
Aku kembali ke Bandung.
Seperti biasa, moda transportasi yang kugemari untuk menuju kota eksotis itu adalah kereta api. Untuk penugasan kali ini, banyak hal-hal baru yang kutemui di sana dan ingin kuceritakan kepadamu. Ingin sekali.
Stasiun Bandung Berubah
Sewaktu aku pergi ke Bandung untuk mengikuti Bandung Marathon 2019, Stasiun Bandung tidak seperti sekarang. Para penumpang kereta api harus menyeberangi rel menuju peron tujuan.
Kini, ada jembatan penyeberangan megah. Penumpang tidak was-was atau tengok kanan kiri lagi untuk memastikan tidak ada kereta api yang akan lewat. Ditambah jembatan tersebut bereskalator. Penumpang tidak lelah naik turun tangga lagi. Tentunya ini menambah kenyamanan pengguna jasa kereta api.

Gedung Sate
Sebagai warga Jawa Barat, seumur-umur aku tidak pernah memasuki Gedung Sate. Aku berkesempatan datang ke gedung peninggalan Belanda ini karena ada acara sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada 17 Desember 2021.
Gedungnya memang kuno, tetapi terawat. Gubernur Jawa Barat berkantor di sana. Di lantai 2, banyak dipajang lukisan foto gubernur yang pernah memimpin Jawa Barat. Di sela-sela acara sosialisasi itu aku sempat menyusuri sudut-sudut Gedung Sate. Terutama bagian paling atasnya.
Menuju ke sana, aku menaiki lift sampai ke lantai 4. Ketika pintu lift terbuka, aku memasuki ruangan yang dibalut dengan lapisan kayu. Nuansa cokelat kayu sangat dominan di sana. Ruangan itu berundak-undak menuju ke atas.
Aku naik dan menuju pintu keluar ruangan lantai 4 dengan menggunakan tangga besi. Keluar pintu itu aku melihat bentangan pemandangan Kota Bandung. Ini belum usai. Ada ruangan yang paling tinggi, tempat makan untuk tamu penting. Ada tangga besi ke atas. Ruangan itu persis di bawah ornament tusuk sate. Aku perkirakan ruangan berdinding kaca ini berukuran 36 meter persegi.
Dari atas kita bisa melihat Kota Bandung dengan lebih leluasa. Di sisi menghadap utara, aku melihat halaman luas persis di depan Gedung Sate, Lapangan Gasibu, dan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat di kejauhan.
Duduk di ketinggian sambil melihat pemandangan seperti ini bikin hati tenteram.









Gasibu
Di zaman Belanda lapangan ini bernama Wilhelmina Plein. Wilhelmina adalah nama ratu Belanda. Pernah juga dinamakan Lapangan Diponegoro pada 1950 sebelum memakai nama sekarang. Sejak 1955 lapangan ini bernama Gasibu, merupakan akronim dari Gabungan Sepakbola Indonesia Bandung Utara.
Berkali-kali ke Kota Bandung, aku mengenal namanya belaka. Aku tidak pernah ke sana. Baru setelah melihatnya dari ketinggian Gedung Sate, aku kok tertarik sekali ke sana. Dari atas itu aku melihat seperti ada trek lari warna biru. Menarik.
Akhirnya pada Sabtu pagi, aku jadi lari juga ke sana. Gasibu menjadi tujuan akhir rute kami, para pelari DJP Runners, buat lari di pagi itu. Kami start di depan Gedung Sate menuju Lapangan Saparua, lalu ke Jalan Ciliwung, melewati Jalan Citarum, menyusuri Taman Lansia, dan tiba di Gasibu.
Di masa pandemi banyak sekali pembatasan untuk bisa lari di lapangan itu. Lapangan dibuka sejak 3 September 2021 hanya untuk orang yang berolahraga. Ada jam khusus penggunaan lapangan. Setiap jalan masuk ke lapangan dijaga oleh petugas keamanan. Masyarakat tidak bisa melewati sembarang jalan. Ada jalan masuk dan jalan keluar yang berbeda.
Di jalan masuk, aku diminta memindai kode batang (barcode) dengan menggunakan aplikasi Whatsapp. Aku bertanya kepada petugas yang menjaga pintu masuk bagaimana kalau ada masyarakat yang tidak membawa atau memiliki telepon pintar untuk memindai kode batang itu. “Tidak boleh masuk,” tegas petugasnya. Ketegasan itu perlu untuk memantau jumlah pengguna lapangan yang ada di dalam lapangan.
“Sudah berapa?” tanya seorang petugas lain kepada petugas yang tadi melayani kami. “118 orang,” katanya.
Trek Gasibu itu memang enak buat lari santai. Buat lari kencang tidak mungkin karena begitu banyak orang di sana. Di Bogor ada lapangan sejenis bernama Lapangan Sempur.

Antrean Tes Usap Antigen
Sebelum datang gelombang kedua meledaknya penyebaran Covid-19 pada Juni 2021 ini, aku pernah menuliskan pengalaman tentang Tes GeNose C19 di Stasiun Gambir ketika hendak menuju Yogyakarta.
Untuk bepergian menggunakan kereta api jarak jauh, PT KAI menyediakan Tes GeNose sebagai alternatif penggunaan tes cepat antigen dan PCR. Namun, sejak 5 Juli 2021, Tes GeNose tidak berlaku lagi. Para pengguna kereta api jarak jauh wajib menunjukkan minimal hasil negatif tes cepat antigen (Rapid Test Antigen).
Ketika hendak berangkat ke Bandung, aku masih menggunakan hasil negatif tes cepat sebelumnya yang masih berlaku dalam 1×24 jam. Waktu itu aku mendapatkannya di sekitaran Bandar Udara Internasional Juanda, Sidoarjo.
Untuk pulang ke Bogor dengan menggunakan jasa angkutan kereta api, aku mendapatkan informasi kalau Stasiun Bandung juga menyediakan fasilitas tes cepat antigen. Aku tidak memiliki pengalaman ambil sampel di sana. Supaya aku memiliki waktu yang cukup dan tidak ketinggalan kereta, aku berangkat lebih awal. Aku menyisakan waktu dua jam sejak keluar dari penginapan.
Dengan menggunakan jasa mobil daring aku sampai lebih cepat di Stasiun Bandung daripada perkiraanku. Sabtu pagi itu Bandung masih lengang.
Sesampainya di sana aku mencetak tiket kereta api terlebih dahulu. Lalu menuju tempat tes cepat antigen yang berada di sisi barat Stasiun Bandung. Tempatnya berupa tenda besar yang menyediakan banyak kursi tunggu. Tidak ada orang dalam jalur antrean.
Setiap orang yang mau dites disambut petugas. Aku diminta memindai kode batang yang dicetak di kertas. Petugasnya sigap dan membantuku. Ia sudah hapal letak aplikasi Google Lens yang berada di telepon genggamku. Dengan aplikasi itu aku memindai kode batang dan memunculkan laman isian pendaftaran tes cepat antigen. Aku cukup mengisi kode booking tiket kereta api.
Karena datanya sudah terhubung dengan data pembelian tiket, aku tidak perlu mengisi isian lain. Aku tinggal menekan tombol daftar. Setelah itu aku diminta menuju loket pembayaran. Tarifnya cuma Rp45 ribu.
Setelah membayar, aku menuju ruangan tes. Tidak ada orang yang sedang dicolok hidungnya. Dengan cepat petugas tes mengambil sampel dari hidungku. Selesai. Tidak sampai 10 menit sejak memindai sampai dites.
“Mbak, berapa lama saya bisa mengetahui hasilnya?” tanya saya.
“Dua puluh menit ya, Pak. Tunggu di luar saja,” kata petugas berpakaian APD itu.
Aku duduk di kursi tunggu. Ternyata hasilnya cepat keluar juga. Sekitar 10 menit lebih sedikit. Petugas tadi membawa tumpukan kertas dan memanggil banyak penumpang.
Saat petugas menyebut nama Riza, aku buru-buru bangkit dari tempat dudukku. Namun, di saat petugas itu menyebut nama belakang, itu ternyata bukan namaku. Milik orang lain. Aku duduk kembali. Tidak lama kemudian, namaku disebut. Petugas kesulitan mengeja nama belakangku: “Alman, Almanpatuli.”
Ok, tiada mengapa. Aku menerima kertas hasil tes antigen dengan hasil negatif. Kertas itu nanti—bersama tiket dan KTP—akan ditunjukkan kepada petugas di pintu masuk peron.
Sekadar info, hasil tes tidak akan masuk aplikasi Peduli Lindungi.
Pramuantar Stasiun Bandung
Untuk pulang menuju Bogor, aku tetap menggunakan kereta api. Aku memilih jadwal pagi agar aku bisa sampai siang di Jakarta. Karena barang bawaanku masih bisa kubawa sendiri, aku tidak menggunakan jasa porter di Stasiun Bandung. Porter adalah orang yang membawakan barang atau koper penumpang di stasiun kereta api.
Ada yang menarik dari mereka di saat Kereta Api Argo Parahyangan yang kunaiki berangkat pelan-pelan dari Stasiun Bandung pada waktunya. Aku melihat para pramuantar yang berada di peron itu berbaris rapi. Mereka menaruh tangan kanan ke dada sebelah kiri mereka. Seolah-olah ingin menunjukkan kalau para porter itu mengantar para penumpang dengan sepenuh hati.
Menurutku budaya kerja para pekerja lepas yang hanya mengandalkan upah angkut para penumpang dan tidak digaji oleh PT KAI itu bagus sekali. Ramah, sopan, dan sangat nusantara. Pantas saja para kolonialis Belanda betah banget tinggal di Tatar Pasundan.
Kamu
Sore-sore di kedai kopi, orang-orang tak mau pergi, dengan hp mereka khusyuk melawan sepi, aku menyesap Cigararuntang dari kendi. Sendiri.
Di luar gerimis.
Mengundang.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
19 Desember 2021
Bandung selalu memanggil …. kakek memilih hari tuanya di kota ini….. nice review mas……
LikeLiked by 1 person
Siap, alhamdulillah.
LikeLike