
Pengalaman hidup adalah mufti yang memang memfatwakan
banyak hal kepada saya sebagai mustafti.
Setelah menerima medali dan kaos sebagai penamat, saya segera membereskan peralatan saya. Tiba-tiba kembali rasa mual itu muncul. Saya segera cari tempat sepi. Di bawah pohon palem yang baru tumbuh, saya memuntahkan semua isi perut. Semuanya cairan yang tadi saya minum di sepanjang pelarian itu. Lega.
Setelah itu saya menuju tenda besar panitia. Di sana ada wadah plastik besar berisi air es untuk merendamkan kaki. Saya memasukkan kaki. Dan tidak butuh waktu lama, itu saja membuat tubuh saya menggigil tidak karuan. Tidak hanya di kaki, tetapi ke seluruh tubuh. Ini seperti dingin yang menyerang saat kita demam atau meriang. Saya segera angkat kaki. Saya sudah merasa sangat kelelahan.
Saya butuh pelukan dan kehangatan. Terutama sekali teh manis panas. Saya ingin pulang segera. Saya pesan mobil daring, tidak dapat. Pesan taksi daring juga tidak dapat. Kayaknya jarak rumah saya yang jauh, lebih dari 22 kilometer, membuat order tidak digubris mereka.
Akhirnya setelah satu jam di lokasi finis, setelah ledakan kembang api di mana-mana, setelah orang-orang memuntahkan gembira karena ada sesuatu yang baru dan jengkelnya karena telah meninggalkan sesuatu yang membuat luka, saya pesan ojek daring untuk menuju hotel terdekat. Saya ingin sekali tidur dan menghempaskan tubuh yang remuk ini di atas kasur empuk itu. Saya tiba di suatu hotel, eh ternyata kamar penuh. Pindah lagi ke hotel yang satunya lagi juga penuh.
Tukang ojek daring itu kayaknya kasihan sama saya, lalu mengantarkan saya sampai ke Stasiun Bogor. Kalau dari senarai yang ada, jam segitu sudah tidak ada kereta lagi. Jikalau ada itu hampir pada pukul tiga pagi. Kelamaan.
Tapi memang sudah rezeki saya, ketika sampai di sana, masih ada dua commuter line yang sedang nongkrong di jalurnya. Dan pas ketika saya naik, commuter line itu berangkat. Commuter line yang kosong dan hanya diisi remaja yang habis bermalam tahun baru di Bogor.
Teh manis panas benar-benar membayang di mata seperti wadi yang selalu dibayang-bayang oleh musafir tersasar di gurun pasir. Nasi kotak yang ada di tangan ini sudah ingin sekali saya santap. Saya benar-benar butuh asupan yang luar biasa.
Saya sudah tiba di Stasiun Citayam. Naik ojek daring untuk sampai ke rumah. Dan tiba juga di rumah. Teh manis panas benar-benar menjadi obat buat saya. Juga coklat panas. Ujung-ujungnya setelah beres-beres dan bersih-bersih, saya baru tertidur jam 2.30 pagi.
Untuk tahun depan, jika memang mau ikut even ini lagi, yang harus dipersiapkan lebih baik lagi untuk saya adalah obat-obatan pribadi dan booking hotel. Tak perlu memaksakan diri untuk pulang saat itu juga.
Pengalaman hidup adalah mufti yang memang memfatwakan banyak hal kepada saya sebagai mustafti (penerima fatwa). Seluruhnya adalah pedang kebenaran yang telah ditempa dan dibakar dengan godam dan api waktu. Dan pertanyaan terakhir tentu mengemuka: “Akankah ikut kembali lari-lari beginian?” Jawabannya adalah, “Istafti kolbaka.” Tanyakan nuranimu.
Medali kelima itu saya gantungkan di tempatnya bersama yang lain. Ting, ting. Suara ia beradu dengan yang lainnya. Bergoyang sebentar. Lalu diam.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Belitong, 02 Januari 2018
Cerita Sebelumnya: Banyak Drama.
One thought on “Cerita Lari Tugu To Tugu 2017: Pelukan dan Kehangatan”