Perdikan di Tengah Pagebluk?


Atas jasa-jasanya membantu Kesultanan Demak, Ki Ageng Sela mendapatkan desa perdikan di Grobogan. Penduduknya dibebaskan dari pembayaran pajak dan kerja wajib. Saat masa kolonial Hindia Belanda tiba status perdikan tetap dipertahankan dengan Staatsblad nomor 77 tahun 1853. Status yang kemudian lenyap pada saat kemerdekaan Republik Indonesia dan tak elok terjadi pada kiwari yang menuntut kesadaran lebih-lebih.

Membaca Opini Kompas, Kamis, 19 Maret 2020, yang ditulis oleh Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta Suyanto membenarkan pemikiran selama ini. Laku pada kondisi sekarang bukan hanya soal membangkitkan kesadaran mencuci tangan, namun mengubah pemikiran orang tentang banyak hal.

Suyanto benar, Covid-19 bisa mengubah perilaku manusia ke dalam pola pikir baru untuk berinteraksi, bertingkah laku, bermasyarakat, berintrospeksi diri, bersolidaritas, berempati ke sesama, peduli lingkungan maupun negara masing-masing jika itu dikondisikan secara kondusif.

Tulisnya lagi, Covid-19 bisa dimanfaatkan para pemimpin dunia dan tokoh masyarakat untuk alasan paling efektif bagi edukasi dan literasi penduduknya.

Edukasi itu berupa kesadaran baru bahwa untuk menaklukkan Covid 19 memerlukan kerja sama dan solidaritas. Dalam konteks di tanah air maka jika terjadi isolasi pergerakan manusia, orang kaya diajak untuk bergotong royong menyelesaikan dan menghadapi musuh bersama bernama Covid-19.

Kesadaran lainnya di sektor pendidikan yang memicu pembelajaran jarak jauh karena lembaga pendidikan ditutup untuk sementara waktu. Ini menuntut orangtua memiliki kebiasaan baru bagaimana membantu anak-anaknya belajar dengan sistem daring dari rumah masing-masing.

Kebiasaan baru yang membutuhkan upaya keras untuk mewujudkannya. Di sanalah kemudian timbul empati terhadap peran guru bahwa memang tidak mudah mendidik satu anak saja, apalagi puluhan siswa dalam satu kelas.

Wajar kemudian muncul satu meme yang beredar seperti ini contohnya: “Memasuki hari ke-4 social distancing, anak-anak sudah bisa mengambil kesimpulan, bahwa guru di rumah lebih garang daripada guru di kelas.” Semoga ini sekadar adaptasi.

 

Perdikan

Tidak hanya itu. Menurut saya, momen ini saat yang tepat untuk menumbuhkan kesadaran lainnya terutama kesadaran pajak. Menghadapi pagebluk dahsyat ini, pemerintah memiliki kebijakan untuk menanggung semua biaya perawatan pasien korona. Tentu itu memerlukan anggaran yang besar.

Lalu selama ini pemerintah mendapatkan uangnya dari mana kalau tidak dari pajak yang dikumpulkan dari wajib pajak. Pajak itu penting. Kesadaran inilah yang mesti didengungkan. Bahwa ada pajak yang menjadi pondasi pemerintah untuk bisa leluasa bergerak dengan cepat menangani ini.

Seperti kita ketahui pemerintah telah menyiapkan Dana Alokasi Khusus bidang kesehatan dan Dana Bantuan Operasional Kesehatan dalam rangka pencegahan dan penanganan Corona Virus Disease 2019 kurang lebih satu triliun rupiah. Instruksi presiden tentang realokasi anggaran untuk mempercepat penanganannya juga telah ditandatangani agar semua instansi bisa segera merevisi anggarannya dan berfokus pada kebutuhan kesehatan.

Ini di luar dari pos kesehatan yang telah dianggarkan dalam APBN 2020 sebesar 132,2 triliun rupiah. Perlu diketahui, APBN 2020 yang dirancang sebelum pandemi Covid-19 ini meledak mengukur indikator kesehatan pada stunting balita, tuberkulosis, dan malaria.

Berikutnya, dalam situasi ini maka spirit yang dikembangkan bukan lagi sekadar memenuhi kewajiban, melainkan implementasi dari semangat kegotongroyongan. Tidak ada apa dan siapa pun yang menjadi perdikan. Ini yang sebenarnya bisa dilakukan selain memenuhi anjuran pemerintah untuk tidak bepergian dan menghindari interaksi di keramaian.

Senapas dengan itu, selain banyak stimulus ekonomi yang bisa memastikan jalannya perekonomian, secara mikro dalam rangka memberikan kemudahan dan kepastian, pemerintah merelaksasi batas waktu pembayaran dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Tahunan sampai dengan 30 April 2020 tanpa dikenai sanksi keterlambatan.

Begitu pula untuk SPT Masa PPh Pemotongan/Pemungutan Masa Pajak Februari 2020 yang pelaporannya diberikan  relaksasi sampai  dengan  30  April  2020 tanpa dikenakan  sanksi  keterlambatan, namun batas waktu pembayaran tetap sesuai ketentuan yang berlaku.

Kenapa berbeda? Kembali seperti yang diungkapkan oleh Suyanto di atas, kesadaran menaklukkan Covid19 menuntut kerja sama dan solidaritas dalam hal ini golongan menengah dan atas untuk tak menunda pembayaran pajaknya.

Lagi-lagi ini soal untuk memastikan roda pemerintahan tetap berjalan dan negara bisa hadir untuk berbuat banyak hal seperti menyediakan alat tes Covid-19, waspada dalam penanggulangannya, serta kesiapan untuk mengunci wilayah (lockdown) secara total jika itu memang diperlukan.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan pada saat sekarang adalah bukan kemampuan menangkap petir seperti dalam legenda Ki Ageng Sela, namun kearifan masing-masing untuk tak menjadi perdikan pada masa pagebluk ini.

Dus, sekaligus tuntutan pembuktian kepada semua yang menyatakan dengan berbusa-busa telah memiliki jiwa-jiwa merdeka pada saat kondisi yang lapang. Karena dalam keseharian, praktik jiwa merdeka itu terjelma dalam semangat kegotongroyongan.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
22 Maret 2020
Gambar dari usatoday.com

Advertisement

2 thoughts on “Perdikan di Tengah Pagebluk?

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.