Cerita Mudik: Dari Citayam, Brexit, Sampai Semarang


kendaraan-memasuki-pintu-tol-brebes-timur-pejagan-brebes-jawa-tengah-_160709184446-290


Akhirnya setelah satu bulan persis di Tapaktuan dan tidak bertemu dengan anak dan istri, saya bisa berkumpul lagi dengan mereka pada Jumat tanggal 1 Juli 2016. Tepatnya pada malam ke-27 Ramadan 1437 H. Masih ada waktu untuk sahur dan berbuka puasa bersama dengan mereka. Terpenting lagi melakukan perjalanan mudik untuk bersilaturahmi dengan sanak saudara di kampung.

Kami merencanakan mudik berangkat ke Semarang pada Senin siang (4 Juli 2016). Kami berangkat bertujuh. Saya dan Ummi Kinan, Kinan, Mas Haqi, Mas Ayyasy, Hendrik (adik istri), dan Mbak Alfi (keponakan). Sebelumnya kami telah mempersiapkan diri untuk membawa bekal buat berbuka puasa di tengah jalan. Seperti kejadian tahun lalu kami berbuka puasa di pinggir jalan tol Palikanci.

Kami berangkat dari rumah di Citayam pada pukul 12.30 dengan membaca Bismillah. Mengingatkan kepada semua bahwa perjalanan ini adalah perjalanan dalam rangka kebaikan dan bukan dalam rangka kemaksiatan. Sehingga dengan itu kami senantiasa berharap agar Allah melindungi perjalanan kami.

Di Cibinong saya isi penuh mobil dengan bensin agar tidak kejadian kehabisan bensin seperti yang diberitakan di hari sebelumnya karena macet yang luar biasa di pintu tol Brebes Timur. Saya juga cek kondisi ban dan mengisinya dengan nitrogen. Mampir sebentar ke toko untuk membeli satu kardus air minum dalam botol kemasan 300 ml untuk persiapan berbuka di tengah jalan.

Dari pintu tol Sirkuit Sentul kami mulai melaju. Tol Jagorawi lancar banget. Begitupula tol Lingkar Luar Cikunir yang menuju tol Cikampek. Lancar juga. Kami berhenti sebentar di rest area KM 19 untuk bertemu dengan Mas Suardjono yang sudah pulang duluan dari Tapaktuan. Ada titipan yang saya bawa dari Kota Naga itu.

Setelah bertemu dengan Mas Suardjono kami melanjutkan perjalanan pada pukul 14.45. Tol Cikampek lancar sekali. Tidak ada kejadian macet kayak tahun-tahun sebelumnya atau kejadian macet liburan akhir tahun 2015 yang begitu parahnya sampai Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono mengundurkan diri sebagai konsekuensi tidak bisa mengantisipasi kemacetan karena liburan itu.

Begitu pula saat memasuki pintu tol Cikopo menuju Palimanan lancar juga. Alhamdulillah. Karena sejak 13 Juni 2016 tidak ada transaksi di gerbang tersebut. Sampai pintu tol Palimanan juga lancar. Tahun lalu yang bikin macet adalah pintu tol Palimanan. Kami menikmati perjalanan itu. Sampai di sana masih sore dan waktu berbuka masih lama. Akhirnya kami meneruskan perjalanan.

Menentukan Pilihan

Sembari menuju timur, kami masih berunding untuk keluar di pintu tol mana. Apakah di Kanci, Pejagan, atau Brebes Timur? Kabar yang diterima tadi pagi oleh tetangga kami adalah ia terjebak di tol Brebes Timur selama 24 jam lebih. Berangkat Sabtu malam dari Citayam tapi Senen pagi masih di tol Brebes Timur. Luar biasa parahnya.

Saya berketetapan untuk keluar di pintu tol Kanci agar bisa lewat pantura. Separah-parahnya macet di Pantura perasaan kita masih bebas. Tidak merasa terpenjara. Di sana banyak orang yang jual makanan dan minuman, banyak pilihan SPBU, banyak masjid atau musholla, banyak toilet, dan banyak tempat untuk beristirahat.

Kami berusaha menghubungi nomor telepon Info Tol untuk mencari tahu kondisi pintu tol Pejagan dan Brebes Timur. Tapi nomor telepon yang kami hubungi selalu mengatakan tidak tahu kondisi jalan yang tidak dikelola oleh operator jalan tolnya.

Ya sudah kami lanjut dan berketetapan untuk keluar di pintu tol Kanci. Iseng saya tanya kepada petugas di loket pintu tol. Jawaban mereka mencengangkan. Kata mereka Brebes Timur tidak ada kemacetan yang parah seperti kemarin, sekarang yang macet malah pantura. Mendengarkan jawaban itu, kami putar arah untuk masuk lagi ke jalan tol. Dan jawaban yang sama dari petugas loket saat kami memasuki pintu tol Kanci. Kami terlena dengan kemudahan dan kelancaran ratusan kilometer jalan tol sejak dari Sentul sampai Kanci. Padahal “bencana”dimulai dari saat kami memasuki kembali pintu tol Kanci ini.

Kemacetan Parah Kanci-Pejagan

Jalan tol Kanci-Pejagan itu masih lengang ketika kami memasukinya. Tapi itu jebakan. Tidak sampai lima kilometer kami menikmati kelengangan itu buntut kemacetan sudah mulai tampak di KM 222. Waktu itu saya tidak tahu apa penyebab kemacetannya. Tapi mau tidak mau kami harus melaluinya. Bahkan ketika azan Magrib berkumandang.

Di pinggir jalan penuh dengan mobil yang berhenti. Saya meminggirkan mobil untuk berbuka puasa. Alhamdulillah kami masih bisa berpuasa walau kami adalah musafir. Kami membuka bekal dan menikmati berbuka puasanya. Setelah berbuka puasa, kami merencanakan untuk salat jamak qasar di Brebes saja. Ternyata rencana itu tidak pernah kesampaian.

Karena beberapa saat setelah kami melaju kembali, jalan sudah stuck. Mobil benar-benar berhenti dan banyak yang sudah mematikan mesin mobilnya. Lama kami menunggu. Akhirnya kami putuskan untuk salat Magrib dan Isya di tengah jalan tol. Di sela-sela mobil yang masih berhenti menunggu.

Saya putuskan agar anak-anak dan om mereka untuk salat terlebih dahulu dan saya bertugas menjaga agar tidak ada orang yang lalu lalang di depan mereka. Kami gelar sajadah di jalan dan mulai salat. Ketika saya akan salat, mobil di depan sudah mulai bergerak akhirnya saya menghentikan salat dan mulai melaju kembali.

Tetapi lajuan itu tetaplah tidak lancar. Masih tersendat-sendat menyusuri meter demi meter. Insya Allah saya masih kuat untuk menyupiri tetapi yang saya khawatirkan adalah keinginan buang air kecil anak-anak. Belum ada yang kebelet. Alhamdulillah di antara Kanci Pejagan itu ada rest area tanpa SPBU. Kami berhenti di sana untuk salat dan menunaikan hajat. Itu jam 10 malam.

Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan kembali. Kondisi jalanan masih tetap macet. Dan saya mulai mengantuk. Tidak ada teman mengobrol karena yang lain sudah pada kecapekan dan sudah mulai tidur. Angka 200 meter—jarak antarplang penunjuk jarak di jalan tol—benar-benar dilalui lama sekali. Pergerakannya lambat.

Saya berusaha sabar dan memperbanyak istigfar. Ada juga gunanya berlatih Freeletics pada saat sekarang. Di Freeletics saya dilatih untuk sabar menghadapi dan melalui repetisi gerakan yang banyak dan melelahkan itu. Pelan-pelan yang penting selesai. Karena repetisi itu pasti ada akhirnya. Begitu pula kondisi yang melelahkan ini pasti ada akhirnya. Pesta selalu ada akhirnya. Kesedihan pun pasti akan ada akhirnya. Tidak selamanya demikian. Begitu pula dengan jarak yang begitu lama untuk dilalui ini. Pasti akan berakhir.

Di tengah kantuk yang mendera dan saya tahan ini saya masih melajukan mobil meter demi meter. Ketika mobil di depan kami melaju, kami ikut melaju. Ketika mobil di depan berhenti, kami pun berhenti. Di saat-saat itulah saya manfaatkan untuk memejamkan mata sejenak. Terkadang sampai diklakson oleh mobil di belakang kami, karena ternyata mobil di depan kami sudah bergerak jauh.

Hal yang sama juga dialami oleh mobil di depan kami. Ngantuk juga. Ya saya klakson agar terbangun dan segera mengikuti pergerakan mobil di depannya yang sudah melaju lagi. Begitulah adanya. Sampai kantuk saya tiba-tiba saja hilang dan berganti dengan semangat untuk bertahan dan melalui semua itu.

Saya ditemani oleh radio dan kaset-kaset. Kaset murotal, Opick, ST-12, diputar sampai habis dan diulang-ulang.

Sahur Pakai Apa?

Sampai waktunya sahur pada jam setengah empat pagi. Kami sepakat untuk terus puasa di hari terakhir. Bekal yang kami bawa buat berbuka, nasinya tinggal sedikit tapi lauk pauknya masih banyak. Saya bilang yang penting anak-anak saja dulu. Saya juga sudah terbiasa tidak makan nasi. Insya Allah tidak masalah.

Sebenarnya kami jarang membawa bekal saat mudik, biasanya kami mengandalkan untuk makan di tempat-tempat makan yang ada. Tetapi sejak tahun lalu kami mudik bawa bekal dan ternyata banyak manfaatnya. Apalagi sekarang. Namun kayaknya perlu diperhatikan untuk membawa bekal buat sahur juga sebagai antisipasi kejadian seperti ini. Terjebak macet yang lama.

Kami sahur sambil jalan. Mobil tidak berhenti. Saya disuapin sama istri. Saya sarankan kepada anak-anak untuk minum air putih yang banyak. Ternyata air minum satu kardus itu sudah habis. Sebagian dipakai buat berwudu pada saat salat Magrib dan Isya sebelumnya. Kami mencari-cari penjual air minum dan berhasil. Alhamdulillah acara sahur selesai.

Kemudian papan penunjuk jarak di tol menunjuk angka 247 pada pukul empat pagi. Aih, sebentar lagi pintu tol Pejagan. Kami berniat untuk keluar di pintu tol Pejagan agar bisa salat Subuh di rumah saudara di Ketanggungan Timur.

Tapi jelas tidak mungkin. Ternyata yang menyebabkan kemacetan sepanjang 27 kilometer itu adalah karena semua mobil mau keluar di Pejagan. Orang sudah trauma untuk pergi keluar Brexit. Orang sudah lelah dengan terjebak di jalan tol. Bisa jadi karena banyak yang sudah kehabisan bensin. Dan jelas kami tidak bisa menyalip antrian untuk keluar di pintu tol Pejagan. Pun, dalam antrian itu mobil sudah tidak ada pergerakan lagi. Akhirnya saya putuskan untuk tetap melaju sampai Brexit. Mengejar waktu salat Subuh di pintu tol Brexit.

Jalan tol dari Pejagan ke Brexit benar-benar lengang. Padahal sehari sebelumnya adalah neraka dan menjadi biang kemacetan sepanjang 35 kilometer. Di rest area di antara Pejagan Brexit kami berhenti untuk salat Subuh.

Rest area-nya kumuh karena banyak tumpukan sampah dan becek. Mushollanya kotor dan airnya pun asin. Toilet jangan dibayangkan lagi, gelap dan kotor. Kami hanya salat Subuh di sana. Yang penting kewajiban telah selesai dilaksanakan.

Sebelum sampai di pintu tol Brexit, saya mengontak saudara istri yang bekerja di sana. Sesampainya di sana kami langsung masuk ke area parkir dan toiletnya yang bersih itu.

Menurut saudara kami ini, pengendara tol sudah dilarang masuk ke rest area dan area parkir pintu tol Brexit karena ketika dibuka di hari kemarin, sampah menumpuk dan menjadi biang kemacetan lagi karena keterbatasan lahan parkir. Apalagi banyak pejabat yang datang ke sini untuk memantau lalu lintas. Kami beruntung dapat memasukinya dan beristirahat sebentar. Setelah selesai semua dan berterima kasih atas pertolongan saudara kami itu, kami lanjut lagi.

Kalau dihitung-hitung maka kami berada di jalan tol ini selama 12 jam hanya untuk menyusuri 27 km yang melelahkan itu. Syukurnya kami terbantu malam hari. Saya tidak membayangkan kalau kejadiannya di siang hari seperti hari sebelumnya. Panas yang menyengat dan kekhawatiran adanya mesin yang overheating.

Bersambung ke: Cerita Mudik (2): Brexit Sampai Akhir Perjalanan.

 

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

20 Juli 2016

Foto dari republika.co.id

 

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.