mana minamu?


mana minamu?

Sajakku di malam ini adalah diam yang mengelana ratusan kilometer, memasuki celah bawah pintu, merayap dinding-dinding rumahmu, menusuk lubang kunci kamar, dan membeku di depan cermin. Sebaskom air hujan dengan dua tiga riak kecil adalah berisik dari cermin yang mendadak retak. Sebuah gema: mana minamu?

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

23.45 – 16 Oktober 2011

bakar pakuan


bakar pakuan

**

duduk di atas batu hitam curug cilember, aku menaruh harap pada prabu surawisesa, “bakar pakuan, agar tak ada derita.” deru debam air yang jatuh hanya jadi setetes kerikil bunga tidur.

duduk di atas batu hitam curug cilember, aku patahkan lidah, sebatang dingin menuliskan di atas lontar: aku diraja. berbilang ratusan tarikh prasasti menjadi kuncup.

bisiknya, mekarnya tak ada padamu
***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

21.32 – 20 September 2011

K a n v a s 2


Kanvas 2

Coba tanya padaku, sosok busuk berkedok sobekan dari kitab suci, yang berjalan di setapak perkebunan teh Cianten ketika halimun berat untuk digendong di punggung.

Tak ada tanya, sekalipun. Lalu sebiji diam menjelma pohon kesunyian menyekat jabat tangan.

Tetap tangan yang hangat di dalam saku celana merasakan harum bau tanah yang kau peluk di malam sebelumnya. Aku berbisik pada pucuk-pucuk dedaunan yang basah saat kau bilang sudahlah: “hanya Affandi yang mampu melukis kanvas di senyummu.”

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

akan banyak kanvas lagi

11.53—19 September 2011

 

 

 

Teh…


Teh…

*

dengarkan:

Ada yang bertawaf dalam hatiku, tujuh putaran tamam,   ada yang berlari-lari kecil di dalam lorong-lorong benak, tujuh lintasan sempurna, ada yang menebas utuh surai sejarah, tanpa sisa.Semuanya itu tentang kau. Di waktu yang lelah berputar, di pungkasnya, aku adalah bangunan hitam yang ditinggal olehmu—masih akan ada cerita untukku, Teh?

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

22.17 — 18 September 2011

Diunggah pertama untuk FLP Depok

Gambar dari sini.

ratkirani


ratkirani

*

aku tuli dengan teja di barat

kau hanya bilang jangan terbang ke sana

aku buta dengan semerbak seruni

kau hanya bilang jangan sentuh ia

di bawah beringin bogor

ada banyak juntaian renjana

yang kau gantung untukku di malam itu

kau hanya bilang ada yang telah menjadi yudistira pada drupadi

–ratkirani untukmu kelopaknya jatuh satu-satu

guernica menjelma di dada

***

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

00.32 – 18 September 2011

sekarat


sekarat


kata orang
aku tak layak mengharap debu cintaMu
apatalah lagi mengharap remah kasih sayangMU
aku adalah pendosa di bawah kaki gunung maksiat

kata orang
aku tak layak berteduh di pohon maafMU
apatalah lagi berenang di samudera ampunanMu
aku adalah pendosa berbaju kesombongan

kata orang
aku tak layak mencium bau surgaMu
apatalah lagi meminum telaga KautsarMu
aku adalah pendosa buat para tetangga

tapi kataMu

rahmatMU adalah bilangan yang tak terhingga

pada hambaMu yang terpilih

oh, di tepian maut yang mencekik leher

aku sungkurkan hidupku yang tinggal sedikit

aku tak mau menjadi fir’aun

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

Diikutkan dalam lomba menulis puisi Al Amanah Fair Kementerian Keuangan

 

Gambar dari sini.

m u h a s a b a h


muhasabah


saat KAU tiada di hati

gelisah itu sudah pasti,

nelangsa apalagi,

sepi mesti,

sedih tak pernah menyisih,

perih tibalah merintih

apalagi setelah ini?

sajadah panjang dicari-cari

sepertiga malam ditelikung berdiri

untuk qalb menjadi suci

putih

itu jika taubatku KAU kehendaki

aduuuh

jika tak

hiduplah yang perlu disesali

Rabb, bisakah aku dapatkan pintu surgawi

dengan kantung penuh duniawi

bekal yang tanpa isi

di hari ini

dalam kesendirian di lain sisi

sebuah introspeksi

menjadi setengah mati

untuk menggapai cintamu Ilahi

terimalah

terimalah

terimalah

***

 

Riza Almanfaluthi

10.53 Lantai 19 24 Juni 2011

Diikutkan dalam Lomba Menulis Puisi Al Amanah Fair Kementerian Keuangan

P A K U


paku

*


kata-kata

hangus terbakar oleh pening

pada tengah malam yang mengguncang jiwa

karena sepinya

karena rapuhnya

sebentar lagi sepertiga malam terakhir anggun datang

seperti khalifah berdiri di atas karang kemenangan

di setiap medan-medan pertempuran

aku menggigil dipeluk bekunya air wudhu

aku tak menyerah pada detik-detik yang memanggul lena

pada hangatnya selimut

pada empuknya tilam

pada gemerlapnya mimpi

dan lalu aku ciumi sudut-sudut sajadah di setiap milimeternya

menyatukan diri, berusaha moksa,

mikraj mencariMu

dipilin dengan ribuan pinta usir derita

ribuan harap penuh ratap

“masih Kau dengar semuanya ini Rabb?”

dari hambaMU yang berpaku dosa di sekujur tubuh

***

Riza Almanfaluthi

Diikutkan dalam Lomba Menulis Puisi Al Amanah Fair Kementerian Keuangan

Juni 2011


Sumber gambar


Mata Api


mata api

**

 

 

 

 

 

 

aku dekap hujan yang datang seketika padaku di sore hari ini

ia menangis, mengadukan berpuluh kesah

karena sungai yang tak mau terima

pohon yang tak mau tumbang

awan yang tak mau hitam

dan tanah yang tua

ia tak tahu

kalau aku

harusnya yang dipeluk

karena setangkai biru berduri

yang mendadak menusuk jantungku

hingga menembus tulang belakang, dan aku

hanya bisa merintih, merintih, dan merintih tak berkesudahan ini

lalu aku tatap hujan

tepat pada sepasang bola matanya

menembus ke relung terdalam

dan aku masuk ke labirin menyesatkan

yang tak tahu ujung dan arahnya

mencari sebuah tanya, bukan jawab

sembari itu aku masih lihat di sudut matanya

ada bening yang bertengger abadi

tidak butuh untuk jatuh dan lalu sirna

agar tetap menjadi saksi akan sebuah peristiwa

di saat itulah aku tergugah

bagaimana mungkin akan ada jawab jika tak ada tanya

aku hanya terdiam

saat isak menjadi iramanya

bahkan saat aku menjadi api

lihat !

aku adalah api yang dipagut hujan

tetap membara
sampai aku lipat dirinya

mengalungkannya di atas leher

dan berjalan menuruni tebing

di bawah sana

ada jeram yang kuat

untuk aku terjun

dan pergi ke laut

aku menjadi salmon

bermantel hujan

bersisik biru

dengan sepasang mata api

:dengarkan aku

***

Riza Almanfaluthi

4 Ramadhan 1432 H
Kebahagiaan adalah kesedihan yang salah tempat.

Gambar

baut


baut


dalam ramai

di atas jembatan penyeberangan

ada sedih terlukis di tangan-tangan lusuh hitam dan bau

tengadah dan sedang menunggu lemparan kertas bergambar para pahlawan

atau koin logam yang berisik jika timpa pada mangkuk-mangkuk jelek

gurat hidup yang durjana terpatri pada wajah ibu

di samping anak perempuan yang lelap dipeluk bulan

pak bu

sedekahnya buat makan

terucap getir mengguncang malam-malam yang lapar

dari apa yang sudah terkumpul

banyak atau sedikit

mustad’afinlah mereka

dan hidup tak berhenti di situ

di bawah jembatan

sudah menunggu laki-laki bermuka minyak

menunggu setoran

ah…di mana-mana laku culas selalu ada

aku rindu Umar al Faruq membawa sekarung gandum di tengah malam

kini para Umar itu masih bergelut dengan selimut hangat

kasur empuk, tv kabel, dan satpam yang menjaga

tak jauh-tak jauh

dari jembatan penyeberangan itu

dan aku hanya baut padanya

tak bisa berbuat apa-apa

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

17 Juni 2011

Ikut disertakan dalam Lomba Menulis Puisi Alamanah Fair Kementerian Keuangan

Sumber gambar: di sini