RINDU LAUT


RINDU LAUT

    Malam ini kembali saya tak bisa tidur. Ada gundah yang membuncah. Ada gelembung yang siap mengapung dan pecah. Ada kata-kata yang tak mau berhenti untuk diucap. Ada pikiran yang tak mau berhenti kembara. Dan semuanya berujung tiba-tiba dengan bangkitnya saya dari peraduan. Lalu menyalakan netbook. Membuka lembaran putih. Kemudian mengetikkan dua kata: rindu laut.

    

Semuanya terbentang. Dengan rasa yang tak tertahankan pada deru gelombangnya. Ombaknya yang tidak pernah muntah menjilati tepian pantai. Anginnya yang menerjang tak pernah berhenti. Teriakan camar cerewet. Bau khasnya yang selalu menggelitiki hidung. Batu karang yang sombong. Pohon kelapa yang menari. Pasir-pasir yang berusaha untuk melembutkan dirinya pada setiap telapak kaki dengan cangkang-cangkang tiram mengilap terselip di sana. Semuanya ada pada benak saya malam ini.

    Dan tanda tanya tiga di belakang sebuah kalimat berikut: kapan lagi saya akan merasakannya setelah hampir 8 tahun lamanya, menyemut di kepala. Rindu laut membuat saya memelas meminta kepada memori yang ada di tempurung otak saya untuk membongkar kenangan dua puluh tahunan lampau.

    Memori itu menemukan serakan-serakan seperti ini. Perkemahan sabtu minggu, upacara bendera di tepi pantai, jilatan ombak, senja, dentingan gitar, perahu di tengah laut, dan lagu kemesraan yang mengalun indah. Ya kutemukan saat itu adalah saat—yang kata Iwan Fals—semoga jangan cepat berlalu. Ada kedamaian di sana katanya lagi.

Sampai sekarang momen-momen itu tak pernah saya lupakan. Karena memang lautnya sendiri cantik dan manis. Ngangenin. Ia pun pandai sekali bercerita. Cerita apa saja. Sampai berbusa-busa. Buktinya betapa banyak puisi dan syair yang tercipta darinya. Betapa banyak lirik lagu dan instrumentalia terinspirasi darinya. Memetaforakan apa saja. Memersonifikasikan siapa saja.

Malam ini saya rindu laut. Pada warna-warna yang seringkali berebutan menjadi warna dominan dalam sebuah kanvas lukisan. Biru muda pada langitnya. Biru tua pada lautnya. Kuning pada mataharinya. Jingga pada senjanya. Putih pada awan-awannya. Hitam dan putih pada pasirnya. Tujuh warna pada pelanginya yang seringkali muncul. Hijau pada nyiur-nyiur yang melambai.

    Malam ini saya rindu laut untuk sejenak melupakan apa yang terjadi. Melupakan segenap yang ada. Hingga waktu ini mau tunduk pada saya untuk segera berputar cepat. Tapi terlihat ia enggan dengan teramat sangat. Apa boleh buat seringkali saya menghelanya dengan keras. Jika diperlukan ada cambuk yang siap dilecutkan padanya.

    Malam ini saya rindu laut sedangkan Citayam jauh sekali darinya. Butuh puluhan kilometer untuk memisahkannya. Di barat lebih indah. Di utara penuh dengan sampah. Di timur kejauhan. Di selatan terlalu ganas. Ya aku akan menuju barat. Tapi setelah malam ini tentunya. Setelah urusan selesai semuanya. Untuk sekadar menuntaskan rindu yang tak tersampaikan.

    Setelah rindu ini selesai, rindu mana lagi?

***

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

dari citayam yang masih terasa gerah

malam ahad hingga 01.40 13 Februari 2011

pertama kali diunggah di: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/02/13/rindu-laut/

gambar berasal dari: sini

 

 

Tags: laut, iwan fals, kemesraan, citayam, pelangi

 

 

    

BIBI TEBU


BIBI TEBU

Bibi saya yang satu ini sangat dekat sekali dengan ibu saya. Waktu meninggalnya ibu dia tampak yang sangat terpukul. Ibu adalah tempat curhat bibi di saat ia kesepian ditinggal suaminya kerja di Arab Saudi. Sebelum menikah pun ia tinggal dengan ibu.

    Hari ini saya teringatnya. Ia masih muda. Tapi saya menganggapnya sebagai pengganti ibu. Dua minggu dengan serangan maag bertubi-tubi, saya baru sadar kalau saya belum minta doa padanya. Segera saya mengirimnya pesan pendek tadi pagi. “Lik, nyuwun pandongane, kula kena maag dereng sembuh sampun kali minggu.” Yang tidak mengerti bahasa Indramayu saya terjemahkan ke bahasa Inggris Indonesia dulu: “Lik, minta doanya, saya kena maag belum sembuh juga sudah dua minggu.”

    Pada saat saya sedang mendiskusikan berkas yang akan diperiksa di Pengadilan Pajak dengan tim saya, pesan dari bibi saya mampir di telepon genggam, mau tahu apa yang ia katakan? Saya tidak menyingkat pesannya agar bisa dimengerti.

“Assalaamu’alaikum, Ang aja mangan sing pedes-pedes, keras-keras, asem-asem ari lagi kerasa. Lamon bisa mangan segane sing lemes toli baka mangan aja langsung akeh, setitik-setitik tapi sering. Lamon parek tak gawekena jamu kunir karo temulawak. Alhamdulillah Lik Idah ora pernah kerasa maning. Sing sabar bae ya Ang gage diobati sebelum parah. Ari Bapak priben waras?”

    Saya terus terang saja mengulum senyum saat baca pesan dari bibi saya ini. Saya jadi kangen bicara Dermayuan. Tapi tolong pembaca ya, jangan kami samakan dengan saudara kita yang bicaranya ngapak-ngapak itu yang kalau ngomong seperti ini nih: “Mamake wis balik?” Dengan huruf k yang medok banget. Beda sungguh. Jangan tersinggung yah.

    Ayo kita terjemahkan satu persatu ke dalam bahasa Jerman (Jejeran Sleman) Indonesia. Oh ya Ang itu adalah panggilan kepada kakak atau saudara tua. Bibi saya selalu memanggil saya Ang Riza agar anak-anaknya—saudara sepupu saya—juga ikutan memanggil dengan sebutan demikian. Sebuah penghormatan.

“Assalaamu’alaikum, Ang jangan makan yang pedas-pedas, keras-keras, asam-asam kalau lagi terasa. Kalau bisa makan nasi yang lemas, juga kalau makan jangan langsung banyak, sedikit-sedikit tapi sering. Kalau dekat sih akan dibuatkan jamu kunir dengan temulawak. Alhamdulillah Lik Idah tidak pernah terasa lagi. Yang sabar saja ya Ang cepat diobati sebelum parah. Kalau Bapak bagaimana sehat?

    Pesan darinya seperti bara yang dimasukkan ke dalam air, cess…! Mendinginkan. Bibi saya ini memang perhatian banget dengan anak-anaknya ibu saya. Kalau pulang dari rumahnya di desa Segeran—sentra buah mangga Indramayu—saya pasti diberi oleh-oleh kesukaan saya seperti krupuk melarat atau krupuk bumbu. Atau dimasakkan “blekutak” sejenis cumi dengan tinta hitamnya yang khas. Makanya setiap lebaran sebelum ke Semarang Insya Allah saya selalu mampir ke rumahnya.

    Hmm, yang pasti kalau lagi musim buah mangga, wuih itu yang namanya desa Segeran penuh dengan pohon-pohon yang buahnya sampai terjuntai ke tanah. Kuning merekah. Saya biasanya dibawakan satu kardus penuh buah mangga untuk dibawa ke Jakarta. Bukan untuk saya, karena saya tidak suka buah. Bibi sudah tahu itu. Untuk siapa dong? Untuk keluarga di rumah dan teman-teman kantor biasanya. Itulah kebaikannya.

    Dan bapak saya sampai berpesan, “tolong bantu kalau dia butuh pertolongan.” Insya Allah Pak. Tiba-tiba teringat masa kecil waktu bibi disuruh Ibu untuk menceboki saya. Ia dengan enggan mendatangi saya. Saya jelas lari darinya. Kenapa? Dia pakai batang tebu untuk menceboki saya. Saya langsung kabur.

    SMS-nya masuk kembali. “Tapi wis berobat durung? Toli kerjane priben? Tetep mangkat? Sangu roti bae kanggo ngisi weteng sebelum jam makan, aja sampe kosong nemen.” (Tapi sudah berobat belum? Kemudian pekerjaan bagaimana? Tetap berangkat? Bekal roti saja buat mengisi perut sebelum jam makan, jangan sampai kosong sekali).

    Saya cuma membalasnya dengan ucapan Jazakillah Khoiron Katsiiro, Bi. Semoga Allah membalas kebaikan bibi dengan kebaikan yang berlipat ganda. Doanya telah meringankan saya hari ini.

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

di atas ketinggian lantai 9 gedung Pengadilan Pajak

11.32 10 Februari 2011    

 

    Tags: segeran , jatibarang, ngapak, dermayuan, indramayu, jerman, jejeran sleman, sleman, inggris, indonesia, pengadilan pajak, sentra mangga

INDRAMAYU-SEMARANG LANCAR


INDRAMAYU-SEMARANG LANCAR

Malam-malam, bibi saya kaget. Ia menyangka mobil yang masuk ke pekarangan rumahnya adalah mobilnya yang sedang pergi ke Jakarta. Ketika membuka garasi, baru ia “ngeh” kalau yang datang adalah keponakannya. Perjalanan yang begitu panjang sebelumnya seperti enggak terasa karena ada kebahagiaan dalam pertemuan ini. Apatah lagi makan malam berat ditemani dengan sayur dan tahu buatan bibi setelah sekian lama. Nikmat banget.

Karena kepala saya pusing, nyut-nyutan, akhirnya diputuskan untuk berangkat ke Semarangnya besok pagi dini hari. Saya minum obat pasaran kegemaran saya, yang kalau diminum sakit kepalanya langsung hilang. Cukup satu biji saja. Setelah itu tidur.

Sabtu, 19 September 2009

Jam dua malam kami bangun untuk bersiap-siap berangkat kembali. Di Dapur Bibi, sibuk sekali menyiapkan makanan untuk sahur kami. Sayur bening dan telur dadar. Subhanallah, walaupun sederhana tapi lezat nian. Sepertinya ini sahur terlahap yang pernah saya ingat di ramadhan ini. Pula, bisa jadi ini adalah sahur yang terakhir di ujung ramadhan.

Tiga kurang delapan menit, angka yang ditunjukkan oleh jam di mobil kami. Kami berangkat dari rumah bibi. Sebelum pergi, saya bilang kepada Bibi saya Insya Allah Sabtu mendatang, sewaktu akan balik ke Jakarta, kami datang kembali ke rumah Bibi .

Bibi saya berpesan, kalau mau balik lagi ke sini bilang dulu, supaya dirinya bisa mempersiapkan oleh-oleh yang harus kami bawa untuk ke Jakarta. Ia, katanya mau membuatkan kami koci, makanan khas Indramayu yang bentuknya segitiga dan di dalamnya ada isi kacang hijau. Oke Bi…

Mata sudah melek betul ketika kami menyusuri jalanan jalur Karang Ampel Cirebon yang bermeridian, lebar, mulus, dan sepi. Kecepatan bisa dipacu sampai 100 km/jam. Benar-benar kami seakan-akan pemilik sejatinya jalan itu. Dan kami baru menemukan rombongan pemudik lain, kala kami sampai di pertigaan Kanci.

Sholat Shubuh kami lakukan di daerah sekitar Tanjung, Brebes. Kami singgah di Masjid di sana. Namun sungguh tak representatif sekali. Kamar kecil dan airnya sedikit sekali. Jadi diputuskan masjid ini bukan untuk tempat istirahat kami.

Secara umum perjalanan kami lancar-lancar saja. Kemacetan walaupun ada jarang kami temui. Dan tentunya tidaklah separah hari kemarinnya.

Ketika kantuk mulai terasa, kami memutuskan untuk berisitrahat di Posko Toyota di Alas Roban. Awalnya kami sudah membayangkan apa yang pernah diiklankan di situsnya tentang posko lebaran Toyota seperti fasilitas kursi pijat atau istirahat yang nyaman. Tapi nyatanya jauh api dari panggang. Kami mampir dan tidak ada fasilitas itu. Sekadar mencari kursi tersisa untuk tempat duduk pun enggak ada. Mungkin karena banyak pemudik yang lagi menunggu kendaraannya diperbaiki.

Jadi kami tidak istirahat di sana. Hasilnya sambil terkantuk-kantuk saya hampir menabrak pengendara motor. Sedetik saya kehilangan kesadaran. Alhamdulillah yang masih melindungi kami. Segera kami cari SPBU untuk mengistirahatkan mata ini barang lima atau sepuluh menit.

Setelah istirahat kami cabut lagi. Tentunya dengan kondisi badan yang sudah lebih baik dari seperempat jam yang lalu.

Dan tepat pada pukul 12.05 WIB kami sampai di rumah.

Masalahnya kawan, maghrib masih lama. Sedangkan badan terasa lemas banget. Sampai di rumah saya langsung tidur. Bangun tidur masih jam dua. Tidur lagi, bangun lagi belum maghrib juga. Baru kali ini saya puasa sambil melihat
jam terus. Jam tiga…Jam empat…Benar-benar berat…

Tapi tenang saja, maghrib di Semarang lebih cepat daripada maghrib di Jakarta. Dan pada waktunya…

Allahuakbar…Allahuakbar…Syawal pun tiba.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

17.30 23 September 2009

kencangkan ikat pinggang

ASLI DERMAYU


Saat akan kembali ke Jakarta, Ibu bersikeras membawakan kami oleh-oleh untuk dibagikan ke tetangga-tetangga kami. Sebenarnya bukannya tidak suka kami dibawakan semua itu tapi karena bawaan kami sudah banyak dan khawatir ribet di sepanjang perjalanan dengan kereta api pada saat puncak arus balik Sabtu kemarin.
Tapi karena Ummu Haqi juga tidak keberatan untuk menerimanya—dan tentu pula membawanya—maka otomatis jadi juga saya membawa satu kardus oleh-oleh khas Indramayu; buah mangga asli Indramayu dari daerah sentranya Desa Segeran. Tapi pada akhirnya tetap saya yang membawa beban itu berupa tiga tas pakaian dan satu kardus. Berat euy…
Ngomong-ngomong tentang buah mangga ini, mungkin ini satu-satunya yang bisa saya banggakan dari Indramayu selain pandangan negatif tentang daerah di pantura ini. Tentang kawin cerainya-lah, tentang wisata plusnya (Anda tahu sendiri lah…), tentang kemiskinannya dan lain-lainnya. Walaupun saya tidak suka mangga dan tidak punya pohonnya di kampung sana tapi saya bilang kepada setiap orang yang saya beri: “ini benar-benar asli dari Indramayu loh…”
Soalnya statemen ini perlu untuk meyakinkan bahwa buah yang kami bawa ini beda banget dengan buah mangga berlabel “Indramayu” yang dijual di pinggir jalanan Jakarta atau yang diasongkan di kereta rel listrik Jakarta-Bogor. Rasanyalah—ini bukan kata saya tapi kata Ummu Haqi—yang membedakannya. Dan katanya pula yang membuat beda adalah karena pohon mangga itu ditanam di Indramayu—dekat pantai dan tanahnya bergaram, soalnya walaupun bibitnya asli dari Indramayu juga tapi kalau tidak ditanam di Indramayu, rasanya akan beda pula. Tidak senikmat dan selezat aslinya.
Anda mau merasakan nikmatnya? Kalau Anda bepergian di sekitar Pantura sempatkan mampir di Jatibarang karena di sepanjang jalan ada warung-warung yang menjajakan beragam jenis buah mangga—bapang, susu, golek, apel, arummanis, dll. Kalau punya waktu lebih maka kunjungilah desa Segeran yang letaknya sekitar 15 km arah timur Jatibarang menuju Karangampel, karena di sana Anda akan melihat betapa di setiap rumah penduduk desa terlihat pohon mangga yang berbuah banyak sampai menjuntai-juntai ke tanah. Uih…menyenangkan sekali untuk dilihat dan dinikmati tentunya.
Allohuta’ala a’lamu bishshowab.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08:06 30 Oktober 2006