RIHLAH RIZA #48: Kita Sama-Sama Gigit Jari


Entah sampai kapan rihlah ini menemukan tempat perhentiannya. Mungkin sampai ia menemukan tempat yang pas untuk berkalang tanah? Wallahua’lam bishawab. Hanya kepada-Nyalah kembali semua urusan. Bukan manusia. Bukan juga kamu.

~~~R. Almanfaluthi

Setelah acara forum itu usai, kami berempat—para fiskus yang ditempatkan di Aceh—menyempatkan diri pergi ke Senggigi. Pantai yang konon indah dan menawan. Belumlah dikatakan pergi ke Lombok kalau tidak pergi ke pantai itu. Begitulah kata para pujangga pelancong.

Suatu malam dahulu kala, saya sempat menonton sebuah film televisi. Lokasi sutingnya di pantai Senggigi itu. Ada adegan dua tokoh pemeran utama film itu menyusuri tebing dan pantai. Saya terpukau. Pemandangannya luar biasa indah. Sejak saat itu saya setidaknya berkeinginan pergi ke sana. Tapi itu jauh sebelum penempatan saya di Tapaktuan.

Dan betul, ketika kami tiba di sana, di Pantai Senggigi itu, saya sempat berujar kepada teman-teman satu perjalanan, “Ini mah Tapaktuan banget, Gerutee banget, Lampuuk banget.” Menyebut semua lokasi wisata indah di sekitaran Aceh Selatan, Aceh Jaya, dan Aceh Besar. Bahkan saya bisa mengatakan kalau semua tempat yang saya sebut ini tidak kalah menariknya dibandingkan dengan yang ada di Lombok Barat ini.

Yang membedakan adalah penataan dan wanita telanjangnya. Jalan menuju tempat yang kami kunjungi—Pantai Senggigi, Pantai Malimbu, dan Pantai Nipah—semua tertata rapi. Kanopi pepohonan lebat menaungi jalan raya. Saya seperti menyusuri jalanan di Subang, Jawa Barat.

Sedangkan poster wanita nyaris telanjang dalam sebuah papan iklan besar yang melintang di atas jalan pun membedakannya. Aceh mana mungkin akan ada seperti itu. Lombok sepertinya menggeliat ikut menjadi daerah yang merebut kue pariwisata tanah air. Pemerintah daerahnya perhatian betul. Aceh belum ada apa-apanya.

Saya sedikit memahami dilema yang timbul dari upaya pemerintah daerah menarik wisatawan sebanyak-banyaknya dengan upaya penegakan syariat di Nanggroe Aceh Darussalam. Sebenarnya Aceh tidak mesti harus membuka diri seperti Lombok dengan Gili Trawangan-nya yang membebaskan bule-bule wanita untuk memamerkan auratnya.

Cukup dengan menyediakan fasilitas yang memadai untuk para wisatawan itu saja sudah bagus. Penginapan, peta wisata, pengamanan, transportasi, pengembangan potensi ekonomi dari cinderamata, adalah beberapa hal yang mesti diberdayakan dan disediakan.

Kepulauan Simeulue pun memiliki potensi wisata pantai dan surfing-nya yang bagus. Kabar-kabarnya bahkan ada daerah terisolir di sana dengan bule-bule yang bebas berkeliaran menggunakan bikini saja. Hal ini belum terkonfirmasi oleh saya secara jelas.

Yang pasti ada bule rela menjadi Warga Negara Indonesia hanya karena melihat keindahan Simeulue dan potensi ekonomi yang akan muncul. Makanya ia mempromosikan dan menjual Simeulue melalui internet. Dan laku!

Menurut saya, membuka daerah wisata tanpa izin buka aurat itu lebih baik daripada memberikan ruang kebebasan walaupun nantinya uang yang akan didapat begitu banyak. Tapi sesungguhnya itu uang yang tidak berkah. Cepat habis dan tidak menambah kebaikan. Ada harga mahal yang harus dibayar oleh masyarakat Aceh kalau membuka diri seperti itu.

Ah, walau sudah begitu tidak asing dengan pemandangan pantai dari ketinggian, tetap saja lisan ini tak henti-henti berucap kata Subhanallah ketika berdiri di atas ketinggian di Malimbu Satu. Sebuah tebing dengan pagar besi biru yang menyuguhkan pemandangan pantai dari ketinggian. Indah memang. Apalagi di Malimbu Dua, Gili Trawangan terlihat dari jauh. Perahu-perahu dengan layar terkembang banyak mengisi ruang-ruang kosong laut biru nan memukau ini.

Waktu itu Pantai Nipah masih sepi. Kami sesekali berfoto bersama dengan latar belakang pohon, pantai, perahu, dan laut biru. Pantai Nipah ini hampir menyamai Pantai Lampuuk di Aceh Besar itu. Tapi ombaknya kecil, pasir pantainya rada hitam, warna hijau toskanya tidak tampak. Pantai Lampuuk jauh lebih keren.

Kami tidak pergi ke Gili Trawangan. Waktunya yang tidak cukup karena siang harinya kami harus take off. Ditambah dengan peringatan seorang teman kalau pergi ke sana risiko hafalan Alqurannya bisa hilang. Terima kasih atas peringatannya walaupun sebenarnya tidak akan merusak hafalan saya karena hafalannya sedikit, itu-itu saja. Yang rusak mungkin otak saya. Ha ha ha ha… (Lucu?? Ndak!)

Selagi menuju Bandara kami sempatkan diri mampir ke toko kaos Exotic. Saya tidak beli kaosnya, cuma suvenir gelang-gelangan buat Kinan. Kaos sudah saya beli di toko lainnya buat Mas Haqi, Mas Ayyasy, dan Kinan.

Setelah dari toko kaos itu kami pergi ke tempat oleh-oleh khas Lombok: rumput laut dalam bentuk dodol dan manisan untuk teman-teman di Seksi Penagihan KPP Pratama Tapaktuan. Kami beli di tokonya langsung dengan merek terkenal di kota itu. Kalau beli di toko lain harganya bisa berselisih jauh. Oh ya, kalau mau beli jangan di malam hari, tokonya tutup, bukanya siang saja.

Dengan tambahan oleh-oleh itu bawaan saya menjadi bertambah banyak. Terutama bawaan dari Eni Susilowati, teman di Kantor Wilayah DJP Nusa Tenggara. Apa coba? Sate Bulayak, sate khas Lombok. Sate ini bahkan bisa dimakan keesokan harinya. Makanya Eni rela ngasih satu besek bambu untuk saya bawa ke Citayam. Alamak jang…ini sate enak bener yak.

Eni juga yang mengantarkan saya dan teman-teman pergi ke warung pinggir jalan untuk menikmati ayam goreng dan bakar Taliwang di malam kedua kami di Kota Mataram. Cocolan bumbunya luar biasa. Terima kasih En.

Setelah itu supir yang mengantarkan kami mengarahkan mobilnya ke toko mutiara. Kami ikut saja. Melihat bedanya mutiara air tawar dengan mutiara air laut. Yang terakhir ini bentuknya lebih besar daripada mutiara air tawar. Harganya pun memang mahal buat orang pajak seperti kami ini. Saya tidak membeli sebutir pun. Mungkin orang Lombok pun akan sama terperangahnya kalau mendengar harga batu asli Aceh seperti idocrase solar misalnya. Kita sama-sama gigit jari.

Dan siang itu kami mampir ke rumah makan yang saya tak sempat mencatat namanya. Yang saya ingat di satu dinding rumah makan ini terdapat foto-foto daerah wisata di Lombok. Dan di bagian dinding lainnya foto-foto para artis yang sempat makan di rumah makan ini. Yang saya ingat wajah satu ini: Aura Kasih, wak wauwww….

Kata sang supir kangkung plecingnya enak. Ok, kami coba. Kangkung plecing ini merupakan pusaka kuliner khas Lombok selain ayam Taliwang itu. Kangkungnya pun beda. Batangnya besar daripada kangkung yang ada di Pulau Jawa. Kangkung itu ditaburi sambal terasi, di tambah kacang tanah goreng, tauge, kacang panjang, serta urap.

Kami juga menjajal sup ikannya. Semuanya nyaris sama: pedas semua. Juga jangan lupa ditambahkan kata “banget”. Pedas banget. Tapi kata sang supir ini pedas yang biasa. Sepertinya level pedas kami beda dengan kebanyakan orang Lombok.

Setelah itu, kami pergi ke Desa Sukarara. Ke sebuah perkampungan penenun kain tradisional Lombok. Tepatnya ke sebuah rumah yang menjual kain hasil tenunan. Di halaman parkirnya ada sebuah gubug tradisional Lombok. Seperti sebuah lumbung. Para pengunjung bisa memakai baju adat Lombok berupa kain dan topi khas Lombok yang disediakan pemilik rumah lalu berfoto di atas gubug itu.

Di teras rumah dipajang kain tenunan berwarna-warni yang sudah jadi. Yang menarik di teras itu pun para penenun mendemonstrasikan cara mereka membuat kain. Waktu itu ada empat wanita penenun. Salah satu dari mereka ada yang tua sekali. Tentu kerjanya lebih lambat daripada yang masih muda. Sang nenek terlihat begitu susah payah untuk memilih dan menenun benang. Sedangkan yang muda tampak begitu cekatan. Kata pemandu, butuh waktu satu bulan untuk menghasilkan kain tenun songket. Harganya pun bisa ditebak.

Mengakhiri perjalanan di Pulau Lombok ini bolehlah awak sedikit meninggalkan jejak dengan memakai sapu, atau udeng kata orang Bali. Sebuah ikat kepala atau blangkon khas Lombok Barat. Cheeese….

Satu hal saja, setelah semua itu, begitu banyak sesuatu yang harus saya syukuri. Pula, hikmah itu akan selalu muncul belakangan. Dari Tapaktuan ini rihlah itu berlanjut ke sebuah Pulau 1000 Masjid. Sebuah perjalanan yang tidak pernah disangka. Entah sampai kapan rihlah ini menemukan tempat perhentiannya. Mungkin sampai ia menemukan tempat yang pas untuk berkalang tanah? Wallahua’lam bishawab. Hanya kepada-Nyalah kembali semua urusan. Bukan manusia. Bukan juga kamu.

Malimbu Satu.Pak Sabilal Rosyad, Didin Dumaeli, dan Saya.


Dari ketinggian di Malimbu Satu.


Ini mah Tapaktuan banget.


Apalagi yang ini.


Beli-beli…beli apa Pak Rizaldi?

Gili Trawangan dari Jauh.

Di Pantai Nipah.

Di sebuah lumbung.

Penenun Tua.

Kain tenunan itu.


Awak geutanyoe.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 03 November 2014

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.