JURNALNYA SEPERTI APA?


JURNALNYA SEPERTI APA?

Pak Donny Prasetyo tanya tentang masalah penggunaan nilai kurs transaksi dengan kurs Keputusan Menteri Keuangan (KMK) seperti ini.

Perusahaan  kami  melakukan kegiatan ekspor  maupun  impor. Umpamanya nilai ekspor USD 100.000, kurs transaksi Rp9.500,00  sedangkan  kurs KMK Rp9.000,00.  Bagaimana cara  menjurnal transaksinya serta perhitungan  Pajak Pertambahan Nilai (PPN)  mengingat perbedaan kedua  kurs  tersebut.

Selain  itu  kami  membayar  gaji  expatriat  menggunakan uang  pinjaman/hutang dalam bentuk Dollar AS. Pertanyaan kami, dengan  kurs  apa  kami menghitung  Pajak Penghasilan (PPh) 21 dan bagaimana  jurnalnya?  Demikian. Terimakasih  banyak atas  jawabannya.

  1. JURNAL EKSPOR DAN IMPOR

Pada saat perusahaan mengekspor barang, maka dikenakan PPN sebesar 0%.  Atau sama saja PPN nya Rp0,00. Jurnal akuntansinya sebagai berikut:

Piutang Dagang                                 950.000.000

——————–Penjualan                                                            950.000.000

Kurs yang dipakai adalah kurs transaksi.

Pada saat perusahaan mengimpor barang, maka dikenakan PPN sebesar 10%. Kita anggap tidak ada PPh Pasal 22nya. Maka untuk pencatatan PPN dalam jurnal menggunakan kurs KMK, sedangkan untuk akun yang lainnya menggunakan kurs transaksi. Berikut Jurnalnya:

Pembelian                                          950.000.000

PPN Masukan                                      90.000.000

——————-Hutang                                                                 1.040.000.000

  1. JURNAL PPh PASAL 21

Misal hari kerja ekspatriat itu mulai 26 Oktober 2011 sampai dengan 25 November 2011. Misal juga perusahaan meminjam uang dollar AS kepada pemegang saham sebesar USD5,000.00 tanggal 27 November 2011. Sedangkan pembayaran gajinya tanggal 1 Desember 2011. Misal kurs transaksi Rp9.500,00  sedangkan  kurs KMK Rp9.000,00 dan tarif PPh Pasal 21 misal 5%.

Kalau demikian maka mulai tanggal 26 November 2011 s.d. 30 November 2011 terdapat hutang gaji oleh perusahaan kepada ekspatriat tersebut, sehingga dicatat demikian.

–          Jurnal tanggal 26 November 2011

Biaya Gaji                                                    47.500.000

—————–Hutang Gaji                                                        45.250.000

—————–Hutang PPh Pasal 21                                         2.250.000

Jadi ceritanya begini. Gaji ekspatriat itu adalah sebesar USD5000. Kalau dirupiahkan maka kurs yang dipakai adalah kurs transaksi. Berapa? Kalikan USD5000 dengan Rp9.500,00. Total rupiah gaji yang terutang kepada ekspatriat adalah sebesar Rp47.500.000,00.

Perusahaan mencatat sebagai hutang gaji pada tanggal 26 November 2011. Dan ingat, perusahaan punya kewajiban memotong PPh Pasal 21 sebesar 5% (ini tarif permisalan/gampangnya saja) pada saat terutang atau pencatatan transaksi ini. Berapa PPh Pasal 21 yang harus dipotong? Maka gunakan kurs KMK untuk menghitungnya yakni sebagai berikut: USD5000xRp9000x5%. Ditemukanlah hasil Rp2.250.000,00. Ini menandakan perusahaan punya utang kepada Negara karena pemotongan PPh Pasal 21 yang belum disetor ke Kas Negara sebesar Rp2.250.000,00. Paham yah?

Lalu perusahaan mikir nih. Duit dari mana buat bayar gaji ekspatriat? Pemegang saham berbaik hati minjemin itu duit dengan Dollar AS pada tanggal 27 November 2011. Maka dicatatlah pencatatan tersebut dengan memakai kurs transaksi sebagai berikut:

–          Jurnal tanggal 27 November 2011.

Kas                                                                        47.500.000

————–Hutang pada Pemegang Saham                                                 47.500.000

Kemudian untuk pencatatan tanggal 1 Desember 2011 sebagai tanggal pembayaran gaji adalah sebagai berikut:

–          Jurnal tanggal 1 Desember 2011

Hutang Gaji                                                45.250.000

———————–Kas                                                         45.250.000

Perusahaan punya kewajiban membayar PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut ke Kas Negara itu paling lambat tanggal 10 Desember 2011, maka jurnalnya adalah sebagai berikut:

–          Jurnal tanggal 10 Desember 2011

Hutang Pajak                             2.250.000

———————-Kas                                                         2.250.000

Demikian semoga bisa dipahami.

**

Riza Almanfaluthi & Arifin Purnomo

dedaunan di ranting cemara

09.56 28 Desember 2011

Tags: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pph pasal 21, pph 21, ppn, jurnal akuntansi, ekspor, impor,

RESIKO PEMINDAHBUKUAN TELAT DIBUAT


RESIKO PEMINDAHBUKUAN TELAT DIBUAT

 

Di negeri antah berantah yang kondisinya sama dengan kondisi Republik Indonesia saat ini terdapat sebuah kisah. PT MERAPI GONJANG GANJING (untuk selanjutnya disingkat PTMMG) mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak. Alasannya karena pada saat pemeriksaan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Tahun Pajak 2007, Pemeriksa Pajak tidak mengakui kredit pajak sebesar Rp250.000.000,00. Padahal Wajib Pajak merasa telah melakukan penyetoran PPh Pasal 21 pada masa pajak Januari s.d. Desember 2007. Mengapa?

Menurut Pemeriksa, kredit pajak sebesar itu tidak dapat dipertimbangkan karena berdasarkan bukti Surat Setoran Pajak (SSP) yang ada, nama yang tertera dalam SSP bukan nama PTMMG tapi nama perusahaan lain yaitu PT MENTAWAI TURUT BERDUKA (PTMTB). Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan alamatnya pun salah.

Pada saat proses permohonan keberatan, bukti Pemindahbukuan (Pbk) yang disodorkan oleh Wajib Pajak—dalam hal ini Wajib Pajak telah mengakui terdapat kesalahan dalam pengisian SSP-nya sehingga mengajukan permohonan pemindahbukuan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama—tidak juga diakui oleh Penelaah Keberatan Kantor Wilayah (Kanwil). Mengapa juga?

Menurut Penelaah Keberatan Kanwil, bukti Pbk tidak dapat dipertimbangkan sebagai kredit pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Pasal 21 karena bukti Pbk itu baru ada setelah SKPKB PPh Pasal 21 terbit.

Dalam persidangan di depan Majelis Hakim, Wajib Pajak mengatakan bahwa sebenarnya pada saat proses pemeriksaan sudah diajukan permohonan pemindahbukuan namun bukti pemindahbukuan baru ada pada saat pemeriksaan sudah selesai.

Terbanding (dalam hal ini adalah DJP) menyanggah pernyataan Wajib Pajak tersebut dengan menguraikan kronologis sebagai berikut:

  • 29 Desember 2008: SKPKB PPh Pasal 21 terbit;
  • 18 Maret 2009: Wajib Pajak mengajukan permohonan pemindahbukuan;
  • 26 Maret 2009: Permohonan Keberatan Wajib Pajak diterima KPP Pratama;
  • 17 Mei 2009: Diterbitkan bukti Pbk oleh KPP Pratama yang tanggal berlakunya sama dengan tanggal terbit bukti Pbk tersebut;
  • 21 Desember 2009: Terbit surat keputusan keberatan;
  • 20 Maret 2010: Permohonan Banding Wajib Pajak diterima Pengadilan Pajak.

Dari kronologis tersebut Majelis Hakim menanyakan kepada Wajib Pajak pengajuan permohonan pemindahbukuan itu disampaikan sebelum pemeriksaan atau sesudah pemeriksaan. Wajib Pajak mengatakan sesudah dilakukannya pemeriksaan. Pada saat pemeriksaan baru sebatas omong-omong kepada Pemeriksa Pajak.

Dari keterangan yang dikumpulkan dalam persidangan baik dari Wajib Pajak dan Terbanding maka Majelis Hakim menilai bahwa penerbitan SKPKB tersebut sudah betul. Tidak ada sengketa dalam SKPKB itu. Karena sampai dengan diterbitkannya SKPKB, tidak ada SSP yang dianggap absah untuk dijadikan kredit pajak. Siapapun—dalam hal ini Pemeriksa Pajak—tidak akan berani untuk mengkreditkan SSP yang bukan milik Wajib Pajak terkecuali siap menanggung resiko dipenjara.

Terkecuali pula jika bukti Pbk diterbitkannya sebelum selesai pemeriksaan dan tidak diakui oleh Pemeriksa Pajak, maka hal ini lain soal. Berarti ada masalah dalam penerbitan SKPKB-nya. Ini baru ada sengketa.

Majelis Hakim pun menilai bahwa uang sebesar Rp250.000.000,00 milik Wajib Pajak itu masih tetap ada. Dan merupakan wewenang administrasi perpajakan—dalam hal ini adalah KPP Pratama—untuk memindahbukukan (baca: menyelamatkan) uang yang ada dalam bukti Pbk tersebut untuk pembayaran jenis pajak lainnya.

Selesai sudah kisah ini.

***

Tags: Permohonan Banding, keberatan, SKPKB, PPh Pasal 21, Pengadilan Pajak, Pemindahbukuan, surat keputusan keberatan, wajib pajak, majelis hakim, pemeriksa pajak, penelaah keberatan, terbanding, kpp pratama, kanwil, tata cara pengajuan permhonan banding, tata cara pengajuan keberatan.

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

01.28 6 November 2010

ORANG PAJAK DIKASIH THR CUMA RP8.000,00


ORANG PAJAK DIKASIH THR CUMA Rp8000,00

Sabtu, 19 September 2009

Waktu itu jelang maghrib, saya masih di depan televisi untuk melihat saluran mana yang memberitakan mengenai sidang isbat 1 Syawal 1430 H. Dus, cari saluran mana yang cepat dalam mengumandangkan adzan maghribnya. He…he…he…Kalau pembaca membaca tulisan saya terdahulu pada saat-saat itu juga saya sedang lemas-lemasnya karena habis menempuh perjalanan mudik yang panjang—berkisar 526 Km dalam 30 jam tempuh.

Tiba-tiba, saya didatangi Ayyasy—anak kedua saya—sambil menyodorkan kepada saya empat lembaran uang kertas bergambar Pangeran Antasari.

“Apaan nih Nak?” tanya saya. Dia diam saja sambil tersenyum-senyum.

Umminya yang sedang di dalam kamar menyahut, “Itu loh Bi, Ayyasy ulang tahun hari ini, jadi dia kasih uang traktiran. Ummi dikasih, Haqi dikasih, Kinan juga dikasih.”

“Subhanallah, Terima kasih ya Nak,” kata saya, “Ini THR-nya Abi nih…”

Uangnya Ayyas itu dari kita-kita juga yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit. Pun, dari imbalan ataupun pemacu kalau puasanya bisa sehari penuh.

Yang menarik bagi saya dari peristiwa kecil itu bukan besar kecilnya uang itu yang cuma delapan ribu perak, tapi timbulnya rasa kepedulian pada anak tujuh tahunan —sekali lagi bagi saya—itu adalah hal yang teramat luar biasa. Juga timbulnya keinginan membahagiakan orang lain. Saya berharap sampai gede pun demikian.

Umminya pernah bilang dalam suatu kesempatan, “Ayyasy bilang nanti kalau setiap ulang tahun mau kasih duit. Itu juga kalau Ayyasy punya duit.”

“Ayyasy kalau sudah gede dapat gajian sepuluh juta, buat umminya berapa?” tanya Ummu Ayyasy iseng-iseng berhadiah.

“Buat Ummi semuanya,” kata Ayyasy.

“Kalau Haqi berapa?” tanya Ummi lagi.

“Sejuta saja, he…he…he…” kata Haqi.

“Alhamdulillah…”

(Ini dialog kayak di VCD Islami saja yah…tapi betulan loh…)

***

Segala puji bagi Allah, ramadhan telah mendidik mereka untuk bisa saling berbagi. Haqi dan Ayyasy selama dalam perjalanan mudik pun tidak bisa meninggalkan kota infak masjid yang kami singgahi tanpa mereka mengisi terlebih dahulu kotak itu dengan uang yang mereka miliki sendiri. Begitu pula dengan para peminta-minta. Insya Allah.

Saya meminta pada Allah agar kami dijauhi dari sikap bakhil, pelit, koret, medit. Allahumma inni a’udzubika minal jubni wal bukhl

Begitu pula dengan anak-anak kami. Amin.

Riza Almanfaluthi

orang pajak

dedaunan di ranting cemara

07:27 24 September 2009