Kenapa yang Pertama Iwojima?


image

Sebelumnya sudah kebayang nanti kalau sudah sampai di toko buku itu saya bisa sepuasnya beli setiap buku. Tapi pada kenyataannya tetap saja yang saya beli adalah buku-buku yang benar-benar akan saya habiskan untuk satu bulan ini.

Kemarin Ayyash sudah saya bebaskan untuk beli apa saja. Eh dia cuma beli komik Naruto edisi terakhir. Dan beli mainan congklak atawa dakon atawa mancala yang dikombinasi dengan permainan kayak scrabble. Harganya diskon 50%. Kinan bagaimana?

Kinan sudah uring-uringan tak mau ke toko buku itu. Enggak ding. Awalnya mau eh pas lewat suatu mal berubah haluan dah niatnya untuk ke toko buku. Pengennya ke tempat bermain yang ada di mal itu. Tapi seberapa banyaknya tetesan airmatanya yang saya usap dari pipinya tetap tak menggoyangkan niat saya. 🙂 Maaf ya Nak…pan sudah pekan lalu kita mampir ke sana.

Setelah ngambeknya mereda seperti biasa dia jelajahi ruangan toko buku dan mengambil buku mewarnai dan buku latihan menempelkan stiker. Bahkan dia ambil tiga buku, lebih banyak daripada yang diambil kakaknya.

Beberapa buku terjemah juz 30 diambil Ummu Haqi, istri saya yang bernama Ria Dewi Ambarwati ini. Cuma itu bae. Tak ada yang lain. My beloved rose ini sudah sibuk jaga Kinan yang kemana-mana jadi tak sempat lihat-lihat buku secara mendalam.

Sekarang apa yang saya beli? Sudah saya twitkan kemarin kalau saya menemukan bukunya Malcolm Gladwell di toko buku itu. Saya tahu Malcolm Gladwell semasa saya menerima hadiah dari Direktorat Jenderal Pajak saat memenangkan juara pertama Lomba Menulis Artikel Perpajakan Tahun 2012. Dari beberapa hadiah yang saya terima itu ada buku judulnya Outliers. Ditulis oleh Gladwell itu. Langsung dah kepincut sama dia. Tak perlu berpikir dua kali untuk ambil What the Dog Saw. Eeh…pas mau bayar ketemu lagi sama bukunya yang lain: Blink. Saya Ambil juga.

Gladwell itu memberikan yang baru dalam memandang sesuatu. Cara dia bagaimana mendefinisikan sukses di Outliers itu bagus banget. Kisah-kisah nyata yang ditulis di sana dibuat dalam gaya jurnalistik investigatif. Sangat Menarik. Intinya: darinya saya mendapatkan banyak ilmu dan kisah baru. Begitu yah kalau orang sudah punya kualitas menulis yang bagus maka untuk buku selanjutnya bisa jadi jaminan mutu sampai saya borong semua bukunya.

Hal sama saat saya beli buku tentang Karmaka Surjaudaja, pendiri OCBC NISP yang berjudul Tidak Ada yang Tidak Bisa. Kalau buku itu tidak ditulis oleh Dahlan Iskan saya tak akan mungkin membelinya. Saya suka buku yang ditulis Dahlan Iskan karena cara berceritanya bagi saya yang kayak “ngedongengin”. Bikin semangat. Bikin tumbuh banyak harapan.

Dua buku lain adalah tentang Perang Dunia II. Pertempuran di salah satu “hotspot”nya: Samudra Pasifik. Saat prajurit Amerika merebut Guadalcanal dan Iwojima dari tangan serdadu Jepang penguasa pulau pada waktu itu. Saya sudah punya film dokumenter perebutan Iwojima itu. Nah saya ingin melengkapi kajian pertempuran tersadis yang pernah ada ini dari bukunya.

Buku terakhir adalah buku seputar rahasia dan skandal yang pernah terjadi di Vatikan yang dilakukan para pausnya. Sejak awal berdirinya Vatikan sampai sekarang. Harganya didiskon hingga cuma Rp27 ribu kurang sedikit.

Nah itu beberapa buku yang saya beli di bulan ini. Dan saya yakin buku-buku itu adalah buku-buku yang bisa saya baca sampai khattam. Serta manfaat buat saya. Buat apa? Yakni untuk memenuhi dahaga intelektualitas (jiaaa…) saya, menghilangkan lapar kepenasaran saya tentang sejarah dunia, dan menyerap ilmu cara menulis yang baik.

Dan ngomong-ngomong tahu tidak, dari semua buku itu buku apa yang pertama kali saya baca? Tepat sekali… Iwojima 1945. Jangan tanya kenapanya. Karena tidak semua harus ditanyakan dengan kata “why”.

Sekian.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara.

Ummulqura, Bogor.

Ditulis pada smartphone pada program thinkfree.

11.20 16 Desember 2012

TIPS MENULIS: CARI PATOK DUGA


 

Bagi saya membagi “Mel” kepada yang lain melalui jalur pribadi adalah sebuah proses perpindahan ilmu. Dan sungguh saya tak keberatan. Sila untuk ditelaah lebih dalam mengapa “Mel” menjadi yang terbaik pada momen itu. Sila untuk ditiru: gaya bahasa, cara bertutur, dan kejutannya.

Bagi yang sedang belajar menulis, proses meniru adalah sebuah keniscayaan, bahkan jalan mula untuk menemukan gaya menulisnya sendiri kelak. Jadi, seperti banyak penulis profesional sering katakan: carilah benchmarking. Jadikan satu-dua penulis yang disukai menjadi patok duga. Fokus, baca pelan-pelan, dan amati bagaimana mereka menyuguhkan keindahan berbahasa dan bercerita.

image

(Sumber gambar: Deviart art, photo by brianmiller72)

Maka saya menemukan Dahlan Iskan, Goenawan Mohammad, dan Radhar Panca Dahana adalah Istana Sulaiman yang penuh manik-manik dan permata kata-kata. Mereka adalah patok duga. Membaca Dahlan Iskan seperti membaca sebuah kelugasan, selipan humor, masakan tanpa bumbu sastra, tampilan apa adanya. Dan kekuatan yang diberikan selesai membacanya adalah selalu tumbuhnya harapan dan optimisme yang sepertinya mulai pudar ditelan skeptisme akan kondisi negeri. Inilah hebatnya ia.

Lain halnya Radhar Panca Dahana yang bermain-main dengan diksi yang kaya. Sungguh-sungguh kaya. Bagaimana dengan Goenawan Mohammad? Ayo kita tamasya pada keluasan referensi saat membaca catatan pinggirnya, gaya bahasa yang mengilap dan memuisikan itu. Walau ia dianggap bukanlah seorang sastrawan oleh seorang Saut Situmorang.

Selain patok duga, saya mengajak tak henti-hentinya kepada Anda yang ingin belajar mengolah kata untuk segera angkat ‘pena’ sekarang juga, celupkan ia pada tinta hitam, dan tuliskan di selembar kertas putih, tuangkan segala yang dirasa, yang dipikir, di atasnya. Tanpa perlu membuang-buang waktu berpikir tentang si A, si B, si C yang karyanya bisa menjuarai perlombaan, memenangkan penghargaan, ataupun masuk koran.

Tahukah Anda kalau Wolfgang Amadeus Mozart yang musisi dan komponis besar itu menghabiskan 10.000 jam untuk berlatih. Begitu pula Bill Joy, seorang pencipta bahasa pemrograman Java dan pendiri Sun Microsystems menghabiskan lebih dari 10.000 jam juga untuk berlatih membuat program dan menjadikan dirinya dianggap “an American computer scientist” serta menjadi legenda.

Kalau Anda cuma melihat keberhasilan seseorang dari bagaimana ia maju ke panggung menerima penghargaan ataupun kekayaannya yang bertambah, maka sesungguhnya ada yang dilupakan oleh Anda yaitu proses mendapatkannya. Ini seperti Anda yang hanya kagum saat melihat tukang batu berhasil meremukkan batu sebesar gajah pada pukulan yang ke-1000. Anda tidak melihat ada 999 pukulan sebelumnya yang turut menentukan, atau pada pukulan pertamanya. Dan seringkali pukulan pertama itu yang enggan untuk diayunkan. Dengan berbagai alasan tentunya.

Malam ini, saya mengajak Anda yang ingin menjadi penulis hebat untuk: yang pertama, mencari patok duga dan yang kedua, berlatih sekarang juga. Menerima tantangan ini?

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

masih terus belajar dan berlatih

ditulis pertama kali untuk kompasiana.com

di:

http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/02/tips-menulis-cari-patok-duga-506076.html

01 November 2012

tags:

Bottom of Form