Ilustrasi ayah dan anaknya dalam suatu pernikahan (Dari sini)
Ada ulama yang dikenal sebagai seorang zuhud, warak, dan berkepribadian sederhana serta hidup dalam keprihatinan. Ia sezaman dan pernah bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Namanya Hatim Alasham. Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Hatim bin Unwan Alasham. Ia dijuluki sebagai Alasham. Mengapa dijuluki sebagai Alasham (si tuli)? Ii Ruhimta dalam buku yang ditulisnya berjudul Kisah Para Salik menceritakan sosok syaikh dari Khurasan ini.
Dikatakan bahwa seorang perempuan bertanya kepada Hatim. Ketika bertanya tiba-tiba perempuan itu mengeluarkan angin. Merahlah mukanya karena malu. Hatim berkata kepadanya, “Hai, coba kamu keraskan suaramu agar dapat kudengar!” Perempuan itu bergembira sebab ia mengira bahwa Hatim itu tuli. Maka setelah peristiwa itu Hatim dikenal dengan Hatim Alasham.
Dari kitab yang berjudul Hilyatul Auliyaa’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ yang ditulis oleh Alhafiz Abi Nuaim Ahmad bin Abdullah Alishfahaani didapat nasihat yang diberikan oleh Hatim Alasham tentang terburu-buru atau ketergesaan. Ketergesa-gesaaan itu datang dari setan, kecuali dalam lima hal, sebab yang lima itu termasuk sunnah Rasulullah saw, yaitu: segera memberi jamuan kepada tamu apabila ia telah masuk rumah; segera mengurus mayat jika sudah jelas kematiannya; segera menikahkan anak perempuan jika ia sudah dewasa, segera membayar hutang jika telah tiba waktu pembayarannya; dan segera bertobat ketika terlanjur melakukan maksiat.
Sudah menjadi tabiat manusia untuk tergesa-gesa. Itu sudah digariskan Allah dalam surat Alanbiya ayat 37. Namun Rasulullah saw memperingatkan umatnya bahwa ketergesa-gesaan ini sebagai perbuatan setan (HR Tirmizi). Setiap apa yang dilakukan setan adalah sesuatu yang tentunya merugikan manusia. Benar-benar tidak ada untungnya sama sekali. Setan hanya ingin manusia meniru perbuatannya agar banyak manusia menjadi pengikut dan menjadi teman abadi di neraka.
Namun ada pengecualian ketergesa-gesaan di sini, karena Rasulullah saw telah mengisyaratkannya sebagai sebuah perbuatan yang baik dan menjadi amalan berpahala karena meniru perbuatan Rasulullah saw.
Segera memberi jamuan kepada tamu adalah bagian dari cara memuliakan tamu. Dan memuliakan tamu adalah tanda keberimanan seseorang kepada Allah dan hari akhir. Tamu yang berkunjung ke rumah kita bisa dalam keadaan dua kondisi. Kondisi kepayahan atau biasa saja. Ketika tamu datang dalam kondisi kepayahan maka memberi kepadanya segelas air atau makanan yang lezat ini berarti sebuah keberuntungan dan rezeki tidak terduga buatnya. Sedangkan bagi tamu yang biasa saja atau tidak dalam kepayahan, dengan jamuan itu sang tamu merasa dirinya dihormati dan merupakan hadiah yang akan mempererat hubungan persaudaraan di antara mereka.
Ketergesaan lainnya menyangkut kewajiban orang hidup kepada yang telah meninggal. Memandikan, mengafankan, menyolatkan, mengantarkan, dan menguburkan jenazah adalah urusan yang menjadi fardu kifayah bagi seorang muslim. Selain menyangkut kesehatan, bau tidak sedap, dan efek psikologisnya, mempercepat pengurusan jenazah mempunyai dimensi ukhrawi buat orang yang masih hidup. Jika yang meninggal itu adalah orang yang baik maka dengan mempercepat pengurusannya ini berarti mempercepat segala amal salehnya itu datang buat si mayit. Sedangkan jika yang meninggal itu orang yang tidak baik maka mempercepat pengurusan jenazahnya sama saja dengan mempercepat lepasnya keburukan dari orang yang hidup.
Menikah adalah menggenapi separuh din. Adalah sebuah kewajiban orang tua untuk menikahkan anaknya. Orang tua yang memberi jalan kepada anak perempuannya untuk menikah berarti membantu sang anak dalam menyelamatkan agamanya. Beban mental menjomblo dari seorang anak perempuan jauh lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Maka jika sudah tiba umurnya yang cukup untuk menikah, orang tua harus berpikir keras, berikhtiar, serta berdoa dalam rangka mencarikan jodoh terbaik buat anak perempuannya. Yang terbaik adalah laki-laki yang dipilih karena agamanya. Di sana ada banyak keberkahan.
Anak perempuan di antara Abi dan Umminya (Foto koleksi pribadi).
Ketergesaan yang baik lainnya adalah membayar hutang ketika jatuh tempo. Ini tanda seorang yang beriman, memegang amanat, dan menepati janji. Kata Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan oleh Adailami, “Tiada beriman orang yang tidak memegang amanat dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji.” Begitu banyak peringatan keras dalam agama ini buat orang yang berhutang karena urusan hutang akan dibawa sampai mati. Apalagi buat orang yang sebenarnya mampu untuk melunasi hutangnya namun ia enggan.
Ketergesaan terakhir yang disunnahkan adalah segera bertobat ketika terlanjur maksiat. Kita tak akan pernah tahu kapan kematian menjemput. Selagi masih ada waktu, selama nyawa belum sampai tenggorokan, maka setiap kemaksiatan yang dilakukan janganlah ditunda-tunda untuk diratapi, disesali, dan dimintakan ampunan-Nya. Sebaik-baik pembuat kesalahan adalah mereka yang bertaubat.
Hatim si tuli, sebagai ‘warasatul anbiya’, salaf yang memberi kepada kita nasihat. Nasihat yang abadi.
***
Riza Almanfaluthi,
@rizaalmanfaluth,
18 Mei 2014
Tulisan ini dibuat untuk Situs Intranet Masjid Shalahuddin DJP.
Tulisan ini dikopi dan ditempel dari situs tersebut.