Belum lagi kita menyelesaikan mesin inti dalam Reformasi Perpajakan, Facebook telah mengganti namanya menjadi Meta pada akhir Oktober 2021.
Tepatnya adalah Meta Platform Inc yang menjadi perusahaan induk dari Facebook, Whatsapp, dan Instagram. Ini serupa yang dilakukan oleh Google sebelumnya. Untuk menghimpun anak-anak perusahaan maka didirikanlah Alphabet inc yang menaungi antara lain Google Inc., Google Capital, dan Google Ventures.
Namun Facebook melakukannya untuk sebuah alam semesta lain bernama Metaverse. Untuk sebuah alasan mumpung belum ada Alpha yang menjadi dominan di sana. Kita tahu dari dulu, siapa yang dominan, akan menjadi penguasa platform. Orang-orang, terpaksa atau tidak, akan menggunakan platform tersebut sebagai alat. Tidak ada pilihan lain. Facebook mendahuluinya karena Metaverse adalah masa depan.
Mengutip Tim Sweeney, CEO dan pendiri Epic Games, Metaverse adalah media sosial tiga dimensi yang dapat diakses secara waktu nyata (real time). Atau dengan kata lain, Metaverse adalah sebuah ruang virtual tempat orang-orang berinteraksi secara digital dengan menggunakan avatar. Batas antara dunia nyata dan virtual menjadi setipis kulit ari.
Jadi ketika kita bangun tidur dan bersiap untuk work from home, kita dapat mengambil kacamata virtual reality, menghidupkan avatar yang kita pilih, dan menemui teman, partner, atau relasi bisnis yang juga menggunakan avatar untuk berinteraksi.
Hal tersebut membuat pembicaraan melalui telepon, panggilan video, atau Zoom seperti ketinggalan zaman. Kita disuguhkan untuk benar-benar hadir secara fisik di dalam Metaverse.
Ini dilatarbelakangi karena orang-orang pada saat ini menghabiskan waktunya di internet. Lebih tepatnya berjam-jam mereka habiskan di media sosial atau bermain gim. Mereka berinteraksi dan bersosialisasi di sana.
Perbedaannya dengan media sosial saat ini adalah interaksi di Metaverse dilakukan secara waktu nyata dan dalam format tiga dimensi. Untuk bekerja dan menunjang kehidupan digital di semesta itu, kita memerlukan kantor digital, avatar keren, mata uang digital, sertifikat digital, dan kebutuhan sehari-hari. Tentu ada nilai ekonomisnya. Semua dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan.
Facebook, eh, Meta sebagai kapitalis laten masa kini mengetahui seluruh nilai ekonomi di sana. Meta seperti para penjelajah di abad pertengahan yang menemukan benua kosong Amerika dan memahami pakem siapa yang pertama dialah yang paling diuntungkan.
Dengan Metaversenya, Meta berusaha menarik banyak orang untuk mengunjungi dunia itu, menciptakan alam dengan sebagusnya-bagusnya sehingga manusia tidak perlu mengunjungi Metaverse yang diciptakan oleh pesaing. Meta menciptakan komunitas virtual yang paling erat, mengundang manusia untuk datang ke tanah digital, mengaveling petak-petak kosong, membangun rumah dan usaha, beraktivitas ekonomi, dan bersosial di sana.
Awalnya semua gratis sampai kemudian kita kecanduan dan ketergantungan, sehingga kita mau tidak mau, harus mengeluarkan uang. Tidak bisa keluar lagi. Tidak ada pilihan lain.
Meta ingin menciptakan dunia murni kapitalisme merujuk pada mazhab klasik Adam Smith. Tanpa ada aturan dan campur tangan pemerintah maka kapitalisme akan menciptakan ekonomi yang lebih bermanfaat untuk masyarakat. Barang yang dijual adalah barang berkualitas dan kebutuhan manusia akan dapat dipenuhi dengan penciptaan persaingan dan pasar bebas sebebas-bebasnya.
Selain mendapat kritik atas nafsu besar kapitalisme yang tercium sejak awal dari pembentukan semesta ini, Metaverse diragukan akan menciptakan dunia yang lebih baik buat manusia. Salah satunya diungkapkan oleh mantan CEO Google Eric Schmidt. Namun, apa pun itu Meta jalan terus menuju dominasi. Tak dapat dihentikan.
Itu baru awal saja. Metaverse sendiri, selain kebaruannya, adalah sesuatu yang tidak mudah kita bayangkan. Namun memang akan ada dan tiba-tiba sudah dekat dengan kita.
Sambil membincangkan hal ini dengan seorang kawan di suatu malam, pertanyaan yang timbul adalah apakah otoritas pajak akan mampu mencium aktivitas ekonomi di sana dan kemudian mudah untuk memajakinya?
Kalau kita masih berpikir itu masih jauh, yakinlah kita akan sulit untuk memahami proses bisnis yang terjadi di sana. Akhirnya kembali kita akan merasa semua apa yang telah disiapkan selama ini seperti menjadi usang. Kita tertatih-tatih, belum juga selesai dengan mesin dan metode yang sedang kita ciptakan untuk perubahan itu, Meta sudah jauh berpikir ke masa depan. Facebook sudah menciptakan semestanya sendiri.
Iya, karena kelak masyarakat menuntut agar mereka dapat melaporkan pajaknya dengan mudah, cepat, dan waktu nyata, berkonsultasi dan dibimbing pengisian laporan pajaknya dengan menggunakan augmented technology, ada avatar petugas pajak yang melayani mereka, bayar pajak dengan uang kripto atau NFT (Non-fungible Token). NFT sederhananya salah satu jenis aset digital yang dapat diperjualbelikan. Kita tidak membahasnya sekarang.
Kita berkejaran dengan waktu. Membayangkan Metaverse di depan mata, tidak tahu bagaimana akan menyikapi, dan tahun 2021 yang segera berakhir. Seiring itu optimisme muncul, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencapai target penerimaan pajak pada 2021. Target yang tidak pernah tercapai lebih dari satu dekade. Apa pun itu patut disyukuri, di tengah pandemi, ikhtiar tetap dijalankan dan doa senantiasa dipanjatkan.
Ketika keberhasilan itu terwujud, artinya tidak dapat kemudian kita mengambil kesimpulan bahwa strategi untuk diri sendiri dan liyan yang dijalankan pada saat ini sudah tepat. Banyak variabel yang memungkinkan keberhasilan itu sebagaimana banyak variabel kegagalan DJP mencapai target selama bertahun-tahun.
Membaca arah angin ekonomi dan politik lokal dan global dapat menjadi petunjuk strategi terbaik mana yang harus dijalankan. Sambil berkaca pada kerja-kerja masa lampau mana yang masih perlu diperbaiki. Sembari terus memanusiakan faktor terpenting di balik semua keberhasilan itu: insan DJP.
Jangan sampai kemudian sambil terus menepuk dada dengan keberhasilan itu, dari berbagai survei yang ada, keterikatan pegawai dengan institusinya malah semakin menurun. Atau malah menerapkan strategi memperlakukan insan DJP di masa mendatang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak juga. Bisa jadi keberhasilan pada saat ini berkutat pada soal baru 50—60 persen potensi insan DJP yang telah dikerahkan karena menganggap institusi tidak memanusiakan dirinya.
Kita tidak dapat membayangkan jika seluruh insan DJP sebanyak 46 ribu pegawai, dari Sabang sampai Merauke—mengutip istilah Gubernur Belanda J.B. van Heutsz—telah mengerahkan 100 persen potensi dirinya untuk insitusi ini. Ada yang pernah membayangkannya?
Organisasi itu seperti makhluk hidup. Selalu dinamis dan bergerak. Manusia unsur terpenting di dalamnya. Harus diberi nyala api motivasi—bukan propaganda dan agitasi—yang tulus agar dapat terus hidup dan mencari kemenangan. Tentang apa yang membuat itu bisa, literatur per-SDM-an sudah berserak di depan mata, tinggal pilih mana yang paling sesuai dengan DJP, tinggal mau diterapkan atau tidak.
Maka, 2021 akan segera lewat dan 2022 segera datang. Cara terbaik adalah dengan belajar dari pengalaman yang ada. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik? Pengalaman kalah dan berhasil. Betul, tetapi kita juga perlu ingat, sebagaimana Bill Gates pernah katakan, keberhasilan adalah guru yang payah, membuat orang pandai berpikir bahwa dia tak bisa kalah.
Sekali lagi, Metaverse itu sudah di depan mata.
***
Riza Almanfaluthi
Artikel di atas ditulis dan telah dimuat di Majalah Elektronik Direktorat Jenderal Pajak INTAX Edisi VI Tahun 2021
Gambar di atas berasal dari livemint.com dan Reuters.