Menemukan yang Autentik, Pemenang Lomba Baca Puisi Pekan Raya Bea Cukai


Ketika saya diminta Kang Undani bergabung untuk menjadi juri lomba baca puisi Pekan Raya Bea Cukai (PRBC), saya tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan. Ini dua pekan setelah saya menjadi juri dalam lomba baca puisi Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Direktorat Jenderal Anggaran.

Dalam PRBC ini, ada dua tahap penjurian. Tahap pertama, menyeleksi 800-an puisi yang masuk bersama banyak juri lain yang terbagi dalam beberapa tim. Saya menyeleksi 43 puisi dan menyetorkan tiga besar pembaca puisi terbaik dalam kelompok yang saya nilai.

Di tahap ini, kemampuan peserta membaca puisi mudah dibedakan: biasa, bagus, dan bagus sekali. Bahkan ada peserta yang belum juga menuntaskan pembacaan puisinya itu ia sudah menukas: “Dah ah.”

Baca: Buku Sindrom Kursi Belakang Ini Tentang Apa?

Di tahap kedua, ada 50 peserta yang masuk babak final. Mereka akan dinilai ulang oleh enam juri. Melihat penampilan mereka, penilaian saya tidak salah. Juri-juri lain memiliki tolok ukur yang sama dalam menilai dan mengukur cara membaca puisi yang bagus itu seperti apa.

Di tahap ini, tidak ada pembaca puisi yang biasa saja. Mereka berkerumun di dalam kelompok bagus dan bagus banget. Barulah tantangannya terasa dalam menilai untuk menentukan tiga terbaiknya. Garis batasnya tipis dalam menentukan keunggulan.

Saya harus melihat mereka secara detail dari penghayatan dan mimiknya, harus mampu melihat gestur kecil yang membedakan dari peserta kebanyakan, dan menyentuh serta membuat getar-getar halus pada lubuk kalbu terdalam.

Di sinilah kemudian, peserta kebanyakan adalah pembaca puisi yang menggebu-gebu, tetapi monoton. Dari A sampai Z, penafsiran itu yang disajikan. Akhirnya jatuh pada monolog. Pemirsa tidak diajak ikut berdialog dengan mengirim balik sinyal-sinyal kekhidmatan dan asyik masyuknya rasa keberpuisian.

Baca: Kata Pengantar Buku Sindrom Kursi Belakang, Buah dari Surga Kecil

Addinsty Fathinadiah Rahma dari SMA Cinta Kasih Tzu Chi memberikan perbedaan yang tidak asal beda. Saya menjumpai Addinsty di tengah penilaian karena saya tidak menilai pembaca puisi secara urut dari atas ke bawah. Saya menilai secara acak dan ketika menemukan Addinsty, saya seperti menemukan tempat terbaik untuk menyembunyikan jenuh.

Addinsty membaca puisi pendek yang membuat durasi videonya menjadi pendek tentunya, hanya sekitar 2,5 menit. Dibandingkan peserta lain yang membaca puisi dengan durasi panjang yang hampir enam menit.

Namun, di sinilah kehebatan Addinsty, menyadari durasi pembacaan puisinya pendek, ia harus mampu membuat dinamika atau tekanan pada setiap kata-katanya. Di setiap kata itu, ada daya yang menggelegak. Saya sudah menemukannya.

Baca juga: Review Buku Sindrom Kursi Belakang, Tak Setetes Pun Air Mata

Pembaca puisi memang harus ingat waktu. Saya melihat salah satu peserta yang menyajikan tempo lambat untuk fokus pada penghayatan di menit-menit awal. Namun ia harus tergesa-gesa membaca puisi di satu menit terakhir karena hampir lewat dari batas waktu yang ditentukan: enam menit.

Penilaian saya terhadap Addinsty mampu bertahan sampai semua peserta selesai dinilai. Saya menyerahkan tiga terbaik kepada panitia. Saya berpikir, takdir akan menemukan pemenangnya. Yang terbaik tentu akan dipilih oleh juri yang lain.

Panitia kemudian menjelentrehkan hasilnya. Dari gabungan nilai enam juri, Addinsty meraih nilai tertinggi. Nilai Addinsty bisa jadi hanya soal kuantitas. Namun, tak dapat dimungkiri, empat dari enam juri menempatkannya sebagai pemuncak. Lagi-lagi, mayoritas juri memiliki tolok ukur yang sama.

Kang Undani menilainya demikian: “Hampir setiap kata yang dibaca punya cara yang bagus untuk diinterprestasikannya. Caranya mungkin sederhana, tidak terlalu meluap-luap seperti yang lain, tetapi soal rasa dapat banget.”

Saya sepakat. Apalagi soal ekspresinya. Juri lain seperti Mas Anugrah Roby Saputra mengungkapkan, “Kekuatan Addinsty Rahma ada pada ekspresi, mimik, dan gestur. Kesan saya, ia kuat sekali penghayatan puisinya. Tempo dan intonasinya juga tepat. Saya—dan saya yakin penyimak lain—sangat menikmatinya.

Pemenang kedua Rifki Rizky Rulliana berbeda dengan Addinsty. Intonasinya seperti para pengisi suara sandiwara radio di era 80-an. Rifki mirip dengan pembaca puisi yang lain: Ade Surya Akbar. Setelah diperhatikan dengan saksama, keduanya berasal dari sekolah yang sama: Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura.

Dengan berkostum adat dan cara baca yang sama seakan menandaskan bahwa keduanya memang didorong oleh sekolah untuk mengikuti lomba ini dengan serius. “Di pondok pesantren Al-Amien, Prenduan, Madura memang ada sanggar sastra yang dari dulu dikenal produktif,” ujar Anugrah. “Jamal D. Rahman, yang redaktur senior Horison adalah alumni Al-Amien,” tambahnya lagi.

Rifki dan Ade masuk dalam kategori bagus banget dalam penilaian saya. Namun, Rifki sedikit lebih unggul daripada Ade.

Pemenang ketiga adalah Nuronniyah dari SMA Darul Ulum 1 Unggulan Peterongan, Jombang. Mas Nugroho Putu Warsito mengomentarinya dengan singkat, “Penampilannya wow.”

Baca: Memesan Buku Sindrom Kursi Belakang di Sini

Lomba baca puisi ini memang untuk melihat kemampuan para pembaca puisi dalam membacakan puisi, an sich. Maka itu, musik latar dilarang untuk menjadi bagian dalam video. Soal busana pun sekadar pemanis.

Pembacaan puisi dalam lomba ini tidak boleh menjadi sesuatu yang artifisial dengan musik, busana, ataupun aksesoris lainnya. Para juri membiarkan dirinya diguyur dengan sesuatu yang keluar dari jiwa para pembaca puisi, sesuatu yang autentik. Addinsty adalah realitasnya. Ia autentik.

Ini mendapatkan penyungguhan pada lomba baca puisi dua pekan sebelumnya di Porseni DJA. Pemuncaknya pun menyuguhkan kesederhanaan, tetapi bernas.  Membaca puisi itu tidak sekadar bersuara paling lantang, paling mendayu-dayu, melainkan mampu memberikan tafsir dengan ekspresi yang tak serba ajek dari setiap kata di dalam puisi yang dibacanya.

Saya sungguh menemukan dan menikmatinya dari Addinsty. Kamu hebat!

Berikut daftar lengkap pemenang lomba baca puisi Pekan Raya Bea Cukai:

Juara 1

@addinstyyw

Addinsty Fathinadiah Rahma (SMA Cinta Kasih Tzu Chi) – Kupijak Tanah Ini Membaca puisi adalah seni yang bisa menyentuh jiwa dan menginspirasi hati. Mari dukung mereka yang berani membawa kata-kata kehidupan melalui lomba baca puisi! 📚💖 #LombaBacaPuisiCEFHS2023 #CEFHS2023 #EventBeaCukai #PekanRayaBeaCukai #BeaCukaiMakinBaik @eventbeacukai @beacukairi @sooyuhaee @urfavgurl_10 @coconutpuddin #fyp

♬ suara asli – Addinsty Rahma – Addinsty Rahma

Juara 2

@tmialamien

Rifki Rizky Rulliana (Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep) – Kupijak Tanah Ini #LombaPuisiCEFHS2023 #CEFHS2023 #EventBeaCukai #PekanRayaBeaCukai #BeaCukaiMakinBaik @eventbeacukai @tahfidzalamien @santrimendunia.id @manbaululum_official

♬ suara asli – Viva TMI – Viva TMI

Juara 3

@krisnaarlin

Nuroniyyah (SMA Darul Ulum 1 UNGGULAN Peterongan Jombang)_Penjahit Kecil oleh: Fatkhul Mubarok. Seorang JK Rowling saja harus menghadapi 1000 kegagalan dalam penerbitan sebuah karya nya, sampai bertemu dengan penerbit yang sesungguhnya. Jadi jika saat ini kamu mengalami sebuah kegagalan, anggap saja sebagai pengurangan dari 1000 kegagalanmu di masa depan. #LombaBacaPuisiCEFHS2023 #CEFHS2023 #EventBeaCukai #PekanRayaBeaCukai #BeaCukaiMakinBaik @eventbeacukai @permenyupienaksekali @najmanggapakee @queengkz

♬ suara asli – Krisna Arlin89 – Krisna Arlin89

Selamat juga buat semuanya.

***
Riza Almanfaluthi
4 September 2023
Silakan mengecek dan memesan buku Sindrom Kursi Belakang di sini.

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.