
Tetapi pada saat malam hari, kebanyakan minum malah bikin kembung.
Saya tiba di PDAM Cibinong. Ini penghentian pertama. Sudah 1 jam 31 menit saya berlari. Itu kira-kira 12,5 kilometer. Belum ada cairan yang masuk sama sekali. Baru dua butiran kecil gula jawa yang saya habiskan.
Di sana, setelah dilakukan pengecekan oleh panitia, saya langsung mengambil minuman botol warna biru itu dan menenggaknya sampai habis. Hal yang nantinya membawa saya kepada sesuatu.
Kini terbentang di hadapan kami jalanan lebar tapi sepi: Jalan Sukahati, Karadenan, dan Kedung Halang. Ujung jalan ini adalah Jalan Raya Bogor. Kurang lebih 10 kilometer jaraknya. Tidak akan ada keramaian orang. Tidak akan ada yang menyemangati kami.
Sempat kaki saya terpeleset, kaki saya tertekuk jelasnya, ketika menghindar motor yang ada di depan dan kaki kiri itu pun mendarat di jalanan yang tidak rata. Sakit sih tapi tidak parah. Saya masih bisa meneruskan lari.
Sejak di garis start saya bergabung dengan kelompok anak muda dari Bogor Runners yang memanggil saya om-om. Panitia pun memanggil saya begitu. Entah dari mana mereka bisa memperkirakan saya seumuran om-om mereka. Tapi betul juga sih umur saya memang di atas kepala empat.
Di sepanjang pelarian itu saya disusul oleh sedikit dari anak muda itu. Saya tidak peduli. Disusul sedikit atau banyak yang penting saya bisa jaga kecepatan berlari saya. Saya juga banyak menyusul teman-teman pelari 55 kilometer yang benar-benar sudah kelelahan.
Ada perempuan pelari yang sendirian jalan di kegelapan pohon. Lampu kelap-kelipnya yang menandakan ia adalah pelari. Sampai saat itu saya baru menyadari pentingnya ketegasan panitia kegiatan ini yang mewajibkan lampu kelap-kelip terpasang.
Saya juga ketemu pelari 55 kilometer yang balik arah. Umurnya lebih tua daripada saya. Jalannya menunduk. Seakan-akan mencari sesuatu. “Ada apa, Pak?” tanya saya. Ternyata tali klem yang diberikan panitia sebagai tanda telah melewati batas tertentu hilang. Aduh, Pak.
Ketika saya bertemu semua pelari 55 kilometer itu, saya cuma bergumam, “Hebat euy. Mereka bisa lari sejauh itu dari Tugu Monas.”
Sejak dari PDAM itu saya konsisten untuk meminum air di setiap kelipatan jarak 2,5 kilometer. Sampai di kilometer 21 tiba-tiba muncul rasa mual yang tak tertahankan lagi. Tidak ada pelari di depan saya, juga di belakang saya. Jauh semua. Saya minggir. Dan muntah. Melulu cairan. Tapi saya masih bisa melanjutkan pelarian itu. Satu hal, saya mengurangi cairan yang masuk. Bikin mual.
Barangkali inilah bedanya. Lari di pagi hari, cairan yang masuk bisa menggantikan cairan yang hilang karena lari. Tetapi pada saat malam hari, kebanyakan minum malah bikin kembung. Apalagi angin malam terasa sekali hembusannya menembus tubuh.
Sejak kilometer itulah saya mulai jalan dan lari. Sudah mulai juga sering melihat-lihat jam Garmin. Ini berarti yang sering saya lakukan adalah memencet-mencet tombol lampunya.
Garmin yang Terpencet
Tinggal delapan kilometer lagi. Dulu saya pernah sempat lari 21 kilometer dari rumah sampai McD Jalan Pajajaran itu. Kontur jalannya menaik. Ini butuh tenaga lebih tentunya.
Eh, di titik 25,01 kilometer itu, Garmin FR235 di pergelangan tangan kiri tak sengaja kepencet tombol stopnya. Aaarrghh…Sudah 250 meter lewat baru saya atur ulang jam Garmin mulai dari awal lagi.
Lima kilometer lagi, Bro. Tapi Jalan Pajajaran itu seperti Rahwana yang berdiri angkuh. Susah ditaklukkan apalagi dengan Pancasonanya.
Jalan menaik adalah takdir buruk. Ya sudah diterima saja dengan jalan kaki. Jalan menurun, diterima dengan senang hati maka berlarilah. Finis tinggal sebentar lagi, masih empat kilometer di depan. Sampai kemudian saya tiba di area Kebun Raya Bogor yang ramai dengan suka cita persiapan menyambut tahun baru.
Saya melewati terowongan bawah tanah menuju sisi seberang untuk balik arah menuju Kantor Walikota Bogor. Keramaian itu membuat semangat saya bangkit dari kuburnya. Tidak lagi menjadi Sundel Bolong yang cuma bisa menakuti tukang sate dengan permintaan dua ratus tusuk satenya itu.
Tapi ya itu tadi, akhir pelarian, akhir dari perjalanan tidak selalu diiringi dengan jalan yang menurun dan mudah, ini bahkan tidak kira-kira. Trotoarnya menaik sampai ujung jalan. Ya terpaksa jalan kaki. Setelah itu barulah saya lari kembali. Lima ratus meter lagi. Huh hah!!!
Tinggal 200 meter finis. Eh, ketemu sepasang anak muda dari Bogor Runners yang sedang berhenti dan menyemprotkan spray antinyeri di paha belakang temannya. Dua anak muda ini, laki-laki dan perempuan, yang dari awal tak mungkin saya bisa menyusulnya, kencang sekali larinya. Sampai sudah enggak kelihatan di mata. Pernah saya menyusul mereka, itu pun karena mereka sedang istirahat, tidak pakai lama mereka sudah ada di depan saya lagi. Hebat euy.
Saya susul mereka di sisa-sisa tenaga saya. Dan akhirnya, diseberangkan oleh Mbak Sandra Aprillia, panitia Tugu to Tugu, saya tiba di kantor walikota. Finis, Bro!!! Selesai sudah. Bisa juga saya menyelesaikan itu. Dan sayangnya setelah beberapa aktivitas yang dilakukan di garis finis, saya baru sadar kalau Garmin saya belum dimatikan. Hahahaha…
Happy runner bikin lupa. Hormon kelegaan, kebahagiaan yang membanjir bikin tak ingat ada kemestian yang harus dilakukan: menghentikan laju jam. Tiga puluh kilometer itu akhirnya bisa diselesaikan dalam waktu hampir 4 jam. Tepatnya 3 jam 56 menit.
Saya jadi ingat, pada 29 Juli 2017 lampau, saya pernah lari sendiri dengan jarak 30,37 kilometer dengan waktu 3:39:43 jam. Jauh sekali beda waktunya dengan saat sekarang. Tidak apalah yang penting finis sehat dan tidak kurang satu apa pun juga.
Lanjut ke cerita berikutnya: Pelukan dan Kehangatan.
Cerita Sebelumnya: Kelinci dan Kura-kura.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Belitong, 2 Januari 2018
2 thoughts on “Cerita Lari Tugu To Tugu 2017: Banyak Drama”