
Takdir menyelamatkan Steven George Gerrard. Namun, tidak dengan sepupunya.
Seandainya ia mendapatkan tiket menonton secara langsung pertandingan sepakbola di semifinal piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest pada 15 April 1989, bisa jadi ia tidak akan pernah menjadi Kapten Sepakbola Liverpool dan tim nasional Inggris kelak.
Pertandingan yang diselenggarakan di Stadion Hillsborough, Sheffield, Inggris itu memicu kerusuhan. Sepupu Gerard menjadi bagian dari 96 orang pendukung Liverpool yang tewas. Dalam data statistik tragedi sepakbola dunia, kerusuhan itu menduduki peringkat tiga yang memakan korban nyawa manusia terbanyak. Sampai kemudian, peristiwa di Indonesia mengubah data itu.
Di Kanjuruhan, seharusnya malam itu adalah malam tamasya. Di akhir pekan, menonton sepakbola jadi ruang untuk menghilangkan kepenatan, menggapai kegembiraan bersama ribuan orang, dan sebagai bahan cerita di media sosial.
Namun, sayangnya itu menjadi tragedi. Kerusuhan terjadi. Ada 455 orang yang menjadi korban: 125 korban jiwa, 21 korban luka berat, dan korban luka ringan sebanyak 309 orang. Mereka menjadi korban kekerasan, kepengapan karena gas air mata, berdesak-desakan, dan terinjak-injak penonton yang panik.
Itu kemudian membuat kita terperenyak. Semula kita menduga, seperti biasanya, korban nyawa berasal dari kekerasan antarsuporter usai laga akbar pertandingan sepakbola. Ternyata ini menggabungkan semuanya. Kombinasi antara kekerasan (aparat keamanan dan suporter) sekaligus kepanikan.
Jumlah korban sebanyak itu mesti menjadi keprihatinan kita semua. Sepakbola yang harusnya membawa pulang keceriaan ke rumah-rumah penduduk Indonesia, sebaliknya membawa kepedihan dan kesedihan karena ada anggota keluarganya yang meninggal.
Meskipun satu yang menjadi korban, itu tetap menjadi tragedi. Tidak bisa diabaikan. Semurah itukah nyawa masyarakat Indonesia sehingga sekadar menjadi data statistik? Entah ratusan atau segelintir atau hanya satu nyawa yang menjadi korban pertandingan sepakbola, tidak boleh lagi itu terjadi. Tidak boleh mereka mati sia-sia. Nyawa kita sangatlah berharga.
Mestinya kita protes. Meminta pemerintah membenahi dengan serius persepakbolaan Indonesia: harus berprestasi dan mengakhiri tragedi. Tidak ada sepakbola seharga nyawa manusia. Begitulah keprihatinan kita usai kejadian itu.
Menyoal protes itu tiba-tiba kemudian masyarakat Indonesia seolah-olah menjadi masyarakat yang sadar pajak di media sosial. Seolah-olah. Iya betul, ini karena protes itu diselipkan dengan pesan untuk memboikot.
Usai kejadian Hillsborough, ada boikot terkenal dalam bentuk Don’t Buy the Sun. Surat kabar The Sun menuduh pendukung Liverpool biang keladi kerusuhan. Berdasarkan putusan pengadilan, penyebabnya tidaklah demikian adanya. Pendukung Liverpool terlanjur kecewa. Mereka memboikot The Sun.
Usai kejadian Kanjuruhan, muncul boikot pajak di dunia maya walaupun tidak masif. Warganet merasa mereka sudah membayar pajak, telah menunaikan kewajiban bernegara, maka mereka berhak untuk menuntut apa yang mestinya dilakukan oleh pemerintah.
Di sisi ini, kita bergembira. Masyarakat sudah semakin memahami transaksional antara negara dan warganegara yang biasanya hanya terjadi dalam masyarakat yang beradab dan patuh pajak. Buktinya ujaran berikut ini, “Saya sudah bayar pajak, sekarang saatnya saya menuntut hak saya kepada pemerintah.” Sembari mengutip pernyataan Oliver Wendell Holmes, Jr., “Taxes are the price we pay for civilization.” Mereka, para pembayar pajak itu, sejatinya sedang mengongkosi peradaban.
Ya, siapa pun mereka adanya. Seberapa pun jumlah pajak yang mereka bayar. Mereka sudah membayar pajak. Bukankah barang kebutuhan sehari-hari yang mereka beli di toko itu dipungut pajak untuk disetorkan kepada negara? Betul, melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mereka bayar.
Di sinilah kemudian kita memahami pula bahwa masyarakat kita sekarang ini semakin peduli dengan hak dan kewajiban perpajakan subjektifnya. Walaupun di sisi lain perlu sekali untuk meningkatkan kesadaran pajak objektifnya. Dengan kesadaran sendiri, mereka menghitung dan melaporkan kewajiban pajak penghasilan mereka dengan lengkap, benar, dan jelas.
Di sisi lain. Tidaklah bisa kemudian kita memopulerkan boikot pajak. Kalau itu sebagai tekanan kepada pemerintah untuk memperbaiki kinerja dan portofolionya bisa, tetapi untuk diwujudkan secara nyata maka tidak semestinya.
Manfaat pajak itu sudah nyata adanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia sampai detik ini. Ia menjadi sendi negara karena menopang sebagian besar penerimaan negara. Ia yang mengongkosi biaya kesehatan kita dan mengirimkan mahasiswa ke mana-mana untuk menggali ilmu di mancanegara untuk kemudian kembali membangun bangsa. Ini contoh kecil dan sedikit saja dari seabrek manfaat pajak.
Jargon yang tepat pada saat ini adalah lunasi pajaknya, awasi penggunaannya. Usai Kanjuruhan, tudingan dengan telunjuk mestinya tidak mengarah kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Institusi ini sekadar administrator pajak di negeri ini, hanya menjalankan tugas fungsinya untuk mengedukasi masyarakat dan mengawasi pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Pajak itu kemudian ditaruh ke kas negara dan menjadi bagian APBN untuk mengongkosi pembangunan.
Soal penggunaan dana pajaknya, maka itu menjadi tanggung jawab masing-masing kementerian atau lembaga negara sebagai satuan kerja. Di sinilah jargon awasi penggunaannya menjadi sangat relevan. Masyarakat sebagai pembayar pajak berhak mengawasi penggunaan dana pajak melalui mekanisme yang sudah ada: melalui parlemen, parlemen jalanan, atau parlemen maya di media sosial. Dalam koridor yang telah ditentukan undang-undang tentunya.
Maka, usai tragedi Hillsborough, ada perubahan radikal dalam persepakbolaan Inggris. Pagar tribun dihapus agar ada penonton bisa berlari menuju tempat lapang yang aman. Kursi penonton disediakan agar tidak ada lagi penonton yang berdiri berdesak-desakan. Ironisnya, semuanya menjadi variabel yang mematikan di Kanjuruhan.
Kanjuruhan mestinya menjadi titik tolak perubahan radikal persepakbolaan Indonesia. Ini hakikat idiom “lunasi pajaknya, awasi penggunaannya”. Pun, Kanjuruhan harus menjadi tragedi sepakbola terakhir. Untuk Indonesia dan dunia. Ini semua karena setiap tragedi adalah luka kemanusiaan yang tidak bisa dilupakan dan kesedihan yang teramat mendalam. Sampai kapan pun. Oleh siapa pun.
Steven Gerrard sampai kini jua tak bisa melupakan sepupunya.
***
Riza Almanfaluthi
Ditulis untuk INTAX Edisi 5 Tahun 2022
Editor: Ilham Fauzi
Gambar dari http://www.swfc.co.uk