Jangan Puji Anak karena Kecerdasannya


“Wah kamu pintar, Nak.”

*

Berbicara tentang buku Kita Bisa Menulis, maka tak bisa dilepaskan dengan salah satu buku yang menjadi referensi saya di sana.

Buku itu berjudul Mindset, Mengubah Pola Pikir untuk Perubahan Besar dalam Hidup Anda yang ditulis oleh Carol S Dweck, Ph.D.

Buku itu mengulas cara berpikir manusia yang terbagi dua: pola pikir tetap dan pola pikir tumbuh. Dua pola pikir tersebut membedakan manusia dalam bertindak mencapai kesuksesan dan setelah kesuksesan diraih. Atau sebaliknya.

Manusia yang berpola pikir tetap menganggap kecerdasan atau keterampilan yang ia miliki adalah anugerah, pemberian sejak lahir, dan bukan dari kerja keras yang harus ditunjukkan. Dampaknya, tak perlulah bekerja keras untuk menggapai kesuksesan itu. Ia akan berpikir, kerja keras hanya untuk orang-orang yang tidak memiliki bakat.

Ini ditampakkan oleh Nadja Salerno-Sonnenberg, pemain biola paling berbakat yang pada usia sepuluh tahun sudah bermain di Philadelphia Orchestra. Suatu saat, ia belajar kepada seorang pelatih biola. Di sana ia diajari oleh pelatih bernama Dorothi Delay. Sang guru mengajarinya posisi tubuh dan pola bermain biola yang lebih baik lagi. Nadja enggan dan tak mau berubah.

Beberapa tahun kemudian, teman-teman satu kelasnya malah mampu menyamai permainan biola Nadja. Nadja frustasi. “Aku terbiasa sukses hingga diberi gelar anak ajaib di berbagai surat kabar, tetapi kini aku merasa seperti orang gagal.”

Dalam pemikiran orang yang berpola pikir tetap, tulis Dweck, ada alasan mengapa berusaha berubah itu tampak mengerikan. Para genius (bukan jenius) itu menganggap mereka tidak perlu bekerja keras untuk mencapai sesuatu. Mereka tinggal membayangkan kemampuan genius mereka lalu jreng jeng tercapailah mimpi.

Yang lebih parah lagi adalah ketika pemilik pola pikir tetap itu menyikapi kegagalan. Kegagalan itu adalah paradoks kegeniusan mereka. Orang genius tidak akan dan tidak boleh gagal, pikir mereka. Maka dari itu, kegagalan yang dialami para pemilik pola pikir tetap membuat dunia mereka berhenti, mencederai reputasi mereka. Bun*h d*ri jadi jalan keluar buat mereka. Cerita Bernard Loiseau, saya jadikan contoh dalam kata pengantar buku Kita Bisa Menulis.

Pemilik pola pikir tumbuh sebaliknya. Mereka adalah orang-orang yang berpikir bahwa segala sesuatu yang mereka inginkan di dunia ini harus diraih dengan kerja keras, bukan soal kecerdasan. Tidak ada yang tidak bisa di dunia ini. Gagal, ya dicoba lagi. Mereka ini yang adaptif dengan perubahan, mencintai apa yang mereka lakukan, dan tetap mencintainya meskipun menghadapi berbagai kesulitan.

Kehebatan Michael Jordan itu bukan karena bakatnya dalam bermain basket. Kalau karena bakat, sudah pasti ia dilirik oleh para pencari bakat sejak debut pertamanya di SMA. Jordan itu pemilik pola pikir tumbuh. Gagal karena tidak dipilih, ia berlatih dan bekerja keras sampai kemudian ia sukses menjadi pemain hebat NBA.

Jordan juga tahu superioritasnya itu karena kerja keras tim, bukan kerja pribadinya semata, sekaligus karena kehebatan pelatih tim yang memiliki pola pikir tumbuh.

Pelatih berpola pikir tumbuh adalah mereka yang berkata: “Setiap hari, kamu harus membuat dirimu sendiri menjadi orang yang sedikit lebih baik. Dengan membuat dirimu melaksanakan tugas untuk menjadi sedikit lebih baik setiap hari selama periode waktu tertentu, kamu akan menjadi jauh lebih baik lagi.”

Tim yang dilatih oleh tipe pelatih pemilik pola pikir tumbuh ini menjadi juara. Pelatihnya menjadi inspirasi buat para pemain. “Saya selalu berdoa semoga dapat memiliki setengah pengaruh dari pengaruh yang pernah dia berikan kepada saya.”

Sebaliknya, pelatih berpola pikir tetap itu adalah pelatih yang tidak menoleransi kesalahan sedikit pun, kejam kepada pemain, menginginkan pertandingan tanpa kesalahan. Tim yang dilatih oleh pelatih tipe ini juara juga, tetapi pemainnya bilang sambil berbisik-bisik di belakang punggung pelatih, “Aku ingin menembak kepalanya.”

Pilih mana? Mau menjadi pelatih yang inspiratif atau yang di belakang punggung Anda ada banyak orang yang ingin “menembak” kepala Anda? Masalahnya jangan-jangan pola pikir tetap ini sebenarnya ada pada diri kita dan dirasakan di lingkungan terkecil di keluarga kita.

Anaknya mendapat nilai bagus di sekolah, orang tua pemilik pola pikir tetap akan mengatakan kepada anaknya begini, “Wah kamu hebat. Kamu cerdas sekali. Pertahankan itu.” Sedangkan orang pemilik pola pikir tumbuh akan berkata, “Nak, mantap. Kerja kerasmu luar biasa.”

Apakah ada bedanya? Ada. Anak yang dipuji kecerdasannya itu akan merasa bahwa kalau tidak cerdas, tidak hebat, nilainya jelek, maka ia merasa tidak cerdas, maka ia tidak akan diterima oleh orang tuanya. Anak harus selalu tampil sempurna di mata orang tuanya. Anak merasa tidak boleh gagal. Ujungnya Anak akan merasa tertekan, tidak bahagia, dan menyikapi kegagalan dengan tak semestinya.

Sedangkan anak yang dipuji dengan kerja kerasnya akan merasa bahwa mereka tidak dihakimi karena kegagalan mereka. Mereka dipuji karena proses yang mereka jalani. Kalau mereka gagal, mereka tidak dihakimi sebagai anak yang bodohnya minta ampun. Mereka akan berusaha lebih keras lagi untuk mencapai keberhasilan. Kerja keras bukan soal yang abstrak. Menyikapi kegagalan pun dengan santai yang penting ada kemauan untuk berubah. Kegagalan bukan akhir dunia dan segalanya.

Dalam buku itu, ada satu kalimat contoh memuji anak saat mereka gagal. “Elizabeth, aku tahu bagaimana perasaanmu. Memang mengecewakan jika harapan-harapanmu musnah dan kamu telah melakukan yang terbaik, tetapi tidak menang. Tetapi, kamu tahu, kamu hanya belum mendapatkannya. Ada banyak gadis lain di luar sana yang telah melakukan olahraga ini lebih lama daripada kamu dan telah bekerja jauh lebih keras dibanding dengan dirimu. Jika ini memang merupakan sesuatu yang benar-benar kamu inginkan maka kamu harus benar-benar berjuang untuk dapat meraihnya.”

Sepertinya tulisan ini menyederhanakan soal kecerdasan. Ya, karena tulisan ini bukanlah buku. Namun, ini sekadar pengantar sebuah postulat yang saya tulis di halaman 159 pada buku saya berjudul “Kita Bisa Menulis, Belajar kepada Mereka yang Tak Menyerah.” Sebuah postulat yang diialami banyak orang, termasuk saya, bahwa: “Ketekunan itu mengalahkan kepintaran.” Tidak ada yang tidak bisa. Termasuk menulis. Termasuk tulisan ini.

Untuk mengetahui buku itu lebih dalam silakan mengeklik tautan berikut https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Hari Kesaktian Pancasila

One thought on “Jangan Puji Anak karena Kecerdasannya

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.