BULAK DALAM REMAH-REMAH SAJAK
empat puluh katanya ekor monyet
yang membelit pohon-pohon
di atas nisan-nisan terbujur kaku
berdebu dan baru
aku jatuh dalam bayang-bayang
berwindu-windu lalu
di sebuah akhir ramadhan
dan syawal yang cuma segaris
dari tahun ke tahun
dengan tukang becak yang mengayuh peluh
atau kaki Werkudoro yang mendorongku ke sana
ke sebuah festival
mencumbui pasar malam
dan aku tersasar dalam kerumunan martabak, tahu petis, arum manis
bahkan aku menjadi pertapa
di bawah biduan-biduan Jakarta
moksa dengan tangan, kaki, tubuh
tersandera nada-nada dari seruling dan kendang
seketika aku tak tahu ada 40 pasang mata menatap cemburu
dari atas semak belukar yang gelap
atau dari riuh orang-orang yang memasuki gua hantu
atau dari cipratan adrenalin mesin-mesin retak
atau dari bawahku tulang-tulang
terserak gembira dalam sunyi
bermalam-malam cahaya menjadi bunting
melahirkan banyak anak
setelah matahari terbit yang ke sekian usailah pesta
pesta yang tak abadi
yang abadi cuma
empat puluh katanya ekor monyet
yang membelit pohon-pohon
***
Riza Almanfaluthi
di sebuah Bulak
di sebuah Jatibarang
22:28 25 Agustus 2013
Gambar diambil dari sini.