Kangen Tak Berkesudahan


image

Kinan dan Ayyasy kangen sama Abinya yang lagi kondangan di Magelang. Malam ini lagi cari makan malam di Jogja. Insya Allah senin malam kita ketemu. Soalnya senin dinihari diperkirakan baru sampai kantor jadi langsung sidang dulu. Sidang-sidang terakhir di Pengadilan Pajak sebelum pindah ke Subdirektorat Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan Dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak. Robbi ‘anzilni munzalan mubarokan wa anta khoirun munzilin.

Akhwat Ngambekan


image

Kinan lagi ngambek. Diminta makan tak mau. Maunya main scooter-an.

Video Detik-detik Asy-Syahid Al-Bouty.


Sedih, semoga Allah memberi kesyahidan kepada beliau. Ya Allah terimalah ia sesuai dengan amal baiknya. Berikanlah surgaMu kepada pejuang agamaMu. Dan hukumlah yang menzaliminya. Amin.

Yogyakarta Bukan Mangga Besar 2.0


Islamedia –  Belum genap tiga minggu kejadian penyerbuan puluhan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Artileri Medan 15/105 Kodam II Sriwijaya terhadap Mapolres Ogan Komiring Ulu (OKU), terjadi kembali penyerbuan 11 oknum anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) terhadap Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta (23/3).

Bedanya, korban kekerasan adalah masyarakat sipil—terlepas statusnya sebagai apa. Empat orang tersangka pembunuh Sersan Kepala Heru Santoso, tewas dibantai dengan 31 peluru tajam yang dimuntahkan oleh gerombolan bersenjata di luar garis komando. Jiwa semangat korsa antarprajurit dengan semangat balas dendam yang menyengat.
Saya akhirnya terketuk untuk menulis setelah lama merutuki tentang tidak tegaknya hukum di negeri ini. Kisah pengakhiran hidup manusia ala film-film Hollywood ini adalah sebuah bentuk kekejian hingga menimbulkan keprihatinan yang mendalam bagi kita. Serupa dengan kebengisan yang ditunjukkan oleh 10 orang di Hugo’s Cafe dengan cara memukuli, menendang, memukuli dengan botol minuman keras, sampai menyeret-menyeret Heru Santoso saat terluka, hingga tewas.
Pendapat saya ini terlepas dari laku premanisme yang memang wajib diberantas, empati kepada Iin, Istri Heru Santoso yang hamil delapan bulan anak pertama mereka, harapan kepada Polri untuk bisa bekerja secara profesional, dan juga kecintaan serta dukungan kita kepada kesatuan elit republik ini, Kopassus.
Kemana Supremasi Sipil?
Pertama, penyerbuan oleh oknum Kopassus ke LP Cebongan hingga membawa korban jiwa itu adalah sesungguhnya menyerang kewibawaan supremasi masyarakat madani yang digadang-gadang sejak reformasi itu bermula. Mengutip Rene L Pattiradjawane (Kompas, 5/4) pembantaian LP Cebongan adalah Petrus 2.0 yang berbeda motivasi. Tujuannya mengukuhkan kekejaman dan membuat takut rakyat sekaligus pelan-pelan menghancurkan bangsa ini dalam rangka membangun oligarki bersenjata menguatkan kartel militer.
Pesan serupa:“Awas! jangan macam-macam dengan kami.” ini jelas menunjukkan bahwa hukum macam apapun tak akan mampu untuk bisa menyentuh mereka. Hukum sipil tak akan berlaku kepada mereka. Sistem peradilan militerlah yang akan menanganinya. Dan kita tahu bahwa peradilan militer seringkali tidak memberikan hukuman yang maksimal kepada para pelanggar hukum yang melibatkan anggota militer.  Efek hukum yang seperti ini bisa jadi memicu mereka untuk bergerak melakukan pembalasan keji.
Padahal kalau diingat, sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel.
Pada pasal 65 ayat (2) UU yang sama menegaskan bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan UU. Masalahnya pembahasan revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer antara DPR dan pemerintah sejak tahun 2006 selalu menemui jalan buntu, karena pemerintah bersikeras semua tindak pidana prajurit TNI dibawa ke pengadilan militer.
Aniaya Asas Praduga Tak Bersalah
Kedua, pesan yang tertangkap lainnya adalah hukum itu nomor entah yang keberapa, yang terpenting adalah pembalasan dengan hukum rimba. Asas praduga tak bersalah diinjak-injak sedemikian rupa—walau selama ini pun asas hukum ini terkoyak-koyak oleh media yang melakukan pembunuhan karakter seolah-olah terbukti bahwa para tersangka sudah pasti menjadi orang-orang yang bersalah sebagai pelaku kriminal.
Pasal 8 UU Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, menegaskan tentang asas praduga tak bersalah ini: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.”
Kita tidak tahu, kadar kesalahan dari keempat orang tersangka itu. Apakah mereka mempunyai kadar kesalahan  yang sama atau berbeda. Inilah fungsi dari sistem peradilan untuk membuktikannya. Sehingga akan terkuak mana yang berperan lebih besar dalam peristiwa pembunuhan terhadap Sersan Kepala Heru Santoso. Vonis hukumnya tentu berbeda masing-masing. Penyerbuan oleh oknum prajurit Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah, ini sudah jelas menafikan hal itu.
Copy-Paste
Ketiga, tindakan ini pun adalah cerminan dari ketidakpercayaan masyarakat kepada hukum yang berlaku di Indonesia. Alih-alih memberikan hukuman yang berat kepada pelaku kriminal, para penegak hukum ikut ‘bermain’ yang dimulai sejak tahap penyelidikan sampai pemenjaraannya entah dengan motif politik ataupun ekonomi—walau dengan ini masyarakat terusik rasa keadilannya. Bahkan penjara tak mampu menjerakan melainkan menjadi tempat penggemblengan dan penginternalisasian nilai-nilai kriminal.
Yang perlu dikhawatirkan lagi atas tindakan ini adalah masyarakat sipil lain bisa meniru-nerapkannya. Sekelompok orang bersenjata atau mereka yang tanpa senjata tetapi mampu mengumpulkan masyarakat dalam jumlah sangat banyak dapat kembali mengulang peristiwa LP Cebongan untuk menyerbu, membakar, membunuh sebagai upaya balas dendam kepada para tersangka.  Kita tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika hal ini terbukti, hancur sudah sistem hukum di negeri ini. Berapa banyak lagi korban jiwa yang akan melayang?
Momentum Tepat
Pada Kamis (4/4) lalu, konferensi press oleh Tim Investigasi TNI AD yang diketuai oleh Brigjen Unggul Yudhoyono yang mengumumkan 11 tersangka penembakan empat tahanan di LP Cebongan telah memberikan preferensi kepada kita tentang hal apa saja yang perlu dilakukan agar kejadian ini tidak terulang lagi.
Momentum ini adalah saat yang tepat agar seluruh komponen bangsa kembali kepada aturan hukum yang berlaku dan tegak kepada siapa pun. Pembahasan revisi UU Peradilan Militer harus segera dilakukan sebagai amanat dari UU TNI yang menjunjung tinggi adanya supremasi masyarakat sipil. Premanisme adalah catatan penting untuk Polri agar sungguh-sungguh memberantasnya, bukan malah memeliharanya.
Akhirnya menjadi perhatian bagi pemerintah provinsi DI Yogyakarta untuk kembali menata pusat-pusat hiburan malam. Sungguh, tanpa keberadaannya DI Yogyakarta pun tidak akan pernah mati menjadi kota pelajar dan tujuan wisata. DI Yogyakarta adalah ikon aman dan tenteram. Bukan Mangga Besar 2.0.
Riza Almanfaluthi

Ketika Bintang-bintang Menjadi Kunang-kunang


 

 

Hai Ma…

Puisi Rendra.

Sudah tak ada yang bisa dikomentari lagi atas puisi ini kecuali menikmati keindahannya dalam rasa. Sudah tak ada yang bisa ditulis lagi atas puisi ini kecuali menikmati setiap aliran deras kata-kata. Sudah tak ada yang bisa…ah Sudahlah.

 

 

Hukum Membaca dan Menulis Cerita Fiksi, Haram?


Mencoba memunculkan kembali.

Riza Almanfaluthi's avatarRiza Almanfaluthi

HUKUM MEMBACA DAN MENULIS CERITA FIKSI,
HARAM?

A.Pendahuluan

Dalam sebuah forum diskusi yang membahas sebuah cerita fiksi, ada sebuah celetukan
yang muncul di sana seperti ini, “Tulisan bohong seperti itu memang bermanfaat?” atau dengan celetukan yang
lain seperti ini, “namanya juga khayalan yang diperhalus dengan kata imajiner.”

Bagi saya, celetukan-celetukan tersebut adalah sesuatu yang wajar, karena tidak
semua orang harus dipaksa untuk dapat menyukai sesuatu apalagi sebuah tulisan. Bahkan dengan keterusterangan yang
dilontarkan oleh yang lain dengan mengatakan ketidaksukaannya pada fiksi, saya anggap sebuah kewajaran juga.

Namun menjadi tidak wajar jika ketidaksukaannya tersebut bercampur dengan sinisme
yang berlebihan sehingga menganggap penulis dan pembaca fiksi menjadi orang-orang yang terlena dan jatuh dalam
kesia-siaan serta kedustaan. Apalagi dilatarbelakangi kebencian terhadap penulisnya karena berbada harakah, atau
penulisnya tersebut adalah bagian dari ahlul bid’ah. Subhanallah…

Sinisme inilah yang nantinya akan menghambat banyak orang atau pemula dalam
kepenulisan yang sudah memutuskan menulis fiksi sebagai…

View original post 2,393 more words

janaka mencari jejak


janaka mencari jejak

**

mencari jejakmu di rerimbunan nafas

adalah aku tanpa kresna di kurusetra

pada siapa hujan pamit hunjamkan ode-ode purba

ghaibkan semua

petang memanggang menang

redupkan genderang perang

panah-panah patah jadi jumlah tak terbantah

setelahnya, aku merinjani dalam luruhmu

seperti supraba yang mengerang padaku:

kau bukan pandawa

***

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

12 Januari 2012

 

gambar diambil dari sini

PENGURUSAN VISA HAJI


PENGURUSAN VISA HAJI

 

    Sebenarnya tahap ini adalah tahap setelah pemeriksaan kesehatan pertama, cuma saya lagi malas menuliskan yang tahap itu maka saya langsung shortcut ke tahap pengurusan visa haji ini. Saya tidak tahu kenapa kok kita diikut-ikutkan dalam pengurusan visa ini. Bukankah semuanya diurus oleh Kantor Kementerian Agama?

    Yang pasti dalam setiap manasik dari awal sampai akhir hal ini tidak pernah disebut oleh pihak Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor padahal biasanya kalau ada tahapan penting yang harus dilalui oleh calon jamaah haji pasti diberitahukan dengan jelas dan berulang-ulang. Contohnya masalah pembuatan passport dan pemeriksaan kesehatan.

    Tahap pengurusan visa ini pun saya tahunya dari teman saya—lagi-lagi Teteh Bairanti Asriandhini, terima kasih Teh atas informasinya—via gtalk. Itupun karena saya tak sengaja menyapanya dan tahu-tahu diberitahu tentang info itu. Waktu itu pas bulan puasa tepatnya dua minggu menjelang lebaran.

    Pada dasarnya tahap pengurusan visa ini hanyalah sekadar mengumpulkan dokumen-dokumen yang diperlukan ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor dan membayar macam-macam iuran atau infak.

    Dokumen apa yang harus dipersiapkan?

  1. Foto 4×6 sebanyak 4 lembar;
  2. Foto 3×4 sebanyak 16 lembar;
  3. Fotokopi Setoran BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) sebanyak 1 lembar;
  4. Fotokopi SPPH (Surat Pendaftaran Pergi haji) sebanyak 1 lembar.

     

Serahkan semua dokumen itu ke petugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor. Petugas di sana akan mencari passport kita dan diberi label merah—ini info dari Teh Bairanti. Ternyata pada saat saya ke sana passport saya katanya sedang diurus visanya. Nah loh…bingung bukan? Tidak ada pemberian label-label merahan segala.

Lalu kita diminta oleh petugas di sana untuk pergi ke koperasi untuk membayar sejumlah uang. Tepatnya sebesar Rp275.000,00. Uang itu untuk apa? Ternyata untuk beberapa hal ini:

  1. Bahan pakaian seragam nasional dan logo;
  2. Iuran F-K3CH (saya tak tahu kepanjangannya apa);
  3. Iuran IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) Kabupatan Bogor;
  4. Iuran PMI (Palang Merah Indonesia);
  5. Infak Bazis (Badan Amil Zakat Infak Shadaqah) Kabupaten Bogor;
  6. Infak MUI (Majelis Ulama Indonesia) Kabupaten Bogor.

Besaran masing-masingnya saya tidak tahu. Gelondongan semua dalam satu kuitansi seperti foto di bawah ini dan ada cetakan tanda tangan dari Bendahara IPHI, MUI, BAZ, dan FKBIH Kabupaten Bogor.

    Setelah mendapatkan kuitansi itu maka jangan lupa untuk difotokopi terlebih dahulu kuitansinya. Fotokopi itu lalu diserahkan kepada petugas untuk ditukarkan dengan buku paket bimbingan manasik haji yang terdiri dari dua buku: buku Tuntunan Praktis Manasik Haji dan Umrah serta buku Do’a, Dzikir, dan Tanya Jawab Manasik Haji dan Umrah. Lalu kita dimintai tanda tangan sebagai bukti penerimaan paket buku itu. Selesai.

    Ohya jangan lupa kuitansi aslinya disimpan dengan baik dan jangan sampai hilang karena kata petugasnya, asli kuitansi itu sebagai syarat pengambilan kopor haji. Sebenarnya sudah menjadi hak kita untuk mendapatkan kopor haji itu dengan atau tanpa kuitansi infak.

    Sedikit tentang batik nasional itu. Ada cerita dari calon jamaah haji lain kalau harga batik di koperasi itu lebih mahal dibandingkan di luaran. Makanya ada yang beli satu saja di koperasi sedangkan yang lainnya beli di tempat lain. Kalau saya karena tidak ada waktu untuk membeli di tempat lain biarlah saya beli di koperasi. Itung-itung juga menyejahterakan pegawai Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor yang telah membantu banyak calon jamaah haji Kabupaten Bogor. Asalkan jelas kepentingan dan peruntukkannya untuk apa saja saya bersedia.

    Semoga informasi ini bermanfaat buat calon jamaah haji Kabupaten Bogor dan daerah lain. Sekadar untuk mempersiapkan diri agar tidak buta sama sekali. Tentu info akuratnya dapat diperoleh dari petugas yang ada di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor.

    Tulisan selanjutnya adalah tentang pelunasan biaya haji. Insya allah dalam waktu dekat jika Allah masih memberikan nafas pada saya. Kurang lebihnya mohon maaf. Wassalam.

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

20.49 – 06 September 2011

 

Tags: pengurusan visa haji, bairanti asriandhini, bpih, spph, bazis, pmi, f-k3ch, iphi, mui, baz, fkbih kabupaten bogor, kantor kementerian agama kabupaten bogor.

Krupuk Mlarat


Krupuk Mlarat

    

Kalau pulang kampung maka yang saya cari adalah krupuk mlarat. Lebaran kali ini, pas silaturahim ke rumah bibi, selain masakan khas lebarannya ternyata ia telah menyediakan krupuk kesukaan saya itu. Krupuk yang digoreng di atas pasir panas dan harganya murah itu menjadi pelengkap hidangan yang pas.

 

 

Riza Almanfaluthi

09.28 06 September 2011

Diikutkan di Share Stories Indosat

http://ads2.kompas.com/indosatsenyum/share_detail.php?idartikel=190

Di like aja… J

Gambar diambil dari sini.

CERITA MUDIK BOGOR SEMARANG 21 JAM LEBIH


CERITA MUDIK BOGOR SEMARANG 21 JAM LEBIH

 

Ramadhan, mudik, dan baliknya sudah berlalu. Saatnya menatap hari esok untuk menekuni rutinitas dan pekerjaan kembali. Namun masih ada bagian cerita yang belum sempat untuk dituliskan di sini. Oleh karenanya izinkan saya untuk mengisahkan sedikit perjalanan mudik kami.

    Cuti bersama dimulai dari hari Senin, Kamis, dan Jum’at. Ditambah satu hari lagi cuti tahunan pada hari Senin pekan depannya sehingga kalau ditotal jenderal jumlah hari libur yang saya ambil –dari tanggal 27 Agustus s.d. 5 September—adalah sebanyak 10 hari.

    Karena masih banyak tugas yang harus diselesaikan terutama masalah pengumpulan dan pembagian zakat di Masjid Al-Ikhwan maka saya putuskan untuk memulai perjalanan mudik itu pada Sabtu malam Ahad tepatnya pukul 00.00. Karena memang tugas penghitungan ZIS baru selesai jam setengah 12 malam. Pada menit ke-40 selepas tengah malam kami pun berangkat.

    Kilometer sudah dinolkan, tangki bensin sudah dipenuhkan, shalat safar tertunaikan, shalawat sudah dipanjatkan, perbekalan sudah disiapkan, dan fisik sejenak sudah diistirahatkan maka perjalanan dimulai dengan menyusuri terlebih dahulu tol Jagorawi lalu ke Lingkar Luar Cikunir sampai ke tol Cikampek.

    Keberuntungan di tahun lalu tidak berulang di tahun ini. Selepas pintu tol Cikopo mobil kami dialihkan ke jalur kanan untuk melewati Subang karena pertigaan Jomin macet total. Padahal rencana kami adalah untuk singgah dulu di tempat bibi, Lik idah, di Segeran Indramayu. Kalau melalui jalur tengah—Cikopo, Subang, Cikamurang, Kadipaten, Palimanan—sudah pasti kami harus memutar terlalu jauh ke Segeran.

    Sebelum masuk Kalijati Subang saja sudah macet total. Kami pun mematikan mesin mobil. Jam sudah menunjukkan setengah empat pagi ketika kami memulai sahur di atas kendaraan. Kami sudah bertekad untuk tidak mengambil dispensasi untuk tidak berpuasa pada saat menjadi musafir.

Karena saya merasakan betul kenikmatan berbuka di saat orang lain tidak berpuasa dan godaan tawaran pedagang asongan dengan minuman dingin yang berembun di siang terik, apalagi di tengah kemacetan yang luar biasa. Syukurnya Haqi dan Ayyasy juga mau untuk sahur dan berpuasa. Kebetulan pula mobil kami tepat berhenti di depan masjid, sehingga ketika adzan shubuh berkumandang kami dengan mudahnya memarkirkan mobil dan shalat.

Setelah shalat kondisi jalanan ke arah Subang sudah tidak macet lagi. Arah sebaliknya yang menuju Sadang yang macet. Kami melewati Subang menuju Cikamurang dengan kecepatan sedang. Menjelang matahari terbit kami melewati perkebunan pohon-pohon Jati. Indah sekali pemandangan yang terekam dalam mata dan benak menyaksikan matahari yang mengintip di sela-selanya. Dan sempat tertuliskan dalam sebuah puisi yang berjudul Terperangkap. Saya rekam dengan menggunakan kamera telepon genggam dan unggah segera ke blog.

Sebelum Cikamurang kami lewati, lagi-lagi kendaraan kami dialihkan dari jalur biasanya ke arah jalur alternatif. Tentunya ini memperpanjang jarak dan waktu yang kami tempuh sampai Kadipaten. Kemacetan yang kami temui selepas Cikamurang sampai Palimanan hanyalah pasar tumpah. Terutama pasar tumpah di Jatiwangi dan Pasar Minggu Palimanan.

Setelah itu kami melewati jalur tol Kanci Palimanan melalui pintu tol Plumbon. Di tengah perjalanan karena mendapatkan informasi dari teman—yang 15 menit mendahului kami—via gtalk bahwa di pintu tol Pejagan kendaraan dialihkan arusnya menuju Ketanggungan Timur dan tidak boleh ke kiri menuju Brebes maka kami memutuskan untuk keluar tol melalui pintu tol Kanci.

Tapi jalur ini memang padat sekali. Kalau dihitung jarak Kanci hingga Tegal ditempuh dalam jangka waktu lebih dari 3 jam. Jam sudah menunjukkan angka 15.15 saat kami beristirahat di SPBU langganan kami, SPBU Muri, tempat yang terkenal dengan toiletnya yang banyak dan bersih. Shalat dhuhur dan ashar kami lakukan jama’ qashar. Haqi dan Ayyasy sudah protes mau membatalkan puasanya karena melihat banyak orang yang makan eskrim dan minum teh botol. Kami bujuk mereka untuk tetap bertahan. Bedug buka sebentar lagi. Sayang kalau batal. Akhirnya mereka mau.

Setelah cukup beristirahat kami langsung tancap gas. Jalanan lumayan tidak penuh. Pemalang kami lewati segera. Kami memang berniat untuk dapat berbuka di Pekalongan. Di tempat biasa kami makan malam seperti mudik di tahun lalu. Di mana coba? Di alun-alun Pekalongan, sebelah Masjid Agung Al-Jami’ Pekalongan, tepatnya di Rumah Makan Sari Raos Bandung. Yang patut disyukuri adalah kami tepat datang di sana pas maghrib. Beda banget dengan tahun lalu yang maghribnya baru kami dapatkan selepas Pemalang.

Rumah makan ini khusus menjual ayam kampung yang digoreng. Sambalnya enak. Tempatnya juga nyaman. Ada lesehannya juga. Kebetulan pula pada saat kami datang, kondisinya padat banyak pengunjung, dan anehnya kami dapat tempat paling nyaman yang ada lesehannya. Persis di tempat kami duduk setahun yang lalu.

Cukup dengan teh hangat, nasi yang juga hangat, sambal dan lalapan, satu potong ayam goreng, suasana berbuka itu terasa khidmatnya. Yang membuat saya bahagia adalah Haqi dan Ayyasy mampu menyelesaikan puasanya sehari penuh.

Setelah makan dan istirahat kami langsung sholat maghrib dan isya. Walaupun tempat sholat sudah disediakan di rumah makan itu, saya dan Haqi berinisiatif shalat di Masjid Agung Al-Jami’ Pekalongan. Waktu itu suasana masjid ramai karena dekat dengan alun-alun yang sesak dipenuhi pedagang dan pusat perbelanjaan. Kami sempat merekam gambar menara masjid tua ini.

Selepas adzan ‘isya kami segera berangkat kembali untuk menyelesaikan kurang lebih 102 km tersisa perjalanan kami. Batang kami lewati tanpa masalah. Kendal pun demikian. Saya yang tertidur tiba-tiba sudah dibangunkan karena mobil kami ternyata sudah sampai di rumah mertua di daerah Grobogan dekat stasiun Poncol.

Perjalanan kami belum berakhir karena kami memang berniat menginap di rumah kakak. Sekarang gantian saya yang menyetir menuju Tlogosari, Pedurungan. Tidak lama. Cuma 15 menit saja. Akhirnya tepat pada pukul 21.45 kami pun sampai di tujuan.

Wuih… lebih dari 21 jam lamanya perjalanan mudik ini. Saya sempat berpikir lama–kelamaan jarak Bogor Semarang susah untuk ditempuh dalam jangka waktu 12 jam atau lebih sedikit. Tidak seperti di tahun 2007 lalu waktu kami berangkat jam enam pagi sampai di Semarang sekitar pukul tujuh petang dengan suara takbir menggema dan kembang api menghiasi langit.

Tapi apapun yang kami lalui yang terpenting penjalanan itu bisa ditempuh dengan selamat. Saya yakin shalawat yang kami lantunkan menjadi salah satu faktor utama keselamatan kami. Dan berujung pada kebahagiaan kami di lebaran bersama keluarga di kampung. Semoga cerita mudik Anda pun berakhir bahagia.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

00.37 WIB

6 September 2011

 

Diupload pertama kali di http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/09/06/cerita-mudik-bogor-semarang-21-jam/

Tags: bogor, semarang, ramadhan, mudik, cuti bersama, masjid al-ikhwan, tol jagorawi, lingkar luar cikunir, tol cikampek, tol cikopo, subang, lik idah, segeran, indramayu, cikamurang, kadipaten, palimanan, kalijati, haqi, ayyasy, cikamurang, palimanan, jatiwangi, pasar minggu palimanan, tol kanci palimanan, plumbon, gtalk, pejagan, ketanggungan timur, brebes, spbu muri, pemalang, pekalongan, alun-alun pekalongan, masjid agung al-jami’ pekalongan, rumah makan sari raos bandung, batang, kendal, grobogan, stasiun poncol, tlogosari, pedurungan