Debat pemilihan presiden 2019 antara pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, mestinya membuka persoalan pajak.
Ini tidak terbatas pada isu pengelolaan pajak, tetapi juga kesediaan mereka mengumumkan laporan pajaknya kepada publik. Kontestasi calon presiden Amerika Serikat pada 2016 antara Hillary Clinton dan Donald Trump, menyajikan drama menarik.
Saat itu Clinton menyerang Trump yang belum merilis pengembalian pajaknya. Menurut Clinton, Trump menghindar dari pembayaran pajak.
Berkaca pada AS, sejak 1973 setiap calon presiden atau presiden terpilih telah membuka laporan pajaknya kepada publik walaupun belum ada undang-undang yang mewajibkannya. Richard Nixon memulai melansir laporan pajaknya saat menjabat, setahun sebelum ia mundur karena skandal.
Indonesia belum memulai tradisi ini. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) hanya mensyaratkan kepada paslon untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah membayar pajak selama lima tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU Nomor 22 Tahun 2018 menambahkan syarat lain, yaitu tidak memiliki tunggakan pajak.
Selain itu UU Pemilu menuntut agar pasangan calon menyerahkan bukti tanda penyerahan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Laporan itu dianggap sudah cukup mewakili soal transparansi dan pertanggungjawaban kekayaan mereka kepada publik, tetapi sebenarnya itu tidaklah cukup.
Dengan membuka laporan pajak, kita bisa memilih pemimpin bangsa yang besar ini dengan kualifikasi tinggi. Integritas yang mumpuni menjadi modal dasar mereka mengantarkan ratusan juta rakyat kepada kesejahteraan yang dicita-citakan.
Menuju itu, pajak menjadi sumber utama pendapatan dan tulang punggung negara. Pada 2019 ini saja, target penerimaan perpajakan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara mencapai Rp1.786,4 triliun atau sebesar 82,5 persen total pendapatan negara.
Mengekspose laporan pajak para kandidat akan membuat rakyat menjadi tahu berapa jumlah harta, utang, penghasilan, dan pajak yang mereka bayarkan untuk negara. Penyandingannya dengan LHKPN, menjadikan publik lebih memahami integritas masing-masing kandidat terhadap dua alat pelaporan harta dan penghasilan itu.
Dari sana, tidak ada harta yang disembunyikan, tidak ada penghasilan yang luput dari pengenaan pajak, dan tidak ada utang paslon perorangan atau badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan negara.
Terkait utang ini, UU Pemilu mengaturnya demikian. Sederhananya, dengan mengetahui semua laporan yang dirilis setiap tahunnya untuk umum ditambah laporan keuangan pribadi yang telah diaudit oleh akuntan publik, masyarakat bisa menilai kualitas pemimpinnya.
Pertanyaan skeptis terkait, apakah mereka akan menyalahgunakan jabatan untuk melipatgandakan kekayaan dan ketidaktaatan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan akan terjawab.
Ini membantu publik memahami rekam jejak para paslon. Sekaligus menjadi uswatun hasanah dan menginspirasi publik taat dalam membayar dan melaporkan pajaknya. Ini penting karena perhelatan demokrasi lima tahunan sering hanya melahirkan penguasa alih-alih negarawan yang menunjukkan keteladanan.
Namun, dengan ketentuan hukum yang ada sampai saat ini, siapa pun tidak ada yang bisa memaksa mereka untuk membuka laporan pajak dalam SPT kepada publik. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) melindungi kerahasiaan wajib pajak menyangkut masalah perpajakan dari pengungkapan tidak sah.
Otoritas pajak seperti Direktorat Jenderal Pajak dilarang mengeluarkan informasi wajib pajak kepada siapa saja, terkecuali data-data umum dan kepada siapa yang berwenang. Tentu tidak akan jadi masalah jika paslon sebagai wajib pajak itu sendiri yang membuka SPT untuk diperlihatkan kepada publik.
Apabila terlaksana, satu soal sudah bisa dipecahkan terkait keinginan publik dalam pemberantasan korupsi yang hendak menyandingkan LHKPN dengan laporan pajak para kandidat.
Keinginan agar KPK bisa bekerja sama dengan Kementerian Keuangan untuk bisa mengakses laporan pajak, cara ini tetap membutuhkan izin yang harus dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan sesuai dengan Pasal 34 ayat (3) UU KUP.
Itu pun terbatas kepentingan negara dalam rangka misalnya penyidikan, penuntutan, dan kerja sama dengan instansi pemerintah lainnya. Terbatas juga dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh menteri keuangan. Dengan kesukarelaan para kandidat, izin dari menteri keuangan yang memakan waktu dan bersifat terbatas tentu tidak diperlukan lagi.
Untuk memegang tradisi keterbukaan pada masa datang, pemerintah ataupun DPR harus memulai tradisi baik dengan merancang UU atau menyelipkan pasal dalam UU Pemilu yang mewajibkan setiap calon presiden untuk membuka SPT-nya.
Ini mendahului AS sebagai biang demokrasi pada masa ini. Kerelaan mereka membuka laporan pajak, harusnya bisa menjadi salah satu variabel penting buat publik dalam memilih paslon. Mereka yang berani membuka laporan pajak adalah yang layak dipilih.
Memang ada fakta paradoksal yang telah terjadi di AS, dengan segala kontroversi dan isu penggelapan pajak Trump, melalui sistem pemilihan presiden berdasarkan electoral college, realitasnya publik AS lebih memilih Trump menjadi presiden ke-45.
Namun, rakyat AS yang begitu menuntut terhadap keadilan dalam pajak tidak diam saja. Laporan pajak Trump tahun 2005 bocor ke tangan publik melalui televisi MSNBC.
Bahkan, dari hasil investigasi New York Times pada Oktober 2018 membuat Trump disorot otoritas pajak karena diduga membantu orang tuanya menghindari pajak.
Di Indonesia, membuka laporan pajak oleh para paslon sudah sepantasnya dimulai saat ini agar masyarakat lebih yakin dalam memilih pemimpinnya.
***
Tulisan di atas telah dimuat di Koran Harian Republika tanggal 24 Januari 2019.
Riza Almanfaluthi
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak