Di Amerika Serikat, menimbun barang-barang di rumah menjadi penyakit kejiwaaan. Atau lebih dikenal sebagai Hoarding Disorder. Sebanyak 6% dari jumlah penduduk Amerika Serikat mengalami hal ini. Di Inggris sebanyak 3 juta jiwa.
Sepeda itu masih bagus. Hanya rusak sedikit di pedalnya. Datang ke bengkel sepeda hanya sekadar jadi niat belaka. Tidak pernah terealisasikan berbulan-bulan kemudian.
Mobil mainan dengan kendali jarak jauh berada di samping televisi tabung. Tidak pernah digunakan oleh anak-anak laki-laki saya yang sudah kuliah dan SMA. Juga bukan mainan buat anak perempuan saya yang sekarang sedang senang bermain bola bekel.
Dua barang itu bagian kecil dari barang yang menjejali rumah. Pada waktunya barang-barang itu telah sebagiannya saya berikan dan sebagiannya terdampar di tong sampah karena tidak akan berguna lagi buat orang lain.
Tanpa kita sadari ternyata kita menjadi penimbun barang. Barang-barang yang sebenarnya jika berada di tangan orang lain yang membutuhkan maka akan lebih banyak manfaatnya.
Di Amerika Serikat, menimbun barang-barang di rumah menjadi penyakit kejiwaaan. Atau lebih dikenal sebagai Hoarding Disorder. Sebanyak 6% dari jumlah penduduk Amerika Serikat mengalami hal ini. Di Inggris sebanyak 3 juta jiwa.
Saya pernah melihat film dokumenter yang menceritakan seorang penderita Hoarding Disorder. Ia tidak pernah melihat permukaan lantainya selama empat tahun sebelum tim pembersih kemudian datang membantu membersihkan.
Itu pun tim pembersih sampai harus memakai pakaian putih lengkap dengan masker dan helm ala pekerja fasilitas nuklir.
Ada juga dokumentasi yang menceritakan tentang upaya terapi satu keluarga yang rumahnya seperti gudang karena saking banyaknya barang yang mereka simpan.
Untuk memilah dan membuangnya saja mereka didera kebimbangan yang akut. Pada akhirnya mereka bisa. Caranya, mereka diminta untuk meletakkan barang-barang itu ke dalam tiga kotak yang ada di depan garasi.
Sebuah cara yang sama dikisahkan oleh Brooke Burke-Charret pada kisah ke-101 dalam buku yang baru saya baca. Buku yang berjudul Chicken Soup for The Soul: Makin Sedikit Makin Bahagia. 101 Kisah tentang Mengubah Hidup dengan Melepaskan Apa yang Dimiliki ini merupakan kumpulan tulisan dari 101 kontributor.
Buku seri Chicken Soup for The Soul ini satu-satunya yang pernah saya miliki dan pertama kali saya baca. Butuh dua bulan lebih buat saya untuk membacanya. Sebanyak 101 kisahnya tidak serta merta saya habiskan sekejap. Membacanya juga tidak perlu secara berurutan dari awal sampai akhir. Saya bisa membacanya dari judul yang mana saja.
Buku yang tidak membahas Hoarding Disorder secara khusus ini juga mengisahkan tentang bagaimana mereka menjalani hidup sederhana setelah kehidupan glamor atau dipenuhi cicilan kartu kredit; tentang kehidupan setelah keluar dari zona nyaman dengan menjadi dokter gigi untuk militer dan tinggal di Alaska; tentang kebahagiaan setelah tidak berkarib lagi dengan peranti elektronik.
Juga ketika sanggup mengatakan tidak atas sesuatu permintaan untuk melakukan sesuatu padahal itu tidak ingin dilakukan. Seringkali kita tidak bisa mengtatakan “tidak” karena sekadar tidak enak hati.
Juga tentang bagaimana melepaskan diri dari barang-barang yang ditumpuk sepanjang waktu sedangkan semua itu jarang atau bahkan tidak pernah digunakan sama sekali. Hanya karena perihal: Siapa tahu suatu hari kelak dan siapa tahu akan berguna.
Lemari dengan gantungan dan tumpukan baju. Tidak semuanya terpakai. Rak sepatu dengan hal yang sama. Piring dan perkakas. Semuanya menyita ruang kosong rumah. Ditambah “kenangan” yang ada di benda-benda tersebut.
Walhasil semuanya mengikat, membuat ketergantungan, menyesakkan, dan memberantakkan rumah. Butuh niat kuat untuk merapikannya dengan dengan mantra besok, besok, besok, dan besok. Pada akhirnya tidak pernah dilakukan sama sekali. Rumah pun seperti menjadi kapal di tengah laut seusai badai.
Barulah kemudian mereka merasa lega dan bahagia ketika “membuangnya”. Dengan cara terlebih dahulu mengelompokkan barang-barang itu ke dalam tiga kategori. Kategori pertama, barang untuk dihadiahkan; kedua, barang untuk diberikan; dan ketiga barang yang akan dibuang ke tong sampah.
Alasan terberat membuang barang itu biasanya karena kenangan yang melekat di dalamnya. Padahal letak kenangan itu bukan pada benda melainkan pada apa yang ada di balik rongga dada. Karena kenangan tidak seperti barang yang perlu dikemas dan dibongkar ketika kita pindah ke suatu tempat. Ia mengikuti kemana kita pergi.
Kesuksesan memilah dan memilih barang yang menyesaki rumah itu juga perlu didukung oleh pasangan. Karena pasangan bisa jadi tidak sepaham tentang semua itu. Ia masih digondeli dengan segala barang-barang itu. Maka ajaklah sejak awal engkau memiliki pemahaman radikal ini: lebih sedikit lebih bahagia.
Semua itu telah usai berabad-abad yang telah lampau bagi pengikut penghulu para nabi: Muhammad saw. Apa yang ada di dalam buku ini menjadi resonansi dari keyakinan yang selama ini dianut. Bahwa berbagi itu senantiasa lebih membahagiakan.
Bukankah kita sering mendengar: “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Alhasyr: 9)
Juga tentang mensyukuri apa yang ada. Maka lebih sedikit itu lebih bahagia. Tentu dalam konteks harta. Bukan dalam amalan.
Di sana. Di alam penghakiman. Orang yang berharta akan lebih lama dihitung amalnya daripada mereka yang tak berpunya. Untuk menjawab dua pertanyaan ini: Dari mana dan untuk apa hartamu itu?
Saya melirik buku yang menjejali dua lemari. Sampai saat ini saya hanya bisa menghela nafas. Kapan bisa membaginya?
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
26 November 2018
Bagi ke saya aja mas bukunya😂😂
LikeLike
hahahaha
LikeLike