Perjalanan ke Batam: Bolehkah Hamba Menamainya Salwa?


Pesawat Sriwijaya Air yang rencananya membawa kami dari Bandara Hang Nadim, Batam ke Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng mengalami keterlambatan yang cukup parah Jumat sore itu. Mestinya kami sudah melayang pada pukul 16.20. Magrib tiba, kami masih bertopang dagu di ruang tunggu bandara.

Serepih roti dan segelas air mineral dalam kantong kertas warna coklat dibagikan kru darat maskapai itu sebagai kompensasi atas keterlambatan. Salah satu dari mereka memberitahukan penyebabnya. “Ada masalah di radar pesawat. Spare part-nya sedang kami datangkan dari Jakarta,” kata pria bertubuh besar.

Menurutnya, kalau suku cadang bagian vital pesawat itu datang tepat waktu, pesawat akan terbang pada pukul 22.00. Beberapa penumpang tidak puas dengan penjelasannya dan memprotes keras. Di antaranya beralasan ada jadwal pesawat atau transportasi lain yang harus dikejar. Pria kru darat menjelaskannya dengan santai. “Kalau tidak terbang, Bapak dan Ibu akan kami inapkan di hotel,” katanya lagi. Penguasaan emosinya luar biasa.

Saya menghela nafas. Untung besok hari libur jadi tidak ada yang saya kejar. Hanya Agung Utomo, teman safar saya, harus merelakan tiket kereta malam menuju Cirebon hangus. Padahal ia sudah memesan tiket kereta dengan jadwal yang paling malam.

Segelas coffee latte telah kosong sedari tadi untuk menemani penantian. Pun, berlembar-lembar halaman buku Carl Sagan telah dibaca.  Kemudian kru darat kembali mengumumkan kepada para calon penumpang agar mengambil sekotak nasi berlauk ayam goreng tepung sebagai kompensasi tambahan karena pesawat sudah delay lebih dari dua sampai tiga jam.

Setelah itu kami diberikan voucer senilai Rp300.000,00 sebagai kompensasi keterlambatan lebih dari empat jam. Voucer itu berupa potongan kecil kertas kupon berstempel untuk dicairkan di bank tertunjuk.

Entah sudah berapa kali saya mondar-mandir ke toilet untuk berkemih. Efek diuretik dari kopi yang saya minum telah bereaksi. Efek ini memicu buang air kecil lebih sering. Ujungnya saya kehausan dan meminum air lebih banyak lagi.

Dari balik kaca ruang tunggu bandara, saya melihat beberapa orang berompi hijau menyala naik turun tangga pesawat. Beberapa yang lain berada di bawah, dekat ban depan pesawat. Jendela kokpit terlihat gelap. Dari garbarata, muncul pria “yang menguasai emosinya itu” dan menemui kami. “Pesawat tidak bisa terbang malam ini. Bapak dan Ibu akan kami inapkan di hotel. Besok berangkat dengan pesawat pukul 06.30,” katanya.

Dengan refleks saya melihat penanda waktu di telepon genggam. Sudah menunjukkan sekitar pukul 22.00. Ini merupakan keputusan yang menurut saya terlambat. Coba sejak dari tadi diumumkan, barangkali kami sudah bisa beristirahat lebih dini. Kami disarankan untuk segera menuju pintu kedatangan bandara karena ada taksi yang akan mengantarkan kami ke hotel.

Bandara Hang Nadim bukan Bandara Soekarno Hatta yang ramai tanpa kenal waktu. Ini kota kecil di sebuah pulau. Istimewanya hanya karena pulau ini bersemuka dengan Singapura. Traktat London 1824 menjadikan keduanya seperti bumi dan langit.

Hang Nadim sepi. Tidak ada taksi pada saat itu di bandara. Beberapa taksi yang lewat dicegat oleh para kru darat. Sang pria itu kembali mengomandoi. “Besok, Bapak datang ke kantor kami, bawa kuitansi tagihan taksinya,” katanya kepada setiap supir taksi yang ia hadang.

Kami mendahulukan keluarga yang membawa anak-anak untuk naik taksi terlebih dahulu. Juga para kru yang di antaranya pilot dan para pramugari. Di dalam remang-remang cahaya lampu yang tersisa di pelataran bandara, gurat wajah mereka menunjukkan kelelahan.

Tidak hanya taksi, kendaraan pribadi petugas bandara ikut dimanfaatkan untuk mengantar kami. Lima orang penumpang, termasuk saya di antaranya, dijejalkan di sana. Saya berada di tengah di bangku kedua. “Sekalian pulang,” kata Pak Petugas Bandara itu.

Bandara Hang Nadim dan hotel dipisahkan oleh jarak dan waktu. Di tengah kantuk yang mendera, perjalanan 31 menit untuk menempuh jarak 20 kilometer itu terasa lama sekali. Posisi saya yang berada di kursi tengah tanpa sandaran kepala membuat saya berusaha dengan keras menegakkan kepala di tengah terpaan kantuk yang luar biasa.

Pada akhirnya kami sampai di hotel walaupun harus antre juga untuk mendapatkan satu slot kamar. Bagi saya, ini pengalaman pertama kalinya menginap di hotel karena adanya keterlambatan pesawat.

Waktu hampir mendekati tengah malam saat kami masuk kamar. Saya harus mengatur alarm telepon genggam agar bangun pada pukul empat pagi. Rencananya pada pukul lima pagi ada bus yang akan mengantarkan kami ke bandara. Semoga di waktu yang tersisa untuk rehat ini bisa meluruhkan seluruh lelah raga dan jiwa.

Singkat cerita, keesokan paginya kami sudah kembali di ruang tunggu bandara. Itu setelah kami melalui proses check-in ulang.  Pesawat yang dijadwalkan terbang tepat waktu, melangit menuju ketinggian di atas 30.000 kaki, di atas gumpalan awan putih seperti kapuk.  Biru memenuhi cakrawala.

Satu setengah jam kemudian, pesawat sudah mendarat di Soekarno Hatta. Sebuah pesan masuk dalam aplikasi percakapan, “Alhamdulillah, jangan kapok ke Batam ya Mas.” Pesan dari Oky Fardiano, sesama mantan kombatan Tapaktuan, vokalis The Mummy yang menemani kami selama di Batam.

Saya jadi teringat dengan kongko-kongko bersamanya di malam hari, di sudut Batam, di tepian laut dengan kelap-kelip lampu di daratan Singapura yang hanya sepelemparan batu. Sepiring siput gonggong terhidang di hadapan. Ini kuliner khas Batam.  Warna cangkangnya coklat keputihan.

Kita tinggal menarik capit bergerigi yang menonjol keluar dari cangkangnya. Tanpa susah payah. Ya, cukup tinggal tarik saja maka daging siput itu akan keluar dengan mudah.  Lalu kita gigit dan telan daging empuk moluska ini sampai hanya di bagian capitnya. Tidak berlendir dan gurih. Apalagi kalau dicocol dengan sambal hijau. Mulut menjadi lebih bergemuruh. Ingin saya berucap, “Bolehkah hamba menamainya Salwa, wahai Tuhanku?”

Salwa makanan surga, selain Manna, yang diturunkan Allah swt kepada Bani Israil di suatu masa nan lampau.

Dan ingat, kandungan kolesterol siput gonggong ini tinggi. Ah, senandung Bang Haji Rhoma Irama mengingatkan kita: “Kenapa semua yang asyik-asyik itu yang dilarang? Ah, ah, ah, ah.”

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kepulauan Riau Slamet Sutantyo datang dan ikut bergabung bersama kami. Di tengah kesibukannya yang tak pernah habis, ia berkenan menyambut kami. Ia menjumput sekeping siput gonggong dan begitu menikmatinya. “Para nelayan datang dengan sampan dari tengah laut ke tempat ini untuk menjual hasil tangkapannya,” kata pria asal Cilacap ini.

Pembicaraan kemudian melebar ke mana-mana. Bebas dan melebur bersama molekul-molekul malam. Malam tanpa cairan kahwa yang terasa singkat. Kami harus segera beristirahat. Besok paginya masih ada tugas yang mesti tamat. Sebelum berpisah ajakan menyusuri negeri jiran muncul, kelak jika ada kunjungan lagi ke Batam yang tak sesaat.

Ajakan nan elok. Tentu ketika masanya itu tiba, semoga tidak terjadi lagi kapal terbang yang rusak, radarnya yang nirguna, delay-nya yang lama.  Kalau delay yang satu itu bolehlah saja Tuhan: delay agar hamba bisa hidup 1000 tahun lagi.

Terberkahi.

Singapura di kejauhan.
Vokalis The Mummy berkaca mata sedang mengacungkan jempol.
Berfoto seusai tugas tuntas. Kepala Kantor Wilayah DJP Kepulauan Riau Slamet Sutantyo duduk ketiga dari kiri.
Pesawat itu hendak berangkat di Sabtu pagi.
Di atas hamparan kapuk.

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
27 Juni 2019

 

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.