Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi, Haram?


HUKUM MEMBACA DAN MENULIS CERITA FIKSI,
HARAM?

A. Pendahuluan

Dalam sebuah forum diskusi yang membahas sebuah cerita fiksi, ada sebuah celetukan
yang muncul di sana seperti ini, “Tulisan bohong seperti itu memang bermanfaat?” atau dengan celetukan yang
lain seperti ini, “namanya juga khayalan yang diperhalus dengan kata imajiner.”

Bagi saya, celetukan-celetukan tersebut adalah sesuatu yang wajar, karena tidak
semua orang harus dipaksa untuk dapat menyukai sesuatu apalagi sebuah tulisan. Bahkan dengan keterusterangan yang
dilontarkan oleh yang lain dengan mengatakan ketidaksukaannya pada fiksi, saya anggap sebuah kewajaran juga.

Namun menjadi tidak wajar jika ketidaksukaannya tersebut bercampur dengan sinisme
yang berlebihan sehingga menganggap penulis dan pembaca fiksi menjadi orang-orang yang terlena dan jatuh dalam
kesia-siaan serta kedustaan. Apalagi dilatarbelakangi kebencian terhadap penulisnya karena berbada harakah, atau
penulisnya tersebut adalah bagian dari ahlul bid’ah. Subhanallah…

Sinisme inilah yang nantinya akan menghambat banyak orang atau pemula dalam
kepenulisan yang sudah memutuskan menulis fiksi sebagai alat untuk berdakwah dan menyebarkan kebaikan kepada sesama.
Kalaupun karena adanya fatwa ulama yang melarangnya, maka sudah cukup itu bagi yang memercayainya. Karena ada juga
fatwa yang memperbolehkannya sehingga tidak bisa kita memaksakan pendapat yang satu kepada yang lainnya. Perbedaan
dalam hal ini tidak bisa dilarang. Bila hal itu terjadi maka sungguh kita terjerumus kepada ta’ashub yang
dilarang dalam agama yang mulia ini karena merasa dirinya dan fatwa ulamanya yang paling benar. Semoga kita
terlindung dari hal yang demikian.

Maka izinkanlah saya untuk membedah sedikit terhadap permasalahan ini sebatas
dengan keilmuan saya.

B. Fatwa Pengharaman

Biasanya mereka yang berceletuk demikian mendasarkan pemikirannya pada fatwa
syaikh yang mereka percayai. Akhirnya saya menemukan fatwa tersebut di sebuah blog ini:

http://wiramandiri.wordpress.com/2007/10/23/hukum-membaca-dan-menulis-cerita-fiksi-novel-cerpen-dll/

Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi (Novel, Cerpen, dll)

Oleh:
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan


Pertanyaan:

Apa hukum membaca dan menulis kisah fiksi dan cerita yang bisa membangkitkan imajinasi? Dan apakah jika kisah-kisah
ini membantu memperbaiki beragam masalah sosial, maka kisah-kisah ini diperbolehkan?

Jawab:
Kisah fiksi seperti ini merupakan kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si
penulis dan pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih baik bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan
perkara ini (menulis atau membaca cerita fiksi-ed).

Apabila
kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan
ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini
hukumnya makruh.
Dalam
setiap kondisi, waktu seorang muslim sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk
perkara yang tidak ada manfaatnya.

(Fatwa Syaikh Fauzan di ad-Durar an-Naadhirah fil-Fataaawa al-Mu’aasirah – Pages 644-645,
al-Fowzaan – ad-Da’wah 1516, Jumaada al-Oolaa 1416AH)

Diterjemahkan dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/miscellaneous/0070823.htm

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada beliau dan kelimuannya serta amal
shalihnya yang sungguh amat luar biasa ini izinkanlah pula saya sedikit mengkritisi tentang fatwa beliau yang mulia
ini. Yakni terletak pada kemanfaatan dan ketidakmanfaatan dari kisah fiksi tersebut. Maka pertanyaannya adalah siapa
yang merasakan kemanfaatan dan ketidakmanfaatan dari kisah fiksi tersebut? Tentu mudah sekali untuk menjawabnya yaitu
si pembaca atau penulisnya
sendiri.
Bila sedari awal si pembaca atau penulisnya menyadari bahwa menulis atau membaca fiksi itu
tidak terasa manfaatnya maka sudah layak ia termasuk dalam ruang lingkup fatwa ini.

Kemudian bila si penceletuk ini mendasarkan pada kalimat yang ditebalkan tepatnya
pada kalimat “Apabila kegiatan membaca
atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya
haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya
makruh.
maka
ini adalah
sebuah kaidah umum yang berlaku pada suatu apapun. Tidak hanya membaca atau menulis kisah fiksi saja tetapi menulis
nonfiksi, buku, artikel, makalah seminar, atau pekerjaan-pekerjaan lain seperti bekerja di kantor, berbicara dan
mengobrol tidak kenal waktu dan membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib dan sunnah maka ia bisa
dijatuhi hukumnya haram dan makruh.

Menulis dan membaca artikel nonfiksi atau ilmiah untuk membantah ahlul bid’ah
tetapi ia juga sampai melalaikan kewajiban shalatnya, itu pun sudah dijatuhi hukumnya haram. Apalagi menulis dan
membaca beratus-ratus halaman sebuah buku nonfiksi dan dianggap ilmiah karena maraji’nya berderet-deret untuk
membantah dan menghujani seseorang atau lembaga-lembaga dakwah dengan celaan-celaan yang banyak, tidak pantas, lagi
keras meskipun pihak yang dicela itu belum tentu layak menerimanya, bahkan sampai merusak persatuan dan kesatuan
ummat yang merupakan hal yang diwajibkan dalam syariat ini, maka sudah barang tentu ini pun hukumnya HARAM (dengan
huruf besar). Dalam setiap kondisi, waktu seorang muslim
sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk perkara yang tidak ada
manfaatnya.

Dari fatwa tersebut dapat kita simpulkan pula bahwa terdapat hal-hal yang
bertentangan di dalamnya yaitu dalam paragraf pertama menegaskan pengharaman secara menyeluruh karena kisah fiksi itu
yang ada hanyalah kedustaan dan ketiadaan manfaat buat penulis dan pembacanya.

Sedangkan dalam paragraf kedua dan ditebalkan terdapat pengecualian, ini ditandai
dengan kata “apabila”, maka dapat diartikan bahwa apabila kegiatan menulis dan membaca fiksi itu tidak
melalaikan sesuatu yang wajib dan sunnah maka hukumnya adalah mubah atau boleh. Jadi dalam fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
, semoga Allah
memberikan rahmat dan keberkahan kepadanya, ini sebenarnya bukan sebuah pengharaman mutlak terhadap kegiatan menulis
dan membaca fiksi.


C.
Tanggapan
terhadap Komentar

Fatwa dan para
pengomentarnya dalam blog tersebut pernah saya beri tanggapan, dan tidak lama kemudian tanggapan saya tersebut sudah
hilang. Ya betul, setiap komentar yang masuk ke sana selalu dimoderasi, entah hilangnya tanggapan saya tersebut
adalah sengaja dihilangkan atau sedang dicari jawabannya yang tepat oleh si pemilik blog ini untuk menyanggah saya.

Beberapa
komentar yang ada di sana saya sebutkan di sini:

  1. Nufeeda, di/pada Oktober 25th, 2007 pada 10:11 amDikatakan:

bagaimana jika baik untuk dakwah? bagaimana jika sanggup membangkitkan keimanan dan membuat seseorang
semakin bersemangat untuk mengerjakan amal shaleh?

Tetap
saja dusta, dan menilai baik atau tidaknya dakwah itu dengan contohan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Pernahkah
nabi membuat cerita dusta untuk membangkitkan keimanan dan mengerjakan amal shalih?

  1. sonta, di/pada Oktober 26th, 2007 pada 7:27 amDikatakan:

ehm,tak bisa dipungkiri bahwa kadang ada juga orang yang terinspirasi novel atau cerita.tapi………yang
namanya fiksi ya tetap fiktif atau bohong. Ex seseorang termotivasi berzakat karena ada film yang menceritakan kalau
berzakat lalu mendadak dapat mobil. nah, kalau kemudian ketahuan itu cuma boong, apakah motivasinya gak ilang?

kalaupun mau memotivasi dengan cerita..bisa dengan cerita cerita yang valid .dari hadits, ayat al qur’an
dll.Misalkan dulu pernah dengar hadits yang menceritakan kalau seseorang ikhlas infaq karena Alloh, Alloh akan
mengambil infaq nya langsung dari tangannya.(mohon dicek dulu, karena ane aq mendadak lupa-lupa ingat)

Hmm…
memang kaum muslimin semakin meninggalkan Al-Quran dan Hadits, mereka lebih memilih kisah-kisah bohong ini sebagai
bahan motivasi sehingga kita lihat pemuda-pemuda muslim lebih banyak membaca novel-novel dusta daripada membaca
buku-buku hadits seperti Riyadhus Shalihin. Padahal di dalam Riyadhus Shalihin itu terdapat banyak sekali kisah dan
nasehat-nasehat Nabi yang memotivasi kita menjadi lebih baik dunia dan akhirat.

Para
penceramah juga pun nampaknya alergi dengan kisah-kisah dalam hadits, sehingga suatu saya mendengar khotib Jumat
berkhutbah tentang keutamaan ilmu dengan menceritakan Kisah Tarzan di hutan yang punya ilmu bahasa hewan sehingga
bisa hidup di hutan… Edede.. Cerita beginian jadi bahan khutbah Jumat. Innnalillahi wainna ilaihi rajiun.

Catatan: Tulisan miring (italic) di
atas adalah tanggapan si pemilik blog terhadap komentator.

Sedikit tanggapan saya tentang komentar yang pertama, bahwa pendukung fatwa ini
selalu mengaitkan antara fiksi dengan sebuah kedustaan. Tidak melirik dan tidak bisa menolerir sedikit pun terhadap
kisah-kisah perumpamaan. Sehingga wajar saja pelekatan vonis kedustaan terhadap cerita fiksi sangat erat sekali.
Apalagi dikaitkan dengan cara berdakwah dan menyampaikan kebenaran ala Rasulullah SAW.

Bila menganggap cerita fiksi adalah sebuah kedustaan maka sudah barang tentu itu
tidak bisa dikaitkan dengan cara dakwah Rasulullah SAW. Bila tidak menganggap sebagai sebuah kedustaan karena
dikaitkan dengan kisah-kisah perumpamaan yang begitu banyak disebutkan dalam Alqur’an maka cara dakwah ini
termasuk ke dalam makaanul ijtihad (tempat ijtihad) pada uslub dan iqtiraahaat (cara dan
metode) dakwah. Masalahnya penentuan kedustaan dan tidaknya sebuah cerita fiksi adalah sesuatu yang debatable. (Catatan penting
bahwa ketika saya menyebutkan dua kata “cerita fiksi” maka berarti semua cerita diluar kisah fiksi yang
penuh kemusyrikan , sihir, dan pornografi).

Sedangkan tanggapan dari pemilik blog ini pada komentar yang kedua, saya
melihatnya terlalu mudah memvonis. Berkaitan dengan banyaknya kaum muslimin yang memilih novel-novel daripada
buku-buku hadits, tentu tidak bisa kita salahkan kepada para penerbit dan penulis novelnya, karena ini berkenaan
dengan pemahaman seorang muslim kepada agamanya. Pemisalan itu sama saja dengan masih banyaknya orang yang memilih
tidak pergi ke masjid untuk sholat berjama’ah di dalamnya dan lebih baik ngendon di rumah atau menonton televisi. Ini sudah barang tentu tidak bisa kita
salahkan masjidnya, karena ini semua bergantung kepada keimanan orang tersebut.

Tanggapan lainnya juga sama, terlalu mudah menggeneralisir, memvonis dengan kata
alergi, dan meremehkan para ustadz yang mengisahkan kisah-kisah perumpamaan. Seakan-akan para penceramah itu tidak
layak untuk berdiri di atas mimbar untuk mengajak kepada kebenaran dan seakan-akan dirinya (penulis komentar ini)
lebih baik daripada para penceramah tersebut. Wallahul musta’an.

D. Fatwa Pembolehan dengan Syarat

Maka setelah panjang lebar saya uraikan (kritisi) tentang fatwa dan tanggapan
komentar yang melarang membaca dan menulis kisah fiksi ini maka dapat kiranya saya uraikan pendapat yang membolehkan
menulis dan membaca cerita fiksi ini.

Saya ambil pendapat tersebut dari Pusat Konsultasi Syariah/Sharia Consulting Center (SCC)
yang
beralamatkan di
http://www.syariahonline.com sebagai
berikut
:

Ustadz- Semoga Allah menjaga dan memuliakan Anda

Bismillahirrahmaanirrahiim

Pertanyaan saya:

bolehkah kita membuat cerita2 fiksi ” islami” untuk dijual sekaligus utk dakwah?

Abdullah Arif

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.

Cerita fiksi adalah cerita yang tidak berdasarkan fakta kejadian yang nyata. Dalam
hal ini bisa terbagi menjadi fiksi realistis dimana setting dan alur ceritanya logis dan masuk akal. Selain itu ada
yang dibuat imajinatif dan tidak masuk akal.

Yang paling baik tentu saja bila based on
true story
, fiksi yang berangkat dari kisah nyata. Misalnya kisah para pahlawan Islam, para ulama dan ilmuwan
Islam ataupun kisah-kisah orang terdahulu yang memang mengandung hikmah dan pelajaran yang bagus.

Meski demikian, sebuah cerita/ kisah memang tidak harus didasarkan pada kisah
nyata. Boleh saja cerita itu merupakan karangan penulisnya. Namun alur cerita dan isinya harus bersifat logis dan
masuk akal, atau minimal ada keterangan ilmiyahnya. Sehingga unsur pendidikannya bisa jelas dirasakan.

Dan tentu saja tidak boleh mengandung unsur kemusyrikan dan sihir. Sehingga
dongeng seperti Harry Potter, Pinokio, Cinderella, Peter Pan, Peri dan sejenisnya tidak sesuai dengan aqidah Islam.
Karena isinya menceritakan tentang sihir, alam ghaib, syetan dan segala bentuk kemusyrikan. Memang secara aqidah kita
mengenal fenomena sihir dan segala keajaibannya, namun menurut aqidah Islam, semua itu adalah perbuatan syetan yang
jahat yang harus dihancurkan, bukan dijadikan tontonan. Sehingga menyuguhkan cerita syetan bukanlah ide yang benar.

Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Quran sering menggunakan permisalan untuk lebih
menjelaskan suatu duduk perkara. Perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Quran itu merupakan ilustrasi dari sebuah pesan yang
ingin disampaikan kepada pembacanya.

Beberapa diantaranya adalah ayat-ayat berikut :

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api , maka setelah
api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
melihat.” (QS. Al-Baqarah : 17)

“Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil
binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja . Mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak
mengerti.” (QS. Al-Baqarah : 171)

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan nya dengan ayat-ayat
itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing
jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya . Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.”.(QS. Al-A`raf : 176)

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka
tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”(QS. Al-Jumuah :
5).

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al-ankabut : 43).

“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quraan ini setiap
macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.”(QS. Az-Zumar : 27).

Berangkat dari gaya bahasa Al-Quran yang banyak menggunakan perumpamaan itu, maka banyak para
ulama pendidikan yang mencoba meniru gaya Al-Quran dengan membuat kisah-kisah perumpamaan. Kisah-kisah ini tidak
harus kejadian nyata, tetapi bisa saja sebuah kisah fiktif yang mengandung unsur pendidikan, baik berkaitan dengan
aqidah, akhlaq, sopan santun, etika, ilmu pengetahuan, patriotisme dan sebagainya.

Wallahu a`lam bis-shawab.

E. Imajinasi

Ada yang pelu
digarisbawahi pada pada paragraf ketiga dari fatwa tersebut tepatnya pada kalimat:

Meski demikian, sebuah cerita/ kisah
memang tidak harus didasarkan pada kisah nyata. Boleh saja cerita itu merupakan karangan penulisnya. Namun alur
cerita dan isinya harus bersifat logis dan masuk akal, atau minimal ada keterangan ilmiyahnya. Sehingga unsur pendidikannya bisa jelas dirasakan.

Bahwa cerita
fiksi harus mempunyai alur cerita, isinya harus bersifat logis, dan masuk akal, atau minimal ada keterangan
ilmiyahnya. Singkatnya, menurut istilah Harris Effendi Thahar, adalah cerita fiksi atau imajinasi harus masih dalam
batas-batas kausalitas yang diperlukan.

Harris Effendi
Thahar pernah menulis:

Bahwa cerita fiksi (termasuk cerpen) merupakan ramuan fakta dan imajinasi.
Berimajinasi atau berfantasi adalah salah satu kelebihan manusia yang dianugerahkan Sang Khalik dibanding makhluk
lain. Sejak kecil manusia telah diperkenalkan dengan dongeng, sampai pada suatu waktu, ia pun mampu mendongeng dengan
gayanya sendiri. Dengarlah teman, tetangga, atau siapa saja yang kita kenal bercerita tentang dirinya atau tentang
orang lain, pasti dibumbui fiksi di sana-sini. Anda sendiri pun, tak luput dari hal itu. Sering melebih-lebihkan
fakta! Nah, bukankah itu rekayasa imajinasi?

“Berimajinasi dalam menulis cerita adalah suatu keniscayaan, akan tetapi
harus tetap dalam koridor hukum kausalitas, yakni hukum sebab-akibat,” lanjut Thahar. Karena cerita yang diluar
nalar dan jauh dari hukum kausalitas maka cerita itu adalah cerita mengada-ada.

F. Penutup

Dari apa yang saya utarakan di atas bisa jadi salah dan pendapat yang lain benar,
bisa jadi pendapat saya benar dan yang lain salah. Saya meminta ampun kepada Allah atas segala kekurangan saya. Dan
saya berkesimpulan sebagai berikut:

1. Selama tidak mengandung cerita
kemusyrikan dan sihir tidaklah mengapa membuat cerita fiksi;


2.
Apabila kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang
hukumnya wajib, maka kegiatan ini hukumnya haram. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang
hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh
. Tetapi ini
tidak hanya berlaku untuk menulis dan membaca cerita fiksi saja tetapi menulis dan membaca nonfiksi pun bisa berhukum
haram atau makruh jika sampai melalaikan kewajiban dan sunnah.

3. Yang paling baik tentu saja bila
based on true story, fiksi yang berangkat dari kisah nyata. Misalnya
kisah para pahlawan Islam, para ulama dan ilmuwan Islam ataupun kisah-kisah orang terdahulu yang memang mengandung
hikmah dan pelajaran yang bagus.

Demikian apa yang bisa saya sampaikan sebagai upaya memberikan hak kepada yang
berhak, memberikan jawaban terhadap orang-orang yang seringkali meremehkan orang lain dan mudah untuk mengeluarkan
tuduhan, serta menghukumi seseorang. Yang sangat bersuka cita jika menemukan suatu kesalahan saudaranya. Sungguh
akhlak salafushshalih tidaklah sedemikian rupa.

Mereka berakhlak mulia, memelihara kerhomatan diri, menahan marah, memaafkan
manusia, menunaikan hak-hak
persaudaraan
, tidak menghina, tidak mencela, tidak memanggil dengan gelaran buruk, menghina,
berprasangka buruk, hatinya lembut untuk senantiasa bertaubat, memohon ampun atas dosa-dosanya kepada Allah. Indah
nian akhlak yang mereka punyai.

Semoga bermanfaat.

Maraji’:

1. Alqur’aanul Kariim;

2. Harris Effendi Thahar, Sulit
Memulai?
, Annida, Ummionline, Jumat, 28 Januari
2005;

3. Konsultan Pusat Konsultasi Syariah,
Hukum Cerita
Fiksi,
http://www.syariahonline.com, 2006;

4. Wira, Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi (Novel, Cerpen, dll), http://wiramandiri.wordpress.com, Selasa, 23
Oktober 2007;

Bukan Diariku


27.01.2006 – Mengapa Blogku Bukan Diariku?

Fungsi awal sebuah blog dari apa yang saya baca adalah tempat untuk mengemukakan semua perasaan–entah sedih, gembira, bahagia, duka lara, jatuh cinta, broken heart, bete, marah, kecewa, atau banyak lagi lainnya–yang kita alami dalam sebuah tulisan yang bisa dibaca oleh dan dibagi kepada yang lain . Sehingga terkadang blog ini disebut juga sebagai diary online.
Nah, dari itu saya kemudian meninjau kembali, sebenarnya blog saya ini telah memenuhi kriteria itu belum yah? Wah, terlihat sekali ternyata saya belum bisa menjadikan blog ini untuk mengungkapkan segala perasaan saya kepada yang lain. Pengungkapan ini adalah pengungkapan yang eksplisit loh bukannya yang tersembunyi dibalik sebuah tulisan yang biasa saya buat.
Sehingga terkdang saya mengagumi juga, kepada teman-teman blogger yang lainnya yang bisa mengungkapkan perasaannya itu kepada yang lain. Dan menunjukkan kepada dunia, nih saya lagi bete, nih saya lagi kecewa, nih saya lagi jatuh cinta, nih saya yang lagi sakit, nih saya yang lagi empet sama tuh orang, etc. Semua curahan hati itu begitu mulusnya teman-teman upload tanpa mengindahkan kaidah-kaidah bahasa yang baku, dan kaidah lainnya, keluar begitu saja. Mengapa bisa, yah?
Setelah saya pikir-pikir, ternyata memang ada hambatan psikologis yang ada pada saya. Bahwasanya saya masih belum bisa terbuka seperti yang lain, mungkin ini dikarenakan identitas saya yang begitu nyata dihadapan teman-teman sekalian. Karena masih satu instansi misalnya. Atau karena tidak seperti di dunia maya yang sebenarnya, sehingga identitas asli seseorang tidak begitu ditutup rapat. Atau bahwa saya harus jaim, Teman-teman pasti tahu bukan makhluk yang satu ini apa?
Dan yang kedua adalah saya mempunyai keinginan bahwa apa yang saya tulis harus mematuhi kaidah bahasa yang baku. Sehingga dengan begitu, saya tidak bisa bebas untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan kepada teman-teman sekalian. Kalaupun saya paksakan, jari saya ini berkali-kali menekan tombol Backspace dan Delete. Tanpa ada hasil apa-apa.
Dua sebab itu mungkin yang menyebabkan saya tidak bisa bebas seperti teman-teman sekalian. Yang menyebabkan blogku tidak menjadi diariku. Yang menjadikan blogku hanya sebagai kumpulan perasaan yang diungkapkan secara implisit, yang menjadikan blogku ini pantasnya adalah kumpulan pemikiranku. *Berat banget sih kaya filsuf saja)
Tapi saya pikir, tak mengapalah, karena memang kita diciptakan berbeda dari sananya. Dengan kemampuan dan keahlian yang berbeda. Dan dengan rasa yang berbeda bukan? Tapi kesamaan kita adalah: kita mempunyai rasa cinta. Cinta yang sederhana betul begitu, Mam? (Kagak nyambung).
Tapi pikir saya, tak mengapalah asal apa yang kita ungkap itu adalah sesuatu yang bernilai bagi teman-teman sekalian. Memberikan sesuatu yang berguna, yang baru, yang membuat gembira, yang membuat airmata ini menetes tanpa terasa karena kerinduan pada-Nya, dan membangkitkan semangat kita semua untuk bersama-sama berada di jalan-Nya sampai akhir nanti.
Jadi, ternyata kita memang berbeda. Jadi, ternyata blogku bukan diariku. Tak mengapa bukan?

riza almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
13:11 27 Januari 2006

Sedia Payung Sebelum Hujan (Pujian)


Dalam sebuah bab dari sebuah buku tua yang dimiliki oleh Bapak dan telah dibaca oleh saya pada saat kelas tiga SD diuraikan tentang bagaimana cara seseorang menghadapi kritik. Buku yang ditulis oleh Dale Carnegie ini menggambarkan dengan cantiknya bagaimana perasaan orang yang dikritik dengan berbagai macam kritikan Mulai dari rasa marah, tersinggung, cemas, hingga efek yang ditimbulkannya berupa stress hingga munculnya berbagai macam penyakit.

Kemudian diuraikan pula bagaimana sikap orang yang berpikiran positif dalam menghadapi segala kritikan tersebut. Pada intinya ia bilang ”Siapkan payung dari hujan kritikan”. Siapkan payung disini adalah siapkan mental sekuatnya atas apa saja yang kita lakukan yang akan mengundang banyak kritikan dari orang lain. Banyak contoh diuraikan oleh Carnegie bagaimana cara mempersiapkan payung itu.

Ada satu hal yang kurang dan tidak dibahas dalam buku tersebut. Hal biasa namun ternyata dapat memberikan efek negatif cukup besar bagi mental manusia. Yakni bagaimana setiap orang seharusnya dapat juga mempersiapkan payung dari hujan pujian. Tentu kita maklumi bahwa Dale Carnegie hidup di masyarakat yang menjunjung tinggi materialisme dan kapitalisme. Sehingga penyikapan mereka terhadap pujian pun berbeda dengan penyikapan umat Islam terhadap pujian.

Bagaimana tidak, dalam materialisme, pujian adalah satu paket dengan ketenaran dan pencitraan diri. Sudah menjadi konsekuensi logis bahwa mereka yang tenar dan sukses dalam bidang tertentu mendapat pujian sebanyak mungkin dan dari mana saja. Karena ini berkaitan dengan–sekali lagi—pencitraan dirinya. Semakin dipuji semakin memberikan value added pada dirinya di mata orang lain. Sehingga pada akhirnya ia dapat diterima di komunitas masyarakat yang lebih tinggi derajatnya.

Berbeda dengan nilai-nilai yang dianut dalam Islam. Agama suci ini mengajarkan kepada umatnya berhati-hati terhadap pujian. Karena ini menyangkut hati yang akan terkotori. Mengapa demikian? Karena pujian yang berlebihan akan mengakibatkan melencengnya niat awal bagi yang dipuji. Bila terjadi hal yang demikian maka syirik kecil yakni riya’akan muncul.

Pujian berlebihan juga akan mematikan kreativitas. Ia akan merasa bahwa apa yang ia perbuat nihil dari kesalahan padahal manusia adalah tempat dari lalai dan lupa. Ia tidak mengetahui kekurangan dirinya dan terlambat untuk memperbaiki. Kreativitas pun mandeg atau jalan di tempat.

Pujian yang berlebihan akan mengakibatkan ketidaksiapan yang dipuji untuk menerima hal-hal yang buruk tentang dirinya. Pujian yang berlebihan juga akan memunculkan rasa ’ujub (takjub dan bangga pada dirinya sendiri) atau bahasa gaulnya narsis gitu loh.

Nah, bicara tentang ’Ujub digambarkan secara jelas oleh Ustadz Said Hawwa dalam buku yang ditulisnya berjudul Intisari Ihya Ulumuddin Al-Ghazali: Mensucikan Jiwa. Bahwa biasanya manusia akan ’ujub atas delapan hal. Yakni yang pertama adalah ’ujub dengan fisiknya. Kedua adalah ’ujub dengan kedigdayaan dan kekuatan. Yang ketiga ’ujub dengan intelektualitas, kecerdasan, dan kecermatan dalam menganalisa berbagai problematika agama dan dunia.

Yang keempat adalah ’ujub dengan nasab yang terhormat. Kelima ’ujub dengan nasab para penguasa yang zhalim dan para pendukung mereka. Keenam adalah ’ujub dengan banyaknya jumlah anak, pelayan, budak, keluarga, kerabat, pendukung dan pengikut. Ketujuh berupa ’ujub terhadap harta kekayaan. Dan yang terakhir adalah ’ujub dengan pendapat yang salah.

Berkaitan dengan dunia kepenulisan maka ’ujub yang seringkali menimpa adalah bentuk ’ujub yang ketiga yakni ’ujub dengan intelektualitas, kecerdasan, dan kecermatan dalam menganalisa berbagai problematika agama dan dunia, sehingga mengakibatkan sikap otoriter dengan pendapat sendiri, tidak mau bermusyawarah, menganggap bodoh orang-orang yang tidak sependapat dengannya dan kurang berminat mendengarkan para ahli ilmu karena berpaling dari mereka dan melecehkan pendapat mereka. (p:222)

Manusia normal mana sih yang tidak senang dipuji?

”Hei daun kering, tulisan elo bagus-bagus, yah. Bikin gue nangis mulu.” puji si fulan. “Mas Daun Jati, Bikinin gue puisi dong buat pacar gue. Elo kan paling hebat kalo bikin puisi. Gue aja ampe merinding kalo baca puisi elo.” puji si fulan yang lain. Gak kuat…!! Sampai limbung diri ini cari pegangan, supaya tidak jatuh saja sudah susah. Bagaimana tidak besar kepala? Bagaimana tidak akan tidak bergeming dari niat awal mencari ridhoNya kecuali ia memang benar-benar dilindungi Allah dari segala kekotoran hati. Bagaimana tidak akan ‘ujub dari hal itu?

Ustadz Said Hawwa memberikan terapi atas ‘ujub yang demikian yakni dengan bersyukur kepada Allah atas karunia intelektualitas yang telah diberikan kepadanya, dan merenungkan bahwa dengan penyakit paling ringan yang menimpa otaknya sudah bisa membuatnya berbicara melantur dan gila sehingga menjadi bahan tertawaan orang. Ia tidak aman dari ancaman kehilangan akal jika ia ujub dengan intelektualitas dan tidak mensyukurinya.

Beliau menambahkan bahwa hendaknya ia menyadari keterbatasan akal dan ilmunya. Hendaklah ia mengetahui bahwa ia tidak diberi ilmu pengetahuan kecuali sedikit, sekalipun ilmu pengetahuannya luas. Apa yang tidak diketahuinya di antara apa yang diketahui manusia lebih banyak ketimbang yang diketahuinya, lalu bagaimana pula tentang apa yang tidak diketahui manusia dari ilmu Allah?

Hendaklah ia menuduh akalnya dan memperhatikan orang-orang dungu; bagaimana mereka ’ujub dengan akal mereka tetapi orang-orang menertawakan mereka? Hendaklah ia berhati-hati agar tidak menjadi seperti mereka, tanpa disadarinya. Orang cupek akal saja yang tidak mengetahui keterbatasan akalnya, sehingga ia harus mengetahui kadar akalnya dibandingkan dengan orang lain bukan dengan dirinya sendiri, atau dengan musuh-musuhnya bukan dengan kawan-kawannya, karena orang yang berbasa-basi selalu memujinya sehingga semakin ’ujub. Demikian Ustadz Said Hawwa (p:222).

Dalam sebuah tulisan yang berjudul Tawadhu di majalah Sabili, sebagai pembuka, penulisnya menceritakan gundahnya Helvy Tiana Rosa menyikapi fenomena penulis muda yang baru menulis satu atau dua buku sudah merasa paling hebat, merasa paling unggul. Padahal Taufik Ismail yang telah menulis banyak buku begitu tawadhunya dan tetap merasa belum apa-apa dengan segala karyanya itu. Sehingga beliaupun di usianya yang semakin bertambah tetap berkarya dan terus berkreativitas.

”Seharusnya mereka dapat menstabilkan emosinya,” tambah Helvy. Ya, betul perasaan paling unggul, paling hebat akan memandulkan kreativitas dan tidak mau belajar kepada orang lain. Membaca tulisan orang lain pun enggan, seakan usaha itu adalah upaya pengakuan bahwa orang lain lebih hebat daripada dirinya. Dan itu tidak diinginkannya. Dirinyalah yang lebih hebat. Dirinyalah yang pantas dipuji daripada orang lain. ”Ppeee…. betul begitu Mas Daun bersisik?” tanya sisi lain (bukan si Sisil lho).

Jadi bagaimana sih seharusnya kita memuji orang yang memang berhak kita puji dengan segala kecantikan kreativitasnya itu? Mungkin ini bisa menjadi jawaban: beri ia pujian sewajarnya dengan tambahan kritikan. Cara ini perlu agar ia pun bisa mawas diri.

Seperti etika dalam menegur bahwa segala koreksi dan kritikan tidak diungkapkan di depan forum, begitu pula dengan memberikan pujian. Kiranya tidak perlu diungkapkan kepadanya di depan khalayak ramai. Alangkah baiknya melalui surat, email, telepon, atau face to face. Atau kalau memang perlu diungkapkan di depan banyak orang, diusahakan untuk tidak diketahui orang yang dipuji. Ini adalah cara untuk menghindari penyakit hati yang akan timbul dari yang dipuji. Dan terakhir pujilah ia dengan tulus bukan dengan kedok diplomatis, agar ia dapat mensyukuri pujian itu dengan kesadaran bahwa segala pujian hanyalah milik Allah semata.

Tapi, ketakutan terhadap pujian yang berlebihan, ini pun akan mendatangkan sisi ekstrem dengan timbulnya penyakit hati yang lainnya yakni riya’, nah loh. Mengharapkan pujian salah, takut dengan pujian juga salah. Terus gimana dong? Ustadz Yusuf Qaradhawi pernah bilang: ”bersikaplah pertengahan”. Inilah sebaik-baiknya sikap.

So, sebelum kita siapkan payung dari hujan kritikan yang akan mengakibatkan kecemasan dan stress luar biasa, maka siapkan payung dari hujan pujian terlebih dahulu. Karena dengan itu kita akan siap untuk menerima hal-hal yang buruk tentang diri kita sendiri. Setelah itu tinggal nikmati saja badai kritikannya.

Allohua’lam.

Maraji’:

1. Intisari Ihya’ Ulumuddin al Fhazali, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyatun-nafs terpadu diseleksi dan disusun ulang oleh Said Hawwa; 2000; Robbani Press.

dedaunan di ranting cemara

Alhamdulillah

18:39 11 Desember 2005

Unlimited Inspiration


Unlimited Inspiration
(looking themes for)
Saya berdiri terpaku, lama, di depan lemari buku perpustakaan pribadi yang dipenuhi sesak berbagai macam jenis judul buku. Niatnya untuk mencari tema yang pantas untuk ditulis di akhir pekan ini.
Saya ambil buku serial manajemen, ”Ah…terlalu berat”, pikir saya.
Saya melirik buku Abu Al-Ghifari dengan judul ’Muslimah yang Kehilangan Harga Diri’, ”Wah, gender nih”, pikir saya lagi.
Saya tiba-tiba tertarik dengan tema Janissary, pasukan khusus yang dibentuk di zaman kekhalifahan Ustmaniyyah, yang awalnya berasal dari anak-anak Kristen dari daerah takhlukan, yang kemudian dipelihara dan setelah besar dijadikan tentara pendukung utama. Pasukan ini menjadi pasukan yang paling ditakuti di seantero Eropa juga menjadi bumerang bagi Kekhalifahan itu sendiri hingga akhirnya dibubarkan.
Tema ini menarik karena ada di dalam pakem saya yang sangat menyukai sekali sejarah dunia. Tapi masalahnya adalah untuk mewujudkannya menjadi tulisan butuh membuka banyak referensi. That is a point, saya tidak punya waktu banyak untuk membuka, mencari, dan membacanya saat ini, walaupun buku dengan tema ini ada sepuluh lebih di depan saya. ”Pekan depan saja, lah”, kata saya dalam hati.
Akhirnya saya kembali menuju komputer yang sedari tadi sudah terbuka dengan halaman kosongnya masih setia menunggu untuk segera diisi. Kali ini, mungkin kebuntuan saya mencari tema bisa menjadi tema itu sendiri, ringan, dan instan. Tiba-tiba telepon berdering, seorang teman mengingatkan saya pada acara pagi, siang, dan malam ini. Jadilah tulisan ini terhenti untuk sementara. “Yah, tertunda lagi…”, keluh saya sambil beranjak pergi meninggalkan halaman yang setengah terisi ini, sambil menyuruh Haqi untuk men-save, close, dan silakan bermain game kesenangannya lagi.
***
Kebuntuan mencari tema seringkali menjadi penghalang bagi sebagian kita menulis. Tetapi bersyukurlah bila Anda mengalami hal ini, karena berarti Anda manusia normal. Tanda kebuntuan ini berarti tanda kemajuan bahwa Anda mempunyai kemampuan menulis. Terkadang bagi sebagian orang bukan masalah buntu atau tidak, tapi untuk membuat satu atau dua paragraf saja mengalami kesulitan yang sungguh luar biasa. Selain itu kebuntuan pun menjadi alat untuk mengasah ketajaman Anda dalam melatih diri menulis dan menulis.
Kebuntuan mencari tema bisa disebabkan karena beberapa hal yakni tidak adanya input yang masuk ke dalam otak kita. Input bisa berasal dari mana saja. Dari pengamatan kita terhadap sekeliling atau membaca.
Pengamatan terhadap sekeliling dapat diperoleh dari hasil perjalanan kita sehari-hari yang biasanya luput dari pengamatan orang umum saking menjadi hal yang terbiasa dilihat. Makanya ada sebagian penulis yang salah satu hobinya adalah melakukan travelling. Ini adalah caranya untuk mendapatkan tema-tema new and fresh. Seperti kegiatannya di sepanjang perjalanan menuju kampungnya, masakan khas daerah tertentu, objek wisata dan lain sebagainya, menjadi tema yang menarik untuk diungkap melalui tulisan.
Kegiatan membaca pun menjadi salah satu cara agar volume input menjadi besar. Bahkan bagi sebagian penulis rutinitas membaca menjadi salah satu keharusan untuk bisa tetap eksis di dunia kepenulisan. Dengan membaca ia akan mendapat banyak sesuatu yang baru seperti wawasan, ilmu pengetahuan, bahasa, bangsa, metode, dan masih banyak yang lainnya. Intinya dengan membaca akan memperkaya tulisan-tulisannya sendiri.
Saya tertarik dengan apa yang diungkapkan oleh Tim FLP dalam publikasinya di Bengkel Pena Eramuslim berkaitan dengan pertanyaan apakah penulis harus membaca? ”Kalau menurut kami asumsinya begini, ketika sebuah wadah diisi terus menerus, maka ketika penuh akan tumpah. Nah, demikian juga dengan penulis yang hobby membaca, kalau dia terus menerus membaca, maka akan lebih mudah menuangkan isi kepala dalam bentuk tulisan.”
That’s great. Penuh dan tumpah. Asumsi yang membuat saya meyakini bahwa dengan membaca, otak akan dapat dengan mudah menumpahkan segala isinya ke dalam bentuk tulisan.
Pertanyaan selanjutnya adalah kalau buku atau majalah saja jarang terbeli, bagaimana saya bisa banyak membaca? Sebagai muslim, Anda tentu punya mushaf Al-Qur’an tentunya. Itu saja sudah cukup. Betapa Al-Quran menjadi inspirasi bagi para penulis sedari zaman Rasulullah sehingga begitu banyak umat manusia mendapat hidayah Allah SWT.
Muhammad Fauzil Adhim—penulis buku best seller Kado Pernikahan—menulis sebuah artikel yang berjudul Belajar Menulis Pada Al-Qur’an. Di dalamnya ia mengungkapkan betapa Al-Qur’an memang tak akan pernah habis kalau kita mau menggali dan menggali terus.
Anda tentu mengenal keindahan kata dari para mufasirin seperti Jalaluddin Abdurrahman Assayuti, Jalaluddin Al Mahalli, Al-Baghdadi, Ibnu Katsir, Al Fakhrur Razi, Sayyid Quthb, Hamka, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sudah tentu, karena mereka begitu akrab dengan Al-Qur’an dan memiliki ilmu untuk menafsirkannya.
Dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi tiada batasnya, maka tiada yang muncul dari tulisan-tulisan itu kecuali berjuta nilai kebaikan dan kebenaran. Untuk itu sudah sepatutnyalah pula Al-Quran menjadi bahan bacaan harian, menjadi rutinitas yang mengoyak qalb, menghancurkan keegoan dan kesombongan, dan menjadi langkah awal kepenulisan.
Pada akhirnya setelah itu, Anda akan menemukan samudera tema yang tiada hentinya menghanyutkan pembaca dalam tulisan Anda. Anda akan menemukan gunungan emas yang tiada habisnya memberi kilauan cantiknya dalam tulisan Anda. Dan Anda tidak akan pernah mengalami hal yang pernah saya alami, lalu Anda akan cukup mengucapkan Goodbye pada kebuntuan mencari tema.
Insya Allah.

dedaunan di ranting cemara
ahad panjang gemilang
14.05 04 Desember 2005

Menulislah dengan Hati


“Menulislah dengan hati, maka kau akan dapatkan apa saja.” Kalimat itu meluncur dari mulut Qoulan Syadiida saat saya sudah tidak mempunyai ide apa pun di kepala ini. Saat saya sudah tak mampu menghiasi hari-hari ini dengan tulisan-tulisan. Saat saya hanya memandang halaman kosong putih di layar komputer beberapa lama dan menutupnya dengan masih tetap kosong.
Maka bersegeralah saya menulis ini untuk mengungkapkan kepada Anda semua Bahwa menulis dengan hati membuat saya menulis dengan jujur tanpa polesan dan pulasan yang menipu. Menulis dengan hati membuat saya menghasilkan sesuatu yang bermakna dan bernas. Menulis dengan hati membuat saya mendapatkan suatu kedalaman pada metafora, personifikasi, dan perumpamaan.
Lalu bersegeralah saya untuk memilah-milah semua tulisan saya untuk mengetahui dan menilainya secara jujur apakah ini dari hati atau tidak? Kalau itu pun dari hati, seberapa dalamkah ia? Maka saya pun mendapatkan daftar itu, salah satunya adalah pada artikel tentang nama dedaunan yang berjudul dedaunan itu… atau pada puisi kau adalah ia, lontar dari kadipaten depok, sms ini membuatmu menangis.
Ternyata sebagian besar karya dari hati itu adalah terungkap dalam bentuk puisi. Singkat, sekali duduk, tidak melelahkan, dan terakhir biarkan pembaca menilainya, mengapresiasikannya sendiri. Biarkan penulisnya, pengarangnya mati.
Akhirnya saya sampai bertanya, apakah saya hanya dapat menulis dari hati itu dengan puisi-puisi itu? Juga Anda? Tentu tidak, masing-masing orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Kali ini, saya hanya dapat mengungkapkannya puisi, suatu saat entah itu cerpen, essay, atau bakan novel kelak akan saya buat. Sudah pasti akan kubuat ia dari hati.
Maka menulislah dari hati, kau akan temukan bedanya.