RIHLAH RIZA #47: Nama-nama yang Ditakdirkan


image

Tugu Bundaran Giri Menang

Dalam sebuah jeda persidangan di Pengadilan Pajak, Sang Hakim Ketua bernostalgia dengan masa lalunya. Dari atas meja hijaunya, ia mengajak bincang-bincang dengan salah satu pemeriksa yang kami–para petugas banding–undang. Ia menyebut sebuah nama: Praya. Sebuah daerah tempatnya dulu bertugas sebagai pegawai pajak. Nama tempat yang saya baru ketahui dan lupa entah berada di mana. Tapi sejak itulah nama itu selalu teringat-ingat di benak saya. Bertahun-tahun kemudian saya ditakdirkan menginjakkan kakinya di sana. Hari ini.


**

Sepanjang perjalanan dari Bandar Udara International Lombok Praya menuju Mataram, Pak Ma’irah tak henti-hentinya menceritakan suasana Lombok. Mulai masalah kemarau yang sedang melanda sejak Ramadhan lalu, pariwisata, perkembangan kota, sampai mutiara. Dengan pengalaman merantaunya ke mana-mana bahkan sampai ke Malaysia supir taksi avanza ini begitu terbuka kepada saya yang pertama kalinya menginjakkan kaki ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini. Dan Mataram merupakan kota paling timur yang pernah saya kunjungi setelah Balikpapan di tahun 2005.

Pak Ma’irah menawarkan dirinya untuk menemani saya ke tempat penjual cinderamata terutama mutiara asli. Tawaran yang mestinya tak ditolak jika saja tubuh ini tidak minta haknya untuk beristirahat. Pun, acara yang harus saya hadiri selama empat hari ini sama sekali belum dimulai. Sebuah forum yang katanya eksekutif: Forum Eksekutif Penagihan. Forum yang dihadiri oleh Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan,  dan Penagihan Pajak, Kepala Seksi Bimbingan Penagihan, dan Kepala Seksi Penagihan dari 21 Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Untuk tahun ini peserta forum penagihan adalah para pejabat eselon IV ke atas. Di tahun-tahun sebelumnya adalah para Juru Sita Pajak Negara. Penyelenggaraan forum di Lombok ini merupakan forum eksekutif gelombang kedua. Gelombang pertama dilaksanakan di Malang bulan Mei lalu kalau tidak salah. Dari susunan acara yang ada, acara akan berlangsung padat mulai Selasa (28/10) sampai Jumat (31/10) besok, dari pagi sampai malam. Waktu luang ada ketika acara benar-benar selesai di Jumat siang itu sampai hari Sabtunya. Dan bagi saya lebih baik langsung pulang ke Citayam daripada melancong ke mana-mana. Waktu bertemu dengan keluarga lebih berharga daripada untuk itu semua. Tersebab lain adalah Minggu besok saya harus berangkat kembali ke Tapaktuan.

Saya sudah tak aneh melihat sepinya jalan menuju Mataram. Sepi yang sudah menjadi keseharian di Tapaktuan. Tapi sudah jelas bedanya Tapaktuan dengan Mataram. Ibu kota provinsi NTB ini terang lebih ramai daripada Tapaktuan. Tak layak dibandingkan sebenarnya. Kata orang pinter, “Gak epel to epel.” Barulah dengan Kota Banda Aceh, kota ini bisa disandingkan. Di sepanjang perjalanan menuju Mataram ini saya juga melihat ornamen bangunan gapura yang familiar. Ya, tepat sebulan lalu saya menulis tentang iluminasi dalam Mushaf Alquran Gumi Patut Patuh Patju. Ornamen itu mengingatkan saya pada salah satu iluminasinya: lumbung. Kini saya berada di suatu daerah yang menerbitkan mushaf itu: Lombok Barat. Sudah takdirnya memang.

Pak Ma’irah bercerita banyak di sepanjang perjalanan. Terutama keberagaman suku dan agama di Lombok Barat yang terpelihara dengan baik. Bahkan dia cerita pula tentang Senggigi dan Gili Trawangan. Dua objek tujuan wisata yang sangat terkenal. Buat mengusir jenuh tak salah saya memilih angkutan ini dari bandara. Sebenarnya untuk menuju Mataram, para pelancong juga bisa menggunakan Bus Damri. Namun kali ini saya ingin gampangnya saja jadi memilih taksi.

Saya teringat di tas saya ada 500 gram kopi bubuk khas Aceh yang akan saya berikan kepada teman saya di Kantor Wilayah DJP Nusa Tenggara. Semoga pesanannya ini mampu mengusir rasa penasarannya dengan kopi Aceh.

Tugu besar yang biasa disebut Tugu Bundaran Giri Menang dan proyek jalan tol menuju Senggigi yang dalam proses pengerjaan tertinggal jauh di belakang. Pak Ma’irah menyerahkan kartu namanya jika saya ingin menghubunginya. Pesan terakhir darinya kepada saya sebelum masuk lobi hotel adalah jangan sembarangan beli suvenir mutiara di pinggir jalan karena banyak yang abal-abal. Sebuah pesan yang saya terima dengan sepenuh hati.

Hati yang masih merindu akan sebuah nama: Kinan Fathiya Almanfaluthi.

image

image

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Mataram, 27 Oktober 2014

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.