini buahnya merah dan manis banget, nget, nget. Saya sampai berulang kali bertasbih. Kenapa baru sekarang saya makan buah enak seperti ini. Apalagi setelah saya kenal Freeletics dan tidak makan gula lagi. Ketemu sama buah yang manis seperti semangka ini, saya jadi “gerages”. Jadi sumber gula yang bagus buat saya. Pada akhirnya, bukan Kinan yang menghabiskan buah banyak manfaatnya itu melainkan saya sendiri.

Di diklat pun, saat makan ramai-ramai ala polisi, buah semangka sering menjadi hidangan. Alhamdulillah saya bisa memakannya tanpa rasa jijik walau di sekitar saya banyak orang. Insya Allah ini menjadi sebagian dari banyak berkah buat saya ketika penempatan di Tapaktuan ini.

Tulisan ini barangkali buat sebagian orang tidak ada manfaatnya. Tetapi setidaknya menjadi catatan berharga dalam hidup saya. Istri saya sudah otomatis senang melihat suaminya sudah bisa makan buah. Dan tadi berbisik, “Mangga enak loh Bi.” Buah yang berasal dari kota saya sendiri, Indramayu, yang sampai saat ini belum bisa masuk ke perut saya. Insya Allah nanti di suatu saat.

Jadi teman-teman di Tapaktuan, kalau kalian bisa tahu, sekarang saya sudah bisa makan tiga jenis buah. Bukan empat seperti yang dikatakan oleh Bapak Kepala Kantor kita. Hahaha…

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Sebuah tulisan yang ditemani dengan sepiring buah semangka

25 April 2015

 

4 thoughts on “RIHLAH RIZA #59: Tiga bukan Empat

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.