Banyak Pegawai Pajak Seperti Dia, Bukan Gayus
Para penumpang secara bersamaan memandang motor yang berhenti persis di samping angkot itu. Motor yang dinaiki oleh lima orang. Di atasnya ada sepasang suami istri dengan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Anak paling besar di depan jok, anak keduanya di tengah, sedangkan yang kecil di gendongan Sang Ibu. Mereka tidak tahu kalau yang mengendarai motor itu adalah pegawai pajak.
Sudah 13 tahun lamanya, pegawai yang bernama Rizky Syabana ini, bekerja di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan. Tahun ini tahun kesembilan bekerja di lingkungan Kantor Pusat DJP. Menurutnya bekerja di direktorat yang mengurusi 75% penerimaan Negara ini tidak harus identik dengan kemewahan. Pun, PNS Pajak itu sama saja dengan PNS-PNS lainnya yang hidup bersahaja. Apalagi kesederhanaan itu adalah pilihan dan integritas adalah kewajiban.
Tentu ada masa baginya kalau integritas yang ia pegang teguh akan diuji. Syukurnya, seluruh ujian itu bisa dilewati dengan baik. Tawaran dari Wajib Pajak untuk dibantu dalam proses penyelesaian keberatan dengan imbalan yang menggiurkan, ditampiknya dengan sopan. Ia cuma mengisyaratkan kalau bersikap profesional adalah tuntutan untuk bekerja di direktorat yang terus berbenah sejak tahun 2002.
Tidak bisa tidak, ada tiga faktor yang mendukungnya untuk tetap bisa memegang teguh integritasnya itu. Pertama, paradigma tentang rezeki: jangan mengambil yang bukan haknya. Halal itu berkah. Dan keberkahan bukan berasal dari banyaknya harta. Tetapi istri, anak, kondisi rumah tangga yang selalu sehat itulah hartanya yang tak ternilai.
Kedua, merasa cukup dengan apa yang ada. Tak adanya tuntutan berlebihan dari orang tua dan istri kepada dirinya sebagai pegawai pajak yang “kata orang” harus punya ini dan itu. Ketiga, lingkungan kerja dan rumah tangga yang selalu mendukung. Sekaligus budaya di tempat kerja yang sudah baik seperti mematuhi jam kerja, berdoa sebelum bekerja, pengumuman adzan, saling mengingatkan untuk tetap menjaga integritas, dan masih banyak lagi lainnya.
Ramadhan telah tiba. Ada sesuatu yang unik di kantornya sekarang. Jika ia pergi ke Masjid setelah pengumuman waktu shalat, maka sudah dipastikan ia akan kebagian di barisan belakang karena Masjid sudah penuh oleh pegawai pajak lainnya. Ini yang dirindukan dari bulan Ramadhan. Semua seperti berlomba-lomba dalam kebaikan. Semua dilatih kejujurannya.
Tak pelak ini menumbuhkan harapannya bahwa kecambah integritas di setiap pegawai pajak akan terus terpelihara setelah bulan suci usai. Dilihat, didengar, diberitakan orang maupun tidak, di tempat yang sepi ataupun ramai. Kecambah itu akan menjadi tumbuhan yang kokoh, akarnya menghunjam jauh ke dalam tanah, batangnya kuat, cabangnya melangit, daunnya hijau dan rindang, buahnya manis.
Gayus -teman satu tim banding di Pengadilan Pajak– cuma daun kering dan tua yang memang sudah waktunya untuk jatuh. Tetapi komitmen dengan kejujuran yang dipegangnya membuat Rizki tak ikut terseret kasus yang mencederai semangat dan membuat luka hati setiap pegawai pajak yang sedang dalam proses perubahan itu.
Walau sempat dicaci, tapi ia menganggapnya sebagai risiko dari sebuah perubahan. Menyulitkan memang. Tapi bukankah semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh? Ia teringat kutipan John Gray itu. Dan ia percaya bahwa bersama kesulitan selalu ada kemudahan.
Sampai sekarang, pagi dan sorenya, Rizky tetap konsisten mengarungi 34 kilometer dari rumah menuju kantornya, pulang dan pergi, dengan motor yang setia menemani. Tetap dengan sederhananya. Tetap dengan integritasnya. Banyak Pegawai Ditjen Pajak berintegritas seperti Rizky bukan Gayus.
Seperti kesederhanaan dan integritas para pegawai pajak lainnya yang berada di daerah terpencil. Jauh dari keluarga dan pusat keramaian, tinggal di rumah dinas berkamar pengap tanpa AC dengan ranjang berkelambu, siang hari tanpa listrik, infrastruktur yang tidak memadai. Semua dijalani dengan sikap penuh kerelaan dan tanggung jawab.
Ini semata agar denyut pembangunan bisa dirasakan oleh setiap penduduk Republik ini. Oleh karenanya negeri ini butuh pegawai berintegritas seperti mereka dan perlulah berbangga terhadap para ksatria pajak dengan sikap sederhananya yang telah berjuang dan bekerja keras tanpa pamrih demi mengumpulkan penerimaan Negara.
***
Riza Almanfaluthi
di sebuah tuts keyboard
Gambar milik Direktorat Keberatan dan Banding/Puji.
semoga makin banyak lagi pegawai-pegawai seperti mas Rizky, dan semoga motornya masih muat untuk tambahan setidaknya satu anak lagi 😀
LikeLike
Amiin…
LikeLike
semoga banyak pegawai pajak jujur, gak harus sederhana banget kan mas? Toh boleh kan berpenghasilan lebih namun halal, pakai mobil ato motor kan tergantung keadaan, kebutuhan dan rejeki, smoga rejekinya halal dan banyak.
Pegawai pajak tu bukannya gak boleh kaya, yg gak boleh tu korup 😀
Selagi masih muda, ayo berbisnis, tapi jangan sampe integritasnya keganggu.
Salam dari jauh, salam satu hati
LikeLike
Setuju banget….
LikeLike
dengan THP yang diterima sekarang, kayaknya udah bisa beli motor setidaknya satu lagi tuh untuk istrinya. 🙂
tapi semua tergantung kepribadian dan gaya hidup ding ya..
LikeLike
Bisa jadi. Tapi memang betul, kebutuhan orang pun beda-beda. Terima kasiht elah berkunjung.
LikeLike
Salut!
LikeLike
Terima kasih.
LikeLike
mitos orang pajak harus hidup mewah justru dibangun oleh sebagian masyarakat krn orang yang punya kewenangan dianggap wajar utk mencari tambahan uang dari tempat dia bekerja. orang pajak yang hidup sederhana justru malah dikasihani karena dianggap tak bisa ngobyek (yg sebenarnya mmg tak ada) utk menyejahterakan keluarganya. cap paling buruk adalah dianggap bodo.
LikeLike
Terima kasih telah berpartisipasi komentar di sini.
LikeLike
Subhanalloh… Semoga beliau dan istri senantiasa diberikan kesabaran… semoga rezekinya makin laju ke depannya… jangan sampe anak ke-4 merasakan naik motor berenam….
LikeLike
Amiin.
LikeLike
keknya pak rizky tsb seangakatan dg saya deh mas. Salut dan salam hormat…
LikeLike
Betul sekali. 😀
Pada tanggal 14/08/14, Blog Riza Almanfaluthi
LikeLike