Cari Saja Menkeu Lain, Sultan!


Ali Moertopo dan Soeharto.

Menyoal Banpres dan Bansos pada saat ini, membuat kita mengulik kembali masa lalu saat Frans Seda menghadapi Soeharto dan Ali Moertopo. Semua pemasukan dan pengeluaran negara memang harus tercatat.

 

Harian Kompas menurunkan artikel yang menarik pada Sabtu, 9 Mei 2020 berjudul Antara Banpres RI dan Bansos.

Dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang membatasi pergerakan manusia ini memang dirasakan sekali oleh masyarakat kecil. Terutama mereka yang tidak berpenghasilan tetap.

Oleh karena itu, selain mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meringankan dampaknya, Presiden RI Joko Widodo turut membagi bantuan sosial (bansos) secara langsung yang dikemas dalam tas warna merah putih bertuliskan Bantuan Presiden (Banpres) RI.

Anggarannya berasal dari anggaran khusus Presiden tepatnya dari pos anggaran bantuan kemasyarakatan di Sekretariat Presiden RI.

Kementerian Sosial juga membagikan bansos dalam tas kemasan warna merah putih dan bertuliskan Bantuan Presiden RI, Bersama Lawan Covid-19. Dananya dikeluarkan dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang diinstruksikan secara langsung oleh Presiden.

Kesamaan Banpres RI dan Bansos Kementerian Sosial ini adalah asal dananya berasal dari APBN.

Menariknya, artikel ini menyodorkan fakta bahwa pemberian Banpres RI ini sudah diberikan oleh Presiden RI dari masa ke masa. Mulai dari zaman Soekarno pada 1947 dengan pengiriman berton-ton beras ke India yang mengalami krisis pangan sampai ke era Jokowi di masa pagebluk ini.

Hingga di sini saya teringat dengan Frans Seda, Menteri Keuangan RI pada 1966-1968, yang menulis sebuah artikel berjudul Kebijakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Berimbang dan Dinamis di Masa Orde Baru.

Artikel itu terhimpun dalam sebuah buku berjudul Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, edisi 2, dengan Kompas sebagai penerbitnya.

Dalam catatan kaki artikel yang ditulisnya itu, Frans menceritakan kisah menarik tentang salah satu pergulatannya sebagai Menteri Keuangan saat menghadapi Presiden RI masa itu: Soeharto.

 Kami sebagai Menkeu pada waktu itu, menerima keluhan dari Bea Cukai, yang menghadapi kesulitan menghitung uang kertas yang berdenominasi kecil dan kumuh! Kami menyetujui merubah ketentuan “kas” dari sehari menjadi seminggu. Presiden Soeharto mendengar hal ini minta agar pengertian kas diperpanjang menjadi sebulan dan selama itu uang Bea Cukai itu (+-3 milyar seminggu) disimpan di salah satu Bank (konco beliau!) dengan bunga 30%-36% sebulan (pada waktu itu).

Alasannya adalah sebagai Presiden RI, Soeharto kerap didatangi oleh umat Islam yang meminta didirikan masjid, umat Kristen yang meminta dibangun gereja, umat Hindu/Buddha yang meminta pura/wihara. Untuk menampung permintaan-permintaan itu, Frans Seda bersedia mengeluarkan dananya asal masuk dalam APBN dalam mata anggaran kepresidenan sebagai dana taktis.

Penyediaan dana taktis itu, menurut Frans, adalah hal yang biasa. Presiden Amerika Serikat misalnya memiliki dana taktis sebesar US$350 juta dalam bujet Amerika Serikat. Soeharto tidak menyetujuinya karena ia tidak mau DPR mengetahui hal itu.

Dalam hati kecil kami, kami langsung menolaknya, tetapi mengetahui tata-krama, kami minta waktu berpikir dan besok akan memberi jawaban. Dari Presiden Soeharto kami langsung ke Sri Sultan Menko Ekuin, menceritakan permintaan Pak Harto dengan ketegasan bahwa kami akan menolak. “Cari saja Menkeu lain, Pak Sultan!”.

Sri Sultan menolak permintaan Frans. Sri Sultan meminta Frans untuk berdiskusi terlebih dahulu dengan Direktur Jenderal Anggaran Kol. Piet Haryono untuk mencari jalan keluar.  Frans lalu mengadakan rapat dengan Piet dan mengutarakan keinginan Pak Harto, saran dari Sri Sultan, dan keinginannya untuk mengundurkan diri sebagai Menteri Keuangan jika hal ini terus dipaksakan.

Mendengar itu Piet lalu berencana mengadakan rapat sendiri dengan para Direktur Jenderal dan Inspektur Jenderal Departemen Keuangan untuk mencari solusi.

Pada malam harinya, Piet menelepon Frans. Piet memberikan jalan keluarnya. Ada peraturan bahkan setara undang-undang yang menyatakan dinas-dinas di Departemen Keuangan (Kini Kementerian Keuangan) harus bekerja berdasarkan target.

Sebagai insentif, maka siapa yang mencapai atau melebihi target akan mendapatkan imbalan sebesar 10% dari realisasi. Uang-uang itu disisihkan dari keuangan negara dan bukan lagi merupakan uang negara. Semua direktur jenderal menyetorkan ke dalam yayasan-yasasan mereka. Rapat itu menyepakati menyumbangkan dana sebesar Rp500 juta dari yayasan-yayasan mereka kepada Soeharto melalui Frans.

Ini uang halal!” “Tetapi, Piet. Rp. 500 juta itu terlalu banyak! Itu equivalent dengan USD. 50 juta…”. “Sudahlah, Pak”, kata Piet. “Nanti timbul heboh lagi! Pokoknya Pak Harto mendapat apa yang diperlukannya itu, dan Bapak tetap menjadi Menkeu kami!”.

Keesokan harinya Frans menghadap Soeharto untuk menyampaikan hasil pemikirannya. Frans bilang kalau ia tidak bisa memenuhi permintaan Soeharto.

Beliau menyela: “Tetapi sayalah Presiden!”. Jawab kami: “Benar, Pak! Tetapi kami yang komptabel dan masuk bui! Tetapi kami ada membawa uang untuk keperluan Bapak itu. Rp. 500 juta”. Tanpa bertanya dari mana asal usul uang itu, beliau menerimanya, namun tidak puas! “Bagaimana, Pak?”, tanya kami. Beliau mengangguk-angguk dan dengan suara yang agak lesu menyatakan terima kasih. Jadi kami tidak ditindak, dapat terus berfungsi sebagai Menkeu.

Selain dengan Soeharto, peraih gelar sarjana ekonomi dari Nederland pada 1956 ini punya cerita dengan Ali Moertopo, Asisten Presiden Soeharto.

Ada lagi peristiwa lain mengenai APBN ini. Jenderal Ali Murtopo yang “maha kuasa” pada waktu itu, minta disediakan suatu “lumpsum” dari Anggaran Pembangunan untuk Presiden dapat membagi-bagi bagi pembangunan dan dengan demikian turut mengembangkan popularitas Presiden di kalangan rakyat. 

Frans menolak sistem lumsum ini. Frans ingin biaya pembangunan untuk presiden tetaplah intrabujeter dengan memakai nama Proyek Inpres (Instruksi Presiden). Nama Presiden tetap berbunyi. Frans dengan prinsip penertiban APBN Berimbang dan Dinamis menekankan, semua kegiatan negara, penerimaan maupun pengeluarannya, harus di dalam dan melalui APBN. Tidak boleh ada yang namanya ekstrabujeter.

Dibawa ke konteks saat ini maka sejalanlah warisan Frans dengan ijmal dalam artikel Antara Banpres RI dan Bansos di atas, bahwa semua harus tersurat dalam APBN. Dus…

Ikhtisarnya, bantuan apa pun dan bersumber dari pos mana pun semua berhulu dari penerimaan negara. Mata airnya adalah kerja dan keringat rakyat yang hasil dan pengelolaannya diserahkan kepada negara, antara lain lewat pajak.

Sungguh menawan.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
13 Mei 2020
Gambar dari Bombastisdotcom

Advertisement

One thought on “Cari Saja Menkeu Lain, Sultan!

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.