RIHLAH RIZA #28: EVERY MOMENT WITH YOU IS MEMORABLE


RIHLAH RIZA #28: EVERY MOMENT WITH YOU IS MEMORABLE

 

Dua minggu itu sangatlah cepat. Satu jam apalagi. Ini kalau sudah di Tjitajam. Lain soal kalau sudah di Tapaktuan. Waktu berjalan seperti Three Toed Sloth, binatang yang cuma bisa jalan 15 cm per jam. Makanya kalau saja binatang itu hidup di pohon-pohon hutan Leuser saya ingin sekali memeliharanya. Gampang ditangkap. Sayang, hewan ini kebanyakan hidup di hutan hujan Amerika Selatan termasuk Amazon.

Dua minggu diklat di Gadog, Bogor, dengan dua hari sekali pulang ke rumah, bikin hidup tambah perlu disyukuri banyak-banyak. Tempat Pendidikan dan Pelatihan Anggaran dan Perbendaharaan ini tempat yang sempurna untuk belajar. Hawanya adem, suasana sepi, halaman luas dengan pepohonan tua yang rindang, koridor-koridor panjang yang meneduhi, dan sebuah ciri khas yang tiada pernah lepas darinya, dari Bogor yang julukannya terkenal ke seantero nusantara: hujan. Setiap hari.

Tak perlu berharap-harap dengan harapan mahakuat seperti di Tapaktuan di bulan Januari dan Februari ini agar turun hujan yang teramat deras. Sebuah harapan yang ditulis indah oleh D. Kemalawati dalam puisinya: Menanti Hujan.

seperti gayung

aku memohon hujan

deras

melimpah

gurun pasir

dan laba-laba

apa apa lapar terpelihara

hura hura pada nafas

atau

kalau kah tumbal

di hari senja

Banda Aceh, Maret 2003

 

Tak perlu berharap-harap dengan harapan mahakuat agar mampu menawari panas yang menyengat tubuh. Siang dan malamnya. Saya berterima kasih kepada Willis Haviland Carrier penemu Air Conditioner, hingga mampu membuat hidup saya lebih dingin di Tapaktuan.

Seperti biasa diklat menjadi awal dari sebuah banyak pertemanan. Bertemu dengan teman sekamar lalu berlanjut dengan pertanyaan “kenal dengan si ini, si anu, si ina tidak?” yang pada akhirnya menegaskan memang betul adanya petitih kalau dunia itu sempit. Apatah lagi Direktorat Jenderal Pajak dengan jumlah buruhnya yang hanya 30 ribu-an.

Membuka pertemanan di malam pertama kami di Gadog tentunya dengan sebuah keramahan. Sebuah kutipan kuno tapi efektif: mendapatkan teman dimulai dari sikap ramah. Tidak ada dalam benak sebuah prasangka. Semuanya bermula dari kemauan kita untuk memulai memberikan yang positif. Yang ada hanyalah pikiran bahwa kita itu sama berada di anak tangga yang pertama. Tidak berbeza. Kalau itu yang terjadi, tidak ada kalimat “saya menguasai kamu”, pun sebaliknya.

Ketika keramahan tanpa prasangka telah berkuasa menjadi raja di malam itu, maka mengalirlah sebuah cerita darinya. Cerita dari tanah seberang, dari petugas pajak yang memegang teguh integritasnya. Klise. Tapi ini menguatkan.

Betapa sering ia membantu Wajib Pajak tanpa pamrih sampai Wajib Pajak menemukan solusi atas setiap permasalahannya. Ini memang sudah tugas dia. Tugas negara yang diembannya. Sudah digaji penuh oleh negara plus tunjangan, kecuali kalau dia terlambat masuk kantor atau pulang cepat karena suatu sebab, tentunya dipotong.

Wajib Pajak di era di mana instansi lain masih belepotan dan DJP harus bersih sendirian—ini sistem yang tidak baik, kalau mau bersih ya harus bersih semua—merasa berhutang budi. Wajib Pajak tak sungkan-sungkan menyerahkan sesuatu yang berharga miliknya dan mungkin teramat berharga bagi petugas pajak teman saya ini yang hanya bisa pulang sebulan sekali menengok anak dan istri.

Kebetulan, saat itu hari terakhir perayaan tahun baru Cina, cap go meh, tiket penerbangan dari dan ke kota itu lagi mahal-mahalnya. Kebetulan pula, ia sedang tidak punya uang untuk pulang. Maka tawaran Wajib Pajak yang siap memberikan apa pun kepadanya, yang ia tolak dengan tegas, membuat hatinya seperti ada yang mengerat. Perih karena ia butuh. Butuh tapi tidak boleh. Tidak boleh dengan cara ini. Walau cuma seharga tiket pulang pergi saja. Walau yang tahu hanya Allah Swt, dirinya, dan Wajib Pajak itu. Tidak ada yang lain.

Tapi itu tidak sia-sia. Dalam waktu yang tidak terlalu lama dari kejadian itu, integritasnya dibalas dengan sebuah panggilan untuk mengikuti diklat selama dua minggu di Jakarta. Ini, setidaknya, berarti pulang pergi ke kampung halaman dibiayai Negara. Mendengar ceritanya semakin meyakinkan saya kalau setiap kebaikan akan mengundang kebaikan yang lain.

Satu hal yang tertinggal, selamanya, adalah sebuah kesan. Kesan yang diterima Wajib Pajak yang tidak akan pernah melupakan penolakan itu. Teman saya ini sejatinya, dengan pelayanan all out yang diberikan kepada Wajib Pajak, telah memberikan kesan yang cukup tahan lama. Seperti apa yang ditulis dalam buku How To Win Friends & Influence People in the Digital Age: menaruh minat, tersenyum, berkuasa atas nama, menyimak lebih lama, membahas apa yang penting baginya, membuat orang lain merasa lebih baik adalah enam cara kesan menjadi abadi.

Wajar kalau kemudian teman saya itu akan mendengar dari mulut Wajib Pajak, atau mendapatkan seperti yang dikatakan Elena Alcantara kepada Roberto Carvajal dalam novel Imprisoned by hope: “Every moment with you is memorable.”

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

27 Februari 2014

Tabik buat teman saya.

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.