Setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden, Amerika Serikat hengkang dari Trans-Pacific Partnership (TPP) di awal 2017. Meskipun demikian, ini tidak membuat gamang 11 negara anggota lainnya. Mereka berkeinginan untuk melanjutkan perjanjian perdagangan bebas berstandar tinggi itu. Bagaimana dengan Indonesia yang upayanya hanya sebatas melakukan studi?
Empat tahun lalu, tepatnya pada November 2013, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengeluarkan jurnal kajian edisi ke-16 yang berjudul Implikasi Kerjasama Trans-Pacific Partnership Guna Meningkatkan Peran Indonesia di Kawasan ASEAN dalam Rangka Ketahanan Regional.
TPP ini adalah perjanjian perdagangan bebas dengan standar tinggi yang melibatkan banyak negara di kawasan Asia Pasifik. Negara-negara itu adalah Singapura, Cile, Selandia Baru, Brunei Darussalam, Amerika Serikat, Australia, Vietnam, Peru, Malaysia, Kanada, Meksiko, dan Jepang.
TPP yang semula bernama Trans-Pacific Strategic Economic Partnership (TPSEP) diprakarsai oleh tiga negara: Singapura, Cile, dan Selandia Baru. Amerika Serikat baru masuk sebagai negara anggota kelima pada 2008 dan menjadi motor TPP. Ini menarik negara-negara lain untuk bergabung hingga berjumlah 12 negara pada akhir 2016. Negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Indonesia dan Filipina menyatakan ketertarikannya untuk bergabung di dalamnya.
Namun pada Januari 2017, sebagai realisasi janji kampanyenya, presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk menarik keanggotaan Amerika Serikat dari TPP.
Jurnal Lemhannas menyebutkan perjanjian TPP ini bersifat komprehensif yang meliputi liberalisasi semua sektor dengan jadwal yang mengikat dan tetap—pengenaan tarif 0 (nol) persen untuk semua sektor barang, jasa, investasi, dan modal. TPP juga menyentuh pada isu-isu sensitif seperti akses pasar, investasi, Hak Kekayaan Intelektual, kebijakan kompetisi, belanja pemerintah, dan fasilitas perdagangan.
Dengan perjanjian tersebut TPP boleh dikatakan sebagai kesepakatan perdagangan bebas yang membongkar kemandekan negosiasi dalam organisasi perdagangan bebas lainnya. TPP memiliki kesepakatan dengan standar sangat tinggi, di atas standar kesepakatan perdagangan bebas di WTO, APEC, dan ASEAN.
Proyeksi Keuntungan
Ketika formasi TPP utuh, maka negara-negara anggota TPP berkontribusi kepada 40 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global. TPP diisi negara-negara yang dianggap berpengaruh secara ekonomi dengan jumlah penduduk merepresentasikan 11,35 persen penduduk global atau 783 juta jiwa. Tentunya dari berbagai sudut pandang, TPP diklaim sebagai perjanjian perdagangan bebas berkualitas yang pernah ada dan memiliki implikasi pada besarnya proyeksi keuntungan ekonomi yang didapat dari negara-negara anggota.
Di balik propaganda seputar TPP, ada banyak kontroversi selain sesuatu yang tampak di mata bahwa TPP dianggap sebagai alat politik dan ekonomi Amerika Serikat. Beberapa di antaranya adalah tarif 0% untuk 11 ribu komoditas, perusahaan asing bisa menuntut negara jika terjadi perselisihan, pengadaan barang dan jasa bisa dimasuki secara bebas untuk asing, pengaturan ketat terhadap hak cipta dan paten, tidak ada keistimewaan terhadap BUMN, dan mengubah seluruh peraturan yang menghambat aturan-aturan TPP.
Lemhannas merekomendasikan agar pemerintah Indonesia dapat bersikap cermat dengan tidak tergesa-gesa bergabung ke dalamnya. Mengingat secara internal, ekonomi Indonesia belum cukup kuat bergabung dalam sebuah perjanjian yang bersifat komprehensif seperti itu apalagi daya saing ekonomi nasional masih rendah.
TPP juga dinilai tidak sesuai dengan prinsip sentralitas ASEAN dalam semua situasi dan dinamika yang berkembang. Secara politik keberadaan TPP berpotensi mengurangi pengaruh Indonesia yang selama ini dipandang sebagai pemimpin regional di kawasan Asia Tenggara. Kesepakatan Regional Comprehensive Economic Partnership (RECP) jelas lebih tepat didukung oleh Indonesia daripada TPP.
Kabar terakhir yang dirilis oleh Bloomberg pada November 2017 ini, mengutip Peterson Institute for International Economics, penambahan anggota TPP dari 11 menjadi 16, termasuk Indonesia di dalamnya, akan melipatgandakan keuntungan negara anggota kira-kira US$500 miliar setahun, lebih besar daripada TPP dengan 12 anggota. Dengan ini semakin banyak negara yang menginginkan Indonesia untuk masuk ke dalamnya. Sebuah hal yang patut dicermati betul bahwa apakah dengan bergabungnya Indonesia ini akan benarbenar menguntungkan rakyat Indonesia atau sebaliknya?
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Artikel ini dimuat pertama kali di Majalah Elektronik Ditjen Pajak: Intax Nomor 11/November 2017
Alangkah indahnya ketika dalam setiap perundingan perdagangan internasional , pemerintah melibatkan DJP. Ada tim khusus dari DJP yang diikutsertakan untuk mengkaji dampak perjanjian2 itu terhadap pajak sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara. Bahkan kalau perlu menghitung, apakah akan ada potensial lost yg akan terjadi akibat dari perjanjian ini?
LikeLiked by 1 person
Setuju sekali.
LikeLike