Mimpi Indonesia di 2045 adalah menjadi negara yang keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Syaratnya Indonesia harus memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata 9 persen per tahun.
Apa lacur, jalan menuju ke sana sangatlah terjal. Pandemi Covid-19 membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi atau minus 2,07 persen pada 2020 lalu.
Ditambah laporan terbaru World Bank Country Classification by Income Level: 2021-2022 yang menyebutkan Indonesia tidak lagi berada di level negara berpendapatan menengah ke atas. Indonesia melorot masuk dalam kategori negara berpenghasilan menengah ke bawah per 1 Juli 2021.
Pendapatan per kapita Indonesia yang semula 4.050 dolar Amerika Serikat menjadi 3.870 dolar Amerika Serikat.
Situasi inilah yang dihadapi Indonesia pada saat memperingati Hari Pajak yang jatuh pada 14 Juli 2021. Seperti “kado” di Hari Pajak yang tahun ini menjadi kali kedua diperingati di saat pandemi.
Bahkan, pada 2021 ini Hari Pajak diperingati dalam kondisi Jawa dan Bali melakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat mulai tanggal 3—20 Juli 2021.
Langkah ini diambil sebagai langkah tegas atas peningkatan kasus Covid-19 di akhir Juni 2021 dan keterisian tempat tidur yang menurut Satgas Penanganan Covid-19 melebihi angka lonjakan kasus libur natal dan tahun baru 2020.
PPKM ini tentunya memperlambat laju ekonomi yang semula akan bergerak kencang, memperlambat pertumbuhan ekonomi yang hendak dilecut. Namun, mau tidak mau itu yang harus diambil karena jika tidak Covid-19 masih terus menyebar dan perlu usaha keras serta ongkos yang mahal untuk menghilangkannya.
Hari Pajak juga diperingati di saat pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) kepada DPR RI di Senayan.
RUU itu terdiri dari perubahan lima belas pasal dalam UU KUP, perubahan tujuh pasal dalam UU Pajak Penghasilan, perubahan tujuh pasal dalam UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perubahan satu pasal dalam UU Cukai, dan penambahan satu pasal pengenaan Pajak Karbon.
Sebuah upaya agar Indonesia tetap memiliki pendanaan yang cukup dalam memenuhi kebutuhan kesehatan dan memberikan stimulus kegiatan masyarakat sehingga bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Selain itu sebagai kerja reformasi jangka menengah dan panjang dalam kebijakan fiskal yang terfokus pada pengelolaan pendapatan dan belanja negara. Sekaligus memperluas ruang fiskal yang semakin sempit dan membutuhkan alternatif lain.
Saat ini RUU KUP yang diajukan masih dalam proses pembahasan dan banyak membutuhkan masukan agar menghasilkan produk hukum yang bermanfaat dan berkeadilan.
Hari Pajak pada 2021 ini juga diperingati di saat Kementerian Keuangan sedang menjalankan Reformasi Perpajakan. Terutama dalam mempersiapkan Core Tax System. Sistem inti yang menggunakan sederet kemajuan teknologi berupa big data, advanced analytics, artificial intelligence, dan robotics process automation.
Tim Pelaksana Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan bersama vendor pemenang proyek sedang menyiapkan sistem inti itu untuk bisa diluncurkan pada 2024.
Harapannya, masyarakat dapat menikmati layanan perpajakan yang lebih mudah, andal, terintegrasi, akurat, dan pasti, sehingga dapat menekan beban kepatuhan wajib pajak.
Jalannya Reformasi Perpajakan Jilid III sejak 2016 silam itu sudah didokumentasikan ke dalam sebuah buku yang berjudul Reformasi adalah Keniscayaan, Perubahan adalah Kebutuhan: Cerita di Balik Reformasi Perpajakan. Peluncuran buku tepat di Hari Pajak pada 14 Juli 2021.
Pendokumentasian ini penting agar kerja keras dan segala peristiwa di baliknya tidak musnah dan bisa menjadi warisan pembelajaran untuk generasi mendatang. Ini karena dari sejarah masa lalu kita banyak belajar bahwa menjalani Reformasi Perpajakan itu adalah sebuah keniscayaan.
Contohnya saja dalam Reformasi Perpajakan jilid pertama pada 1983. Adanya perubahan sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self assessment telah mengubah lanskap penerimaan negara dalam APBN.
Pada 1983, penerimaan negara masih didominasi oleh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari minyak dan gas bumi sebanyak 67,7 persen. Seiring dengan berjalannya waktu proporsi itu berubah. Pada 1992 penerimaan pajak menjadi tulang punggung penerimaan negara dengan besaran 47,4 persen dari total penerimaan negara dan meningkat di kisaran 70 persen pada 2016.
Reformasi Perpajakan Jilid III ini diharapkan mendapatkan hasil dan dampak yang lebih spektakuler daripada reformasi-reformasi sebelumnya.
Setidaknya melalui reformasi perpajakan dalam aspek kebijakan dan administrasi akan meningkatkan kepatuhan dan pengumpulan pajak sehingga mengurangi celah pajak (tax gap) menuju level normal.
Contohnya pada 2019 lalu, Indonesia memiliki potensi pajak sebesar 18,2 persen dari PDB, tetapi hanya mampu mengumpulkan pajak dengan rasio pajak sebesar 9,76 persen dari PDB. Masih ada 8,5 persen celah pajak. Ini yang akan dikurangi melalui potensi perpajakan yang didapat dari Reformasi Perpajakan.
Hari Pajak 2021 menjadi momentum untuk merealisasikan potensi perpajakan menjadi penerimaan perpajakan yang nyata, sehingga menjadi kado sesungguhnya di Hari Pajak. Bukan sekadar “kado”.
***
Riza Almanfaluthi
Artikel di atas ditulis untuk dan telah dimuat di Publikasi Elektronik Kementerian Keuangan APBN Kita Edisi Juli 2021 yang bisa diunduh di sini.
Gambar dalam artikel untuk blog ini berasal dari pnghunter.com