Masih ingat cerita saya gara-gara ngeper sama tanjakan jadi saya pindah rute lari eh malah ketemu herder dan anjing yang mau mengejar saya? Sekarang saya enggak mau lagi kayak begitu.
Pagi-pagi ini saya harus memilih latihan Kronos Freeletics atau running. Saya pilih berlari. Karena mumpung enggak setiap saat ada di daerah Situ Gunung Gede Pangrango ini. Sekalian juga karena acara hari ini belumlah dimulai.
Jam tiga sudah terbangun karena Ustadz Eko Novianto sudah bangun. Mungkin juga karena suara burung nokturno terdengar begitu kencang dari lembah di sebelah bawah tenda kami. Saya tidur lagi. Jam setengah lima azan Subuh di sini. Kalau di Tapaktuan satu jam lagi baru azan Subuh.
Setelah zikir Ustadz Eko Novianto yang satu tenda dengan saya di Camp Tanakita ini tilawah, saya ambil pemanasan. Benar-benar mau lari. Tapi masih gelap banget. Jalanan sekitar camp masih bebatuan. Jadi saya baru ancang-ancang star lari di pintu gerbang Situ Gunung sekitar pukul 05.30. Ini persis di ketinggian 1062 mdpl (meter di atas permukaan laut).
Udaranya masih dingin, kabut masih menggenang di ketinggian, harum tanah kena hujan menyeruak di hidung, angin enggan berhembus, dan gerimis. Supaya keringat cepat kering jaket saya copot, saya hanya memakai kaos Reebok, celana panjang training, kaos kaki pendek, jam Garmin, serta sepatu Adidas kw, entah kw yang ke berapa.
Saya mulai menyusuri jalanan menurun, setidaknya ini enggak bikin sesak nafas. Saya turun lima kilometer ke bawah. Melewati kantor desa dan kantor polsek Kadudampit dan terus ke bawah. Melewati juga Icuk Sugiarto Training Camp (tempat latihan bulu tangkis) dan terus ke bawah. Sampai pas lima kilometernya di ketinggian 752 mdpl. Waktu yang ditempuh masih di bawah 30 menit, tepatnya 29:06.
Lalu sesi nightmare-nya dimulai saat saya harus balik lagi ke atas. Melelahkan memang tapi apapun kondisinya, berapa lama pun waktunya saya tak boleh menyerah, saya tak boleh berhenti.
Gerimis belum usai saat saya mulai naik. Saya jabanin terus meter demi meter ketinggian. Lagi membayangkan kesengsaraan para pelari yang ikut Bromo, Sentul, atau Gede Pangrango Ultra Run yang ekstrim lari lebih dari 42 km dengan kontur tanah naik turun.
Yang saya jabanin sekarang ini belum apa-apanya. Kalau lari di ketinggian begini saya jadi inget nama satu orang ini dari DJP (Direktorat Jenderal Pajak) Runners: Bambang Tejomurti. Pelari DJP yang handal dan sering mengikuti berbagai even ultra run.
Tiga kilometer naik insya Allah masih bisa nafas dan dengkul saya masih juga kuat. Dua kilometer ini lebih ngeri lagi. Apalagi satu kilometer terakhir. Ini benar-benar naik tanpa jeda tanah datar, tanpa bordes.
Terlihat dari statistik Garmin, kalau di kilometer keenam dan ketujuh pace saya di 7:14 dan 7:56. Sedangkan di kilometer kedelapan dan kesembilan
Pace saya di 8:21 dan 8:55. Semakin Lambat. Apalgi di kilometer kesepuluh dengan pace siput 10:00, wajar karena saya harus menaiki ketinggian 97 meter.
Biar dah, saya tetap jabanin walau panjang langkahnya jadi seperempat panjang lari biasa saya. Naik, naik, naik, ngos, ngos, ngos, dan gerbang besar pintu masuk wana wisata situ gunung ini muncul. Saya serupa angkot merah yang naik kesana pakai gigi satu.
Dan akhirnya saya finis di kilometer 10. Alhamdulillah masih hidup, masih nafas, masih bisa finis strong. Benar-benar lari di ketinggian 1100 mdpl ini bisa dilakonin juga. Pagi ini cuma bisa segitu bae. Walau waktu yang ditempuh lebih dari satu jam. Pasnya 01:12:14.
Kata Bambang Tejomurti, ada strategi agar bisa lari elevasi di bawah satu jam. Lima kilometer pertama dipacu dengan pace 4 menit/km. Baru ketika naik pakai pace 8 menit/km. Iya juga yah. Pada saat turun dipacu benar lalu ketika naik sebisanya dan dijaga dalam pace siput tetapi di angka 8 menit/km.
Ini pada dasarnya di lima kilometer pertama saya harus berlari dalam jangka waktu di bawah 20 menitan. Dan di lima kilometer terakhir waktu yang ditempuh adalah harus bisa dalam jangka waktu 40 menitan.
Pada kenyataannya di lima kilometer pertama saya memiliki waktu kurang sedikit dari 30 menitan dan di lima kilometer itu waktu yang saya butuhkan 42 menit 26 detik. Ini berarti saya harus banyak mengejar ketertinggalan di lima kilometer pertama dan sedikit perbaikan di lima kilometer terakhir.
Barangkali yang membuat saya tidak memacu kencang di lima kilometer pertama adalah hanya untuk menghemat tenaga agar bisa lari naik dengan kuat.
‘Ala kulli hal dan yang terpenting, niat naik ojek kalau enggak kuat akhirnya enggak jadi. Setelah lari ini, barulah bisa kembali lagi fokus ke acaranya. Acara camping manja.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Situgunung, 11 Februari 2016