RIHLAH RIZA #49: Perempuan Aceh, Ayo Jangan Mau untuk…



Teungeut hai aneuk jantong ayahanda
Yah dodo sayang lam ayon ija
Sayang sayang jantong ayahanda
Dodo sayang lam ayon ija

(Rafly~Si Bijeh Mata)

Dari Medan, kijang ini menembus kegelapan malam. Hawa Berastagi yang dingin masuk dari sela-sela kaca yang terbuka. Saya merapatkan jaket dan membetulkan topi. Orang di sebelah saya mengeluarkan sebatang rokok, menyalakan korek api, dan membuat bara pada barang sembilan sentimeter itu. Lalu kepulan asap rokok memenuhi kabin mobil. Saya menghela nafas dan menegakkan tubuh. “Maaf Pak, bisa matikan rokok itu?” tegur saya tanpa tahu bahwa orang itu sejatinya adalah anggota Polri.

Ada tujuh orang berada dalam mobil travel yang akan mengantarkan para penumpangnya ke Tapaktuan. Jok paling belakang, tempat duduk aaya saat itu, adalah tempat duduk yang banyak dihindari oleh para traveller. Sebabnya karena bercampur dengan banyak barang dan dengkul yang tak bisa diluruskan selama sembilan jam perjalanan ke depan. Iso remek iki awak.

Pak Polisi yang memakai kaos dengan lambang Tri Batra ini mau juga mematikan rokoknya. Syukurlah, sepanjang perjalanan nanti saya tidak akan tersiksa dengan asap yang menyesakkan dan tidak menyehatkan ini. Ini kali pertama saya menegur orang merokok di mobil travel.

Untuk kali keduanya pada saat perjalanan dari Tapaktuan menuju Medan. Waktu itu saya duduk di bangku baris kedua di belakang supir. Seorang laki-laki separuh baya dengan santainya menyalakan rokok. Saya tegur namun dia tidak terima, sambil mengomel dia masih melanjutkan merokok.

Saya biarkan untuk menghabiskan batangan rokoknya. Nanti kalau dia masih saja merokok saya akan kembali menegurnya walau saya tahu penerbangan perjalanan ini perjalanan dengan asap rokok. Buktinya supir travel selalu mengasapi ruangan kabin dengan asap rokok. Tapi ini pengecualian dan penoleransian saya yang luar biasa. Apa soal? Kalau supirnya mengantuk bagaimana? Saya tidak akan pernah sampai ke tujuan. Rokok teman sejati supir travel.

Dulu saya pecandu rokok. Kemudian sembuh dengan kekuatan tekad, pergaulan, dan kehendak Allah. Lalu saya sampai pada tingkatan membenci asap rokok. Tetapi ketika ditempatkan di Tapaktuan, level penolerasian itu menurun drastis. Saya tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sekadar untuk menutup hidung atau mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. Karena asap rokok ada di mana-mana. Asap rokok itu menempel di muka, pakaian, dan alat pernafasan saya.

Hampir semua laki-laki Aceh itu perokok. Kalau saya bisa katakan bahkan sembilan dari sepuluh laki-laki Aceh itu pecandu rokok. Ini bukan dari riset yah. Dari pengamatan saya yang bodoh ini mah. Kalau mau lebih pasti silakan lakukan penelitian sendiri.

Saya mencoba googling dan mengutip pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, Dr. Media Yulizar, yang dimuat oleh media nasional Tempo.co pada akhir 2011. Yulizar mengatakan, “Survei mengatakan delapan dari sepuluh laki-laki dewasa di Aceh aktif sebagai perokok.” Perkiraan saya tidak jauh dari hasil survei itu.

Para pecandu rokok ini mulai dari remaja sampai yang tua bangka. Saya pernah menjumpai di sebuah warung kopi di Tapaktuan pada waktu malam minggu, anak-anak belasan tahun dengan enaknya pal-pul pal-pul, pas-pus pas-pus. Asap rokoknya menguar kemana-mana bergabung dengan asap dari perokok lain. Otomatis saya terjebak di sana.

Apakah tidak ada larangan merokok kepada remaja itu? Bagaimana mau melarang kalau bapaknya merokok, saudara-saudaranya merokok, gurunya merokok, para pemimpinnya merokok, dan ulamanya merokok? Apalagi kalau sudah mendengar anekdot bencong saja merokok, masak kita enggak.

Seorang teman menceritakan pengalamannya melihat seorang anak yang sedang merokok di rumahnya dan ketahuan sama bapaknya. Sang Ayah cuma bilang begini, “Jangan merokok di sini.” Jadi boleh merokok asal jangan di rumah. Tidak tegas larangan merokoknya buat anak-anak yang masih di bawah umur itu.

Merokok pun biasa saja dilakukan di depan anak-anak kecil mereka. Anak-anak sudah pasti terpapar asap rokok itu. Tidak ada perasaan bersalah bahwa mereka meracuni anak-anaknya sendiri. Sepertinya para perempuannya pun kebanyakan menoleransi. Saya pun belum menemukan perempuan Aceh yang menegur penumpang travel yang merokok di dalam mobil.

Tidak ada tempat yang akan membuat mereka para laki-laki itu berhenti sejenak untuk merokok. Di dalam mobil, ruangan ber-AC, kantor, masjid, atau di mana dan saat apapun. Hanya di SPBU, khutbah Jumat, dan salat saja tidak.

Pernah suatu ketika Wajib Pajak datang ke meja saya untuk membicarakan mengenai utang pajak. Di tengah pembicaraan itu ia menyalakan rokok, mengepulkan asap dari mulutnya, dan membuang abu rokoknya di gelas kopi saya yang masih tersisa. Semua dilakukan tanpa ada rasa bersalah walau sudah jelas di atas kepalanya AC split sedang menyala dan hembusannya begitu terasa. Apalagi gelas kopi itu

Merokok sudah menjadi budaya di tanah rencong ini. Saya yakin pabrikan rokok sudah menjadikan daerah ini sebagai pasar potensialnya. Mengutip kembali Dr. Media Yulizar, secara nasional Provinsi Aceh berada di urutan 15 sebagai provinsi dengan perokok terbanyak. Sehari perokok itu bisa menghabiskan 18 batang. Itu di tahun 2011.

Dari hasil googling itu saya mendapatkan berita lain lagi. Sumbernya dari okezone.com. Berita tertanggal 31 Mei 2013 memuat data sebagai berikut. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI, pada 2010 perokok aktif di Provinsi Aceh mencapai 37,1 persen, berada di atas rata-rata nasional yang hanya 34,7 persen. Rata-rata mereka mengisap 10 hingga 30 batang rokok per hari.

Bahkan Badan Pusat Statistik Aceh—mengutip kembali dari berita itu—mengungkapkan bahwa di tahun 2012 rokok ikut menyumbang andil besar terhadap kemiskinan. Pengeluaran rokok menjadi pengeluaran terbesar setelah beras dan melebihi pengeluaran untuk membeli daging. Coba kita bayangkan.

Sudah jelas merokok itu menjadi bahaya bagi kesehatan masyarakat Aceh. “Stroke, penyakit jantung, hipertensi, diabetes itu sangat tinggi di Aceh. Salah satu penyebabnya adalah rokok,” ujar konsultan Kesehatan Anak di RSU Zainal Abidin Banda Aceh, Teuku Muhammad Thaib kepada Okezone.com lagi.

Walaupun sudah disadari oleh pemerintah provinsi dan kabupaten dengan mengeluarkan qanun tentang larangan merokok di tempat-tempat tertentu, kebiasaan buruk ini tetap masih tinggi. Perlu kampanye terus menerus dari para pihak untuk menghentikan kebiasaan ini dan yang pasti adalah keteladanan dari para orang tua.

Jangan dilupakan perlunya sikap tegas para perempuan Aceh dalam rangka penyelamatan generasi penerusnya dengan tidak memilih laki-laki Aceh yang tidak merokok. Perempuan Aceh, mulailah dengan tidak mau diminta membelikan rokok oleh para lelakinya. Bisa? Hehehe…ini pandangan saya saja sih.

Saya yakin para lelaki Aceh mampu berjihad untuk tidak merokok buat gadis idamannya ketika sang gadis mensyaratkan lelaki yang akan melamarnya untuk berhenti merokok. Apalagi untuk kesehatan si bijeeh mata.

Jangan pernah menyuruh sang anak untuk membeli rokok di warung. Katanya anak disayang-sayang, anak jantung ayahanda. Lalu bagaimana sang jantung akan sehat sedangkan sang anak diracuni terus-menerus? Berhentilah merokok.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 6 November 2014


Advertisement

2 thoughts on “RIHLAH RIZA #49: Perempuan Aceh, Ayo Jangan Mau untuk…

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.