
Pada 1785, pemuda Prancis ini ditolak untuk mengikuti ekspedisi berbahaya ke Samudra Pasifik. Kegagalan yang mesti ia terima namun patut disyukuri. Kegagalan yang memengaruhi jalannya sejarah dunia dan Indonesia tak terkecuali.
Pagi menjelang siang tadi ada jadwal uji coba perkuliahan jarak jauh (PJJ) untuk mahasiswa PKN STAN yang saya ampu. Ini sekaligus menguji saya dalam menggunakan aplikasi PJJ yang disediakan pihak akademik.
Selain menggunakan aplikasi tersedia, uji coba PJJ menggunakan media yang biasa dipakai saat ini yaitu Whatsapp. Saya mengirimkan voice note kepada mereka. Isinya tentang sedikit rencana pembelajaran ke depan, aturan main, dan motivasi.
Salah satu motivasi itu adalah kebersediaan mental para mahasiswa untuk berdamai dengan kegagalan. Semua orang ingin sukses karena di ujungnya ada kebahagiaan. Namun tidak semua orang bisa berdamai dengan proses dan kegagalan.
Seringkali kegagalan itu membuatnya menjadi putus asa dan berujung tragis ataupun malah sebaliknya menyikapi kegagalan itu dengan semangat dan optimisme baru. Cerita-cerita tentang itu mudah sekali ditemui di internet.
Nah, dalam PJJ itu tiba-tiba muncul pertanyaan berikut dari salah seorang mahasiswa. “Bagaimana caranya agar dapat berdamai dengan kegagalan?” tanyanya.
Jawaban saya melalui voice note atas pertanyaan bagus itu adalah berusaha sekuat tenaga untuk memahami betul bahwa di balik setiap kegagalan ada hikmah yang tersembunyi.
Suatu ketika di masa antara Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis, Raja Perancis Louis XI mengirimkan ekspedisi pelayaran ke Samudera Pasifik. Count La Perouse ditunjuk untuk memimpin ekspedisi dalam rangka misi ilmiah, geografi, ekonomi dan kebangsaan ini.
Sebelumnya La Perouse membuka pendaftaran untuk menjaring pemuda-pemuda berbakat Perancis mengikuti ekspedisi. Salah satunya pemuda yang disebut di awal ini. Pemuda yang pintar matematika, sejarah, dan geografi. Lulus Akademi Militer Brienne pada umur 15 tahun dan pada saat mengikuti seleksi ia baru berumur 16 tahun dan sudah menjadi perwira artileri.
Sayangnya La Perouse tidak meloloskan pemuda ini untuk mengikuti ekspedisi. Barangkali karena pemuda ini memiliki postur pendek. Apa yang terjadi selanjutnya dengan ekspedisi ini?
Pada 1786, hampir setahun keberangkatan ekspedisi ini dari Perancis, ekspedisi tiba di Teluk Lituya, Alaska. Dua tahun kemudian ekspedisi La Perouse ini hilang di Pasifik Selatan. Hanya satu awak kapal yang selamat.
Sedangkan pemuda itu masih meneruskan hidupnya, mengatasi kegagalan dengan karir militernya yang lebih cemerlang, memenangkan perang melawan Austria dan Prusia, dan menjadi Kaisar Perancis sejak 18 Mei 1804 sampai 11 April 1814. Dialah Napoleon Bonaparte.
Apa yang terjadi jika La Perouse menerima Napoleon Bonaparte dalam ekspedisinya? Carl Sagan menulis dalam catatan kakinya, bisa jadi tidak ada yang menemukan Hajar Rasyid atau Batu Rosetta dan Jean Francois Champollion tidak akan pernah menguraikan hieroglif Mesir Kuno.
Atau yang paling dekat sekali dengan kita, tidak akan ada Herman Willem Daendels yang dikirim oleh Napoleon Bonaparte sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tidak akan ada pembuatan dan pelebaran jalan yang fenomenal mulai dari Anyer sampai Panarukan, ini setara jarak Amsterdam-Paris.
Juga, tidak akan ada Legiun Mangkunegaran yang dibentuk untuk menghadapi serangan Kompeni Dagang Hindia Timur (East India Company). Legiun ini yang digunakan oleh Belanda selepas Perancis hengkang dari Hindia belanda untuk memberangus bangsanya sendiri pada Perang Jawa dan Perang Aceh.
Begitulah ceritanya. Di balik kegelapan kegagalan ada kesuksesan dan sejarah lain yang tercipta untuk kita bahkan dunia.
Semestinya demikian. Salam.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
08 April 2020