JAWABAN BUAT ISMAIL HASANI SI PENUDUH


JAWABAN BUAT ISMAIL HASANI SI PENUDUH

Di setiap masanya, Islam selalu digedor oleh musuh-musuhnya. Tidak hanya dari kalangan luar, dari orang-orang yang berwajah atau bernama layaknya nabi pun tidak kalah tangguhnya untuk ikut ramai-ramai menjadi penghancur agama. Minimal punya penyakit bernama kecemasan luar biasa, tidak percaya dan curiga berlebihan yang lazim disebut paranoid.

Tepatnya saat ini sosok paranoid itu ada pada Ismail Hasani, peneliti SETARA Institute, yang menyatakan dalam sebuah diskusi bahwa TKIT (Taman Kanak-kanan Islam Terpadu) dan SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) sebagai sarana pemupuk benih radikalisme Islam. Bahkan dia mengatakan bahwa lagu-lagu jihad Palestina yang biasa dinyanyikan oleh siswa-siswa lembaga pendidikan tersebut mengancam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan bertentangan dengan Pancasila. Diskusi yang mengetengahkan tema tentang deradikalisasi untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan atas nama agama itu diselenggarakan di Hotel Atlet, Jakarta (10/1).

Pernyataan Ismail Hasani sebagian memang tepat. Dulu, di zaman pergerakan nasional, sekolah memang menjadi tempat tumbuhnya sosok-sosok nasionalis radikal dan antikolonial. Ini menjadi dilema bagi penjajah Belanda pada saat itu, di lain pihak sekolah adalah tempat terbaik untuk menghasilkan administratur yang handal buat mereka. Tak bisa dipungkiri bahwa sekolah memang menjadi tempat yang tepat untuk menyuburkan idealisme.

Sayangnya sekarang Ismail Hasani sama seperti orang-orang Belanda puluhan tahun lampau itu. Takut dengan munculnya benih-benih idealisme. Bedanya Ismail Hasani berkulit coklat, mereka berkulit putih. Dulu yang berkulit putih identik sekali dengan penindas.

Dengan pernyataannya, Ismail Hasani terlihat alergi dengan jihad Palestina seberapapun ia menyangkal. Jihad Palestina adalah perjuangan rakyat Palestina untuk memerangi kesewenang-wenangan dan penindasan yang dilakukan oleh para imperialis dan zionis Israel itu. Dan setiap gerakan perlawanan terhadap kesewenangan-wenangan imperialisme, dalam sejarah, disebut juga sebagai gerakan nasionalisme. Lalu apa yang salah dengan pengumandangan lagu-lagu jihad Palestina tersebut?

Atau semuanya bertitik tolak terhadap definisi nasionalisme yang dipakai oleh Ismail Hasani yang terlihat sempit ala Nicolas Chauvin. Semua orang yang ada di luar batas tanah air mereka tidak dipedulikan dan hanya mengurus semua yang berkaitan langsung dengan apa yang ada di dalam batas wilayahnya.

Islam mengajarkan nasionalisme yang lebih luas dari sekadar itu. Berbuhul pada ikatan akidah esensinya. Jika nasionalisme itu adalah cinta, keberpihakan, rindu, berjuang membebaskan tanah air dari cengkeraman ketidakadilan, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putera-puteri bangsa, memperkuat ikatan kekeluargaan antar anggota masyarakat, menyatukan diri dalam sebuah keluarga besar yang bernama NKRI dengan tetap turut merasakan apa yang saudara-saudara muslim rasakan di belahan manapun, maka Islam mengakuinya. Dan itulah nasionalisme dengan segala kebaikan yang ada untuk tanah air ini.

Yang tidak dibaca oleh Ismail Hasani juga adalah peran serta, opini serta dukungan dari rakyat Palestina terhadap proklamasi kemerdekaan republik Indonesia yang pada saat itu hanya secara de facto. Butuh pengakuan dari bangsa-bangsa lain untuk dianggap berdaulat dan sejajar dengan bangsa merdeka lainnya.

Terkecuali memang Ismail Hasani sudah memakan mentah-mentah tanpa dikunyah tuduhan Israel dan Ameriksa Serikat terhadap gerakan perlawanan Palestina sebagai gerakan terorisme. Maka wajar ia menyamakan lagu-lagu jihad Palestina itu sebagai lagu perusak NKRI. Dan ia membalas dengan tuba partisipasi rakyat Palestina itu untuk kemerdekaan negeri ini.

Ismail Hasani juga lupa dengan sejarah atau memang pemikirannya yang sudah kena virus deislamisasi penulisan sejarah kalau kemerdekaan republik ini diperoleh dengan keringat dan darah yang dikorbankan para ulama dan santri yang mengobarkan semangat jihad untuk melawan penjajah Belanda. Atau aksi jihad yang dilancarkan seorang panglima besar Soedirman yang merupakan mantan seorang guru Moehammadijah.

Bung Tomo sudah kadung terkenal dengan teriakan takbir dan seruan jihadnya pada 10 November 1945. Tak terlepas 18 hari sebelumnya, kakek Gus Dur—salah seorang badan pendiri SETARA Institute—yang bernama Kiai Haji Hasyim Asy’ari mendeklarasikan resolusi jihad: perang suci melawan Belanda yang ingin kembali menjajah.

Ada sebuah tuntutan terhadap Ismail Hasani sebagai penuduh untuk membuktikan bahwa menyanyikan lagu-lagu jihad Palestina itu bertentangan dengan Pancasila. Sila yang keberapa? Sila pertamakah? Kedua? Atau sila yang mana? Bukanlah pula nasyid-nasyid jihad Palestina adalah juga lagu-lagu perjuangan. Lalu apakah ada jaminan bila lagu-lagu perjuangan selain nasyid yang jika dikumandangkan akan menghasilkan manusia yang pancasilais?

Amir Sjarifoeddin Harahap, mantan perdana menteri RI yang menandatangani perjanjian Renville, sebelum ditembak mati menyanyikan lagu L’Internationale—lagu kebangsaan kelompok Bolsyevik Uni Soviet—dan Indonesia Raya, padahal ia adalah seorang komunis. Lagu-lagu perjuangan diperdengarkan setiap tahun namun Indonesia masih jago dalam hal korupsi. Jadi akan terlalu sempit bila sebatas lagu menjadi ukuran sosok berkarakter kuat pancasilais.

Dan saya meyakini betul, kalau di TKIT dan SDIT itu diajarkan pula tentang lagu-lagu perjuangan, tidak hanya nasyid jihad Palestina yang menjadi pelengkap acara hiburan pada saat pelepasan murid-muridnya.

Pada akhirnya saya hanya khawatir, bahwa Ismail Hasani cuma menjadi kepanjangan suara dari negara-negara barat yang gemar menuduh serampangan kepada mereka yang berseberangan dengan kepentingan besar negara-negara tersebut. Setelah dulu madrasah dan pesantren dituduh sebagai tempat perkecambahan radikalisme. Sekarang TKIT dan SDIT. Lalu besok apalagi?

Si penuduh wajib memberi bukti dan si tertuduh wajib memberikan sumpah. Kaidah elok untuk Ismail Hasani.

Wallohua’lam bishshowab.

***

 

Riza Almanfaluthi

Penulis dan Blogger

dedaunan di ranting cemara

01.30 Citayam 14 Januari 2011

 

Tags: ismail hasani, setara institute, gus dur, hasyim asy’ari, amir syarifuddin harahap, komunis, palestina, nasyid, amir sjarifoeddin harahap, bolsyevik uni soviet, nasionalisme, imperialisme, israel, zionisme, nicolas chauvin, jihad, radikalisme, terorisme, l’internationale

CATATAN AWAL TAHUN: IZRAILISME


CATATAN AWAL TAHUN:

IZRAILISME

 

Kalau sudah demikian yang hanya dapat mengingatkan adalah malaikat izrail yang sudah mulai cawe-cawe (menyapa): “Halo Bang? Sudah siap?… pelan-pelan atau kasar nih? Bisa dipilih sih, tapi pilihannya bukan sekarang, tapi waktu masih dikasih kesempatan hidup.”

***

01 Januari 2011

    Tadi malam saya bersyukur sekali bisa tidur nyenyak. Tanpa terganggu sedikit pun suara berisik nyanyian kodok dari orang-orang yang membuang-buang duitnya untuk terompet, petasan, dan kembang api.

    Shubuh berjama’ah di masjid hanya dihadiri oleh 5 orang ditambah Ayyasy yang dari jam tiga pagi tidak bisa tidur. Kebanyakan yang bermalamtahunbaruan tidak shalat shubuh di masjid. Kalaupun tidak tahun baruan juga masjid tetap sama kosongnya.

    Pagi ini, ingin sekali saya berangkat ke Salawu, Tasikmalaya. Berkumpul dengan keluarga besar di sana yang lagi hajatan kawinan. Tapi sayangnya kondisi Bapak lagi tidak fit—pagi ini saat saya tengok di kamarnya, asam uratnya kambuh lagi, kakinya bengkak.

Kinan tadi malam panas banget. Setelah dikasih obat penurun panas dan dipeluk dalam ketelanjangan dada Alhamdulillah sebelum adzan shubuh berkumandang, suhu badannya sudah mulai turun. Tapi kembali ini menyurutkan tekad untuk bisa berbondong-bondong pergi ke Salawu dengan semangat 45.

Saya berharap, keluarga di sana bisa memaklumi atas ketidakdatangan saya. Karena saya pun sebenarnya amat rindu dengan Salawu dan kebersamaannya.

Kemarin saya ditanya oleh teman tentang revolusi resolusi diri. Saya diam saja. Tak tahu akan menjawab apa. Tetapi pagi ini saya jadi tertarik untuk mengungkapkan ini. Yang pasti saya berharap dengan harapan yang sama dengan orang-orang lain: tahun depan adalah lebih baik daripada tahun kemarin.

Lebih khusus lagi saya ingin bisa bermanfaat buat orang lain dengan lebih baik. Bisa tetap semangat menulis. Setiap hari. Menjadi petugas banding yang profesional dan punya integritas. Dari semuanya: keluarga adalah tetap nomor satu. Lebih cinta lagi pada Ummu Haqi, Haqi, Ayyasy, dan Kinan. Terbukti saya tidak bisa berpisah dengan mereka sehari pun dengan riang gembira.

Masih banyak lagi yang lain untuk diungkapkan. Tetapi biarlah itu menjadi sesuatu yang privat buat saya. Orang lain biarlah dengan urusannya masing-masing.

Tentang Indonesia? Berharap negeri ini dipimpin oleh pemimpin yang hanya takut kepada Allah. Bukan yang takut kepada Amerika, Rusia, China, Eropa, Australia, Israel, beserta antek-anteknya. Dengan segala isme-isme yang menjadi jargon dan sesembahannya seperti imperialisme, kapitalisme, sekulerisme, liberalisme, komunisme, zionisme, stalinisme, leninisme, maoisme, aiditisme, munafikisme, skeptisme, dan ….…… (titik-titik ini buat isme-isme yang berperikebinatangan lain yang tak sempat terpikirkan di pagi ini).

Kalau pemimpin hanya takut pada Yang Diatas, ia tak peduli dengan pencitraan, ia tak peduli dengan topeng, ia tak peduli dengan kroni-kroninya, ia tak peduli mau dipilih lagi atau tidak. Yang dipedulikannya adalah bagaimana negeri ini bisa jadi negeri yang baldatun toyyibatun wa robbun ghoffur. Rakyatnya bisa makan semua. Bisa sehat semua. Bisa sekolah semua. Taqwa semua.

Tentang Indonesia lagi? ya, korupsi enggak ada lagi di muka buminya. Sayangnya para pembenci korupsi selalu berteriak-teriak kepada aparat pemerintah untuk tidak korupsi sedangkan nilai-nilai kejujuran sendiri tidak menjadi sesuatu yang inheren pada diri mereka. Ini sama saja seperti menggarami air lautan. Benahi diri dulu. Introspeksi diri dulu. Sudah jujurkah saya? Kalau sudah dan berkomitmen untuk selalu jujur, bolehlah berteriak. Hancurkan korupsi! Ganyang koruptor!

Pula bagi pengelola negeri ini—pemimpin dan aparaturnya, seberapa keras teriakan para mahasiswa dan rakyat untuk mengingatkan jangan korupsi, ya mbok didengar. Pasang telinga baik-baik. Kalau perlu cek ke dokter THT, untuk memastikan gendang telinganya masih utuh atau sudah bolong. Karena keutuhan gendang telinga menjadi ukuran budek atau tidaknya. Kalau sudah budek, memang dimaklumi untuk tidak mendengar suara-suara itu. Tapi memang enak jadi budek? Apa?! Apa?!

Yang lebih parah lagi adalah kalau nuraninya sudah budek walaupun telinganya tidak budek. Kalau bahasa langitnya adalah buta, tuli, dan bisu. Seberapapun kerasnya peringatan dan teguran untuk tidak korupsi, tetap saja dijabanin untuk hanya dapat memuaskan hawa nafsunya.

Kalau sudah demikian yang hanya dapat mengingatkan adalah malaikat izrail yang sudah mulai cawe-cawe (menyapa): “Halo Bang? Sudah siap?… pelan-pelan atau kasar nih? Bisa dipilih sih, tapi pilihannya bukan sekarang, tapi waktu masih dikasih kesempatan hidup.”

Itu saja. Tak lebih dan tak kurang. Hanya sedikit harapan, yang kata orang sih resolusi diri. Yang pasti saya berkeinginan kepada Allah agar Izrailisme tak menyapa saya pada hari ini.

Semoga terkabul. Amin.

***

 

Riza Almanfaluthi

abdi negara yang lagi belajar jujur

dedaunan di ranting cemara

06.43 01 Januari 2011

 

 

TAGS: imperialisme, kapitalisme, sekulerisme, liberalisme, komunisme, zionisme, stalinisme, leninisme, maoisme, aiditisme, munafikisme, skeptisme, izrailisme, Ummu Haqi, Haqi, Ayyasy, Kinan, salawu, tasikmalaya.

http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/01/catatan-awal-tahun-izrailisme/