Bagi Anda penonton film-film Hollywood tentunya sudah tak asing dengan tema cerita kengerian dan pembunuhan yang terjadi di losmen, SPBU, rumah kusam yang berada di jalanan terpencil, dan jauh dari mana-mana. Apalagi tokoh antagonis yang diusung biasanya adalah psikopat keji yang disandingkan dengan protagonis yang berjuang mempertahankan hidup mati-matian.
Buku “No Exit” salah satunya. Pakemnya tidak berbeda, tetapi ujung cerita buku ini benar-benar menyulitkan pembacanya. Yang pasti karena Taylor Adams—sang penulis buku—menyuguhkan ketegangan dan kejutan sampai kalimat terakhir di epilog novelnya.
Visualisasi di benak masing-masing pembaca memang dibuat seperti film-film hitam Hollywood. Hitam bukan perihal warna kulit, melainkan waktu yang semuanya terjadi di malam hari dan film yang tak menyuguhkan keceriaan sampai akhir cerita.
Tokoh utama “No Exit” semacam gabungan antara tokoh Ellen Ripley dalam Alien dan Sarah Connor dalam The Terminator yang digambarkan pada sosok mahasiswi rapuh bernama Darby Thorne yang terjebak di sebuah tempat istirahat di daerah terpencil di malam Natal karena Snowmageddon, badai salju.
Semuanya bermula ketika Darby secara tidak sengaja melihat seorang gadis berumur tujuh tahun berada di dalam kerangkeng anjing pada mobil van di tempat yang sama di mana ia memarkirkan Blue, mobil Honda Civic’94 Darby.
Salah satu dari empat orang di tempat istirahat itu adalah si pelaku penculikan. Darby harus berbagi oksigen dengan mereka dan tidak tahu siapa sang pelaku sampai ia benar-benar berhadapan dengan penjahat yang seperti tidak pernah bisa mati-mati dan penuh keberuntungan. Atau keberuntungan itu dapat disebut juga dengan kalimat: roti lapisnya lagi-lagi mendarat di bagian yang tidak diolesi selai.
Sebagai pembaca buku, kita sering menjumpai novelisasi sebuah film. Ekspektasinya adalah agar cerita tidak berjarak. Namun, seringkali pembaca buku berharap terlalu banyak pada filmisasi sebuah novel. Visualisasi di film seringkali jauh dari apa yang dibayangkan dan diharapkan dibanding ketika membaca bukunya. “No Exit” lagi-lagi berbeda. Buku ini sudah menjadi filmnya itu sendiri. Secara sederhana, pembaca begitu mudah untuk meletakkan dalam format film di benaknya saat membaca buku ini.
Wajar, karena Taylor Adams sendiri selain sebagai penulis adalah sutradara film pendek yang mendapat banyak pujian atas filmnya yang berjudul And I Feel Fine pada 2008. “No Exit” adalah novel ke-tiga Taylor Adams yang diterbitkan Jofee Books. Buku yang sudah diterbitkan dalam 30 bahasa ini layak menjadi teman perjalanan Anda.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Resensi ini telah terbit di majalah Media Keuangan terbitan Kementerian Keuangan Vol. XV No.151/April 2020