Beberapa hari yang lalu, banyak orang tua yang antre untuk mendaftarkan anaknya sekolah. Sistem penerimaan murid sekarang berdasarkan zonasi. Ini untuk pemerataan kualitas pendidikan. Saya setuju dengan ini. Karena negara sudah menetapkan 20% APBN untuk pendidikan, maka sayang sekali kalau dana yang 80%-nya dikumpulkan dari pajak ini tidak mengungkit kualitas pendidikan pada titik optimalnya di semua sekolah. Namun saya teringat kepada satu tulisan saya yang lampau. Semoga berguna buat ayah bunda yang hendak menyekolahkan anak-anaknya.
Ada dua negara Cile dan Honduras. Cile perekonomiannya lebih bagus daripada Honduras. Pendapatan orang miskin Cile masih dua kali lipat pendapatan orang miskin di Honduras. Pertanyaannya kemudian diajukan, siapa yang lebih bahagia? Orang miskin di Cile atau orang miskin di Honduras?
Logika menjawab tentu orang miskin di Cile. Ternyata salah. Berdasarkan penelitian, yang lebih bahagia adalah mereka orang-orang miskin di Honduras. Apa sebab? Karena di Honduras jarak pendapatan mereka dengan pendapatan rata-rata lebih sedikit. Keadaan orang miskin mereka lebih dekat atau hampir sama dengan keadaan kelas menengah mereka, jadi mereka merasa lebih baik. Gap di antara mereka tidak lebar.
Beda dengan yang ada di Cile. Gapnya menganga lebar sehingga orang miskin Cile merasa bahwa mereka tetap tidak berdaya dan merasa jauh dengan kelas menengah mereka. Ujung-ujungnya mereka frustasi dan tak bahagia.
Sederhananya adalah jika kita depresi di tempat orang yang tak bahagia maka tingkat depresinya lebih rendah dibandingkan orang yang depresi di tempat banyak orang tersenyum lebar.
Seringkali yang akan kita jadikan patokan adalah orang-orang di sekeliling kita. “Membandingkan diri kita dengan orang-orang di kolam yang sama.”
Nah, kaitannya dengan sekolah bagaimana?
Saya mengilustrasikannya seperti ini. Ada anak cerdas di Amerika Serikat. Ia mencintai pelajaran matematika, kimia, fisika, biologi, dan ilmu pasti lainnya. Cita-citanya menjadi seorang ahli sains. Selepas SMA ia memilih kuliah di kampus yang ternama dan bonafide untuk menggapai cita-citanya. Di sebuah universitas tempat anak-anak cerdas berkumpul.
Untuk dapat belajar di kampus itu ia harus melalui ujian SAT. Ujian yang digunakan di banyak sekolah tinggi Amerika Serikat sebagai tes masuknya. Mungkin kalau di Indonesia adalah SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri)-nya. Di universitas terkenal itu ia memilih jurusan sains tentunya. Ia lulus dan dapat belajar di sana.
Tapi apa yang terjadi? Di tengah perkuliahan ia gagal dan memilih keluar serta berpindah jurusan ke ilmu sosial. Padahal ia sudah menyadari kenyataan untuk tidak menjadi nomor satu di antara orang-orang cerdas itu. Bahkan ia sangat sadar ketika menjadi mahasiswa biasa-biasa saja bahkan paling bawah sekali pun. Ia tak berharap untuk menyaingi mereka. Targetnya adalah mampu bertahan kuliah.
Namun ia tetap bekerja keras untuk dapat menyamai kecerdasan dan mengikuti irama kepandaian dari mahasiswa cerdas di kelasnya itu. Tapi ia selalu mendapatkan nilai B minus seberapa pun kerasnya usaha belajarnya itu. Nilai-nilai yang tak pernah ia dapatkan di SMA-nya dulu. Katanya, teman-temannya itu sampai pada suatu titik egoisme untuk tidak mau berbagi ilmu karena ketat nya kompetensi. Dosennya sampai bilang juga kepadanya untuk tak perlu ikut mata kuliah ini. Ia menyerah. Ia gagal.
Kalau saja ia memilih universitas yang pertengahan, maka ia akan bisa mengikuti irama kuliah dan menjadi terbaik di kelasnya. Ia pun akan tetap pada jalurnya untuk menjadi ahli sains. Ia tidak bodoh. Ia cerdas. Tapi ia salah dalam memilih. Ia tidak membandingkan dirinya dengan mahasiswa di luar kampusnya. Ia hanya menjadikan teman-teman kampusnya sebagai benchmark. Itu membuatnya merasa bodoh dan tak berguna.
Universitas ternama itu adalah kolam besar dan anak cerdas itu ikan kecilnya. Sedangkan jika ia memilih universitas biasa saja atau universitas pertengahan ia sesungguhnya adalah ikan besar dan universitas biasa itu adalah kolam kecilnya. Ayah dan Bunda ingin menjadikan anak Ayah dan Bunda ikan besar di kolam kecil atau ikan kecil di kolam besar?
Karena berdasarkan penelitian, tak ada signifikansi pengaruh almamater terhadap perolehan pendapatan setelah lulus kuliah. Berdasarkan penelitian pula ada perbandingan seperti ini dengan contoh sederhana. Ada 100 anak tercerdas yang nilai SAT-nya tinggi kuliah di jurusan sains Harvard . Seratus anak yang SAT-nya rendah di bawah daripada mereka yang kuliah di Harvard, kuliah di jurusan sains universitas biasa saja. Dua universitas ini mempunyai metode dan sistem pengajaran yang sama. Ternyata masing-masing dari universitas itu hanya bisa meluluskan 50% saja mahasiswa mereka.
Ini aneh. Seharusnya mereka yang nilai SAT-nya tinggi dan bisa kuliah di Harvard tentu lulus semua. Atau dengan kata lain mahasiswa yang SAT-nya rendah daripada mahasiswa Harvard dan hanya bisa kuliah di universitas biasa saja itu yang tak akan mampu lulus kuliah jurusan sains. Tapi kok malah ada mahasiswa Harvard yang tidak lulus kuliah.
Ini artinya adalah banyak sekali yang mau jadi ikan kecil di kolam besar dengan risiko ia tidak bisa menjadi apa yang diidamkannya, dan tidak memilih menjadi ikan besar di kolam kecil hanya karena gengsi dan kehormatan.
Anak yang saya ceritakan di atas sampai bilang: “Kalau saja saya kuliah di universitas biasa saja itu, saya bakal masih di bidang yang saya cintai dan menjadi ahli sains.” Yang lain bilang: “Lucu sekali banyak mahasiswa matematika dan fisika yang pada akhirnya drop out dan masuk kuliah hukum, setelah lulus menjadi pengacara atau konsultan pajak.”
Saya paham, perusahaan di di Amerika Serikat memilih orang-orang yang terbaik berdasarkan apa yang dihasilkannya bukan semata dari almamater mana ia lulus. Tapi untuk diterapkan di Indonesia mungkin masih cukup sulit karena masih memandang dari mana Anda kuliah. Ini untuk urusan dunia pendidikan. Tapi untuk dunia lainnya bisa jadi bisa.
Apa yang saya ceritakan di atas adalah sebuah penceritaan kembali secara sederhana dalam bahasa dan sedikit imajinasi saya dari apa yang ada dalam salah satu bab buku Malcolm Gladwell yang berjudul David & Goliath. Sebuah buku yang memberikan cara pandang baru dalam memahami fenomena sosial. Bagaimana memandang kelemahan sebagai sebuah keunggulan.
Semua orang—dalam medan pertempuran itu—memandang remeh kepada David karena ia melawan raksasa kuat bernama Goliath. Tapi sejarah mencatatnya bahwa apa yang dianggap sebagai kekuatan itu rontok tak berdaya di hadapan sosok “penuh” kelemahan. Dari empat buku yang ditulis sebelumnya saya lebih menikmati buku terbarunya ini. Buku ini anti mainstream.
Seperti Monet, Degas, Cezanne, Renoir, dan Pisarro yang tidak akan pernah dikenal dunia jika mereka hanya menjadi ikan kecil di kolam besar dengan hanya bertahan bagaimana bisa memasukkan karya mereka di galeri “Salon” yang benar-benar ketat dalam seleksi dan tempatnya sangat terbatas.
Tapi ujungnya mereka membentuk komunitas tersendiri untuk mengenalkan lukisan impresionisme dan mereka menjadi ikan besar di kolam kecil. Pada akhirnya mereka dikenal dunia. Lukisan mereka banyak dicari orang. Saya memilih menjadi ikan besar di kolam kecil. Anda?
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
08 Mei 2014
ditulis dan diedit ulang pada 19 Juni 2019
Lukisan Paul Cezanne dari jigsawpuzzle dot co dot uk