Indonesia memiliki potensi ekonomi digital yang sangat besar. Beberapa di antaranya tecermin dalam transaksi di marketplace, penyaluran pinjaman melalui financial technology (fintech), ataupun jasa yang dilakukan oleh Youtuber.
Ketiga kegiatan di atas pada dasarnya melibatkan pihak lain yang memegang kendali atas arus transaksi berupa arus barang dan uang, sekaligus pemilik bank data identitas pembeli dan penjual yang dihimpun dari para pihak yang bertransaksi. Mereka dalam hal ini adalah pihak marketplace, penyedia platform fintech, maupun Youtube.
Ketiga platform tersebut belum menjadi potensi penerimaan pajak yang sepenuhnya bisa digali. Penyebabnya, antara lain, di samping Direktorat Jenderal Pajak belum memperoleh akses data transaksi melalui marketplace, juga karena belum adanya aturan yang memberikan kewenangan untuk menunjuk pihak lain sebagai pemotong atau pemungut pajak.
Berkaca pada aturan yang ada seperti dalam Undang-Undang (UU) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang dimaksud dengan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
Dalam ketentuan di atas yang disebut Pemungut PPN adalah pembeli BKP atau penerima JKP. Pihak selain keduanya seperti pihak perantara tidak dapat ditunjuk sebagai Pemungut PPN. Selain itu, objek yang dapat dilakukan pemungutan PPN hanya terbatas pada penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan kepada Pemungut PPN yang bersangkutan.
Aturan pajak masih dibuat berdasarkan proses bisnis konvensional. tidak fleksibel, dan belum mengakomodasi keberadaan perantara untuk memotong atau memungut pajak. Sedangkan pada saat ini perkembangan teknologi komputer telah mendorong teknologi informasi dan internet sehingga membuat masyarakat dunia bisa bertransaksi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu serta memunculkan ekonomi digital dan mengubah proses bisnis yang ada. Apabila kondisinya seperti ini dan tidak segera diubah maka akan menghilangkan potensi ekonomi yang besar terutama pajak.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan tidak membiarkan itu. Aturan pemotongan dan pemungutan pajak harus segera diubah supaya bisa menjangkau para pelaku usaha digital tersebut. Harus ada kebijakan yang pasti agar mekanisme pemotongan dan pemungutan pajak dapat mempermudah proses pemenuhan hak dan kewajiban wajib pajak maupun pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Pemerintah menemukan momentumnya di masa pandemi melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang.
Aturan ini memperluas subjek Pemungut PPN. Tepatnya sejak 1 Juli 2020 atas pemanfaatan barang tidak berwujud maupun jasa dari luar Indonesia di dalam Indonesia melalui perdagangan yang menggunakan sistem elektronik (Perdagangan melalui Sistem Elektronik disingkat PMSE) dikenakan PPN.
Pihak yang memungut PPN atas transaksi barang tidak berwujud maupun jasa luar negeri tersebut adalah pelaku usaha PMSE yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Pelaku usaha PMSE dapat berupa: Pedagang Luar Negeri, Penyedia Jasa Luar Negeri, Penyelenggara PMSE Luar Negeri, dan/atau Penyelenggara PMSE Dalam Negeri.
Namun, penunjukan dalam aturan di atas hanya terbatas pada objek pemanfaatan BKP tidak berwujud ataupun JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean melalui PMSE. Untuk objek transaksi lainnya misalnya penyerahan BKP atau JKP di dalam negeri melalui PMSE belum tercakup. Oleh karena itu, untuk dapat menunjuk platform marketplace sebagai pemungut PPN perlu aturan yang lebih tegas lagi.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan pada 29 Oktober 2021 mengakomodasi hal tersebut di atas. Tepatnya pada BAB II Pasal 32A.
Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak. Pihak lain ini adalah pihak yang terlibat secara langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi.
Penegasan penunjukan pihak lain sebagai pemotong dan pemungut pajak dalam UU HPP menjadi mungkin diwujudkan karena dukungan teknologi. Sistem teknologi informasi para pelaku usaha digital memungkinkan platform menyelenggarakan administrasi pemotongan dan pemungutan pajak.
Dengan penetapan pihak lain sebagai pemungut pajak ini akan memberikan kemudahan dalam pembayaran pajak bagi pihak-pihak yang bertransaksi. Sekaligus, bagi otoritas pajak seperti Direktorat Jenderal Pajak dapat mengawasi wajib pajak dengan mudah dan tidak memakan biaya administrasi perpajakan yang tinggi. Terlebih dapat menjadikan pemungut pajak sebagai mitra bagi pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan negara terutama dalam memperluas basis pemajakan dan data perpajakan.
Negara lain seperti India, Meksiko, dan Vietnam telah memberlakukan pajak digital melalui skema pemotongan/pemungutan ini. OECD dalam laporannya menyebutkan peran platform digital dipandang penting dan dapat menggantikan peran supplier yang melakukan tranksaksi penjualan akhir kepada konsumen.
Sejatinya penunjukan pihak lain sebagai pemotong atau pemungut pajak dalam UU HPP tidak hanya diberlakukan untuk pemungutan PPN atas produk digital. Adanya penunjukan itu akan menjadikan platform digital seperti marketplace bisa memungut Pajak Penghasilan (PPh) sekaligus untuk mengantisipasi penerapan Pajak Transaksi Elektronik (PTE).
PTE adalah pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha PMSE luar negeri yang telah memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dan dikenakan atas transaksi penjualan barang/jasa dari luar Indonesia melalui PMSE kepada pembeli/pengguna di Indonesia. Jadi kehadiran para pelaku usaha digital tersebut tidak lagi didasari kehadiran fisik di suatu negara.
Melalui UU HPP ini pihak yang dapat ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PTE dan paling memungkinkan adalah penyelenggara PMSE dalam negeri selain Wajib Pajak Luar Negeri yang menjadi subjek PTE. Ini untuk memastikan PTE tersebut dibayar dan masuk ke kas negara serta untuk kemudahan pengawasannya oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Dari naskah akademik Rancangan UU HPP diketahui bahwa per 11 Maret 2021, tercatat tujuh negara telah dan sedang mempersiapkan penerapan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri dari digitalisasi ekonomi, yaitu India, Malaysia, Pakistan, Slovakia, Taiwan, Thailand, dan Vietnam.
Indonesia sendiri sedang berada di jalurnya, bergegas menuju arah yang tepat.
***
Artikel di atas dibuat untuk dan pertama kali dimuat di Majalah APBN KiTa Edisi November 2021 yang bisa diunduh di sini.
Gambar dari mocah.org