Menteri Urusan Kesepian di Titik Masa Zat Kimiawi Kebahagiaan Menghilang


Angka kematian bunuh diri di kalangan pelajar dan pemuda Jepang meningkat tajam selama tahun 2020. Sampai Perdana Menteri Jepang menunjuk menteri untuk mengurusi cara warga mengatasi kesepian.

*

Manusia akan bahagia ketika mendapatkan uang yang banyak, keterkenalan, pasangan yang baik, atau sekadar naik jabatan. Begitu pula ketika manusia mendapatkan keberuntungan kecil seperti mendapatkan tempat duduk di KRL Bogor Jakarta di waktu yang padat.

Level kebahagiaannya sama. Baik kebahagiaan yang diperoleh pengemis di pinggir jalan saat memperoleh sebungkus nasi lemak buat sarapan dengan orang superkaya yang mendapatkan kenaikan harga saham perusahaan Silicon Valley yang dimilikinya. Di suatu titik mereka akan merasakan hal itu menjadi biasa-biasa saja.

Ujungnya manusia kembali merasakan ketidakbahagiaan, yang apabila tidak dikelola dengan baik, pada level tertentu, akan menjadi lebih parah dan depresi pun datang. Padahal semua orang akan menganggap mereka itu sebagai orang yang beruntung, orang yang mendapatkan nikmat berlimpah.

Sejatinya itu watak hakiki manusia. Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi lembah emas yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah. Muhammad saw. telah mengatakan demikian.

Selalu ada titik masa berlaku zat kimiawi kebahagiaan itu menghilang dari sekujur tubuh. Selalu saja merasa tidak puas dengan pencapaian yang ada, mulai dari terpilih menjadi Ketua RT, memiliki jabatan dan tunjangan besar, atau membangun piramida menjulang dan abadi sampai tak lekang oleh angin dan waktu.

Sejak 14 abad yang lampau Islam sudah punya obat untuk itu. Apa? Cukup merayakannya dengan rasa syukur. Mensyukuri atas apa yang dipunya. Tidak perlu melihat pencapaian atau keberhasilan orang. Fokus saja pada apa yang telah dimiliki dan diraih.

Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepada kalian dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. Ini firman Tuhan dalam Q.S. Ibrahim ayat 7.

Yang perlu dicermati adalah azab itu tidak mesti dengan murka alam seperti yang menimpa kaum terdahulu berupa sambaran petir, gempa, banjir, tsunami, dan letusan gunung berapi. Azab itu bisa juga dengan ketidaktenangan, keresahan, dan kegelisahan yang dialami ketika mereka tidak mensyukuri nikmat yang diberikan Allah, ketika mereka masih berpikir kenapa kenikmatan itu jatuh kepada orang lain, bukan kepada dirinya sendiri.

Oleh karena itu, obat kegelisahan cukup dengan rasa syukur. Yuval Noah Harari seorang agnostik saja mengakui dan menulis demikian dalam bukunya berjudul Sapiens, “Para nabi, penyair, dan filsuf mengetahui ribuan tahun lalu bahwa puas dengan apa yang sudah Anda dapatkan jauh lebih penting ketimbang mendapatkan lebih banyak dari yang Anda inginkan.”

Yuval bilang, para subjek itu adalah orang-orang kuno, tetap saja Yuval berharap, para periset di era modern dengan didukung banyak angka dan bagan-bagan mencapai kesimpulan yang sama dengan kesimpulan para nabi, penyair, dan filsuf itu. Mampu memberikan pandangan yang menegaskan: apa pun yang manusia modern cari, nikmati dan syukuri.

Memangnya ada hasil yang konkret ketika kita berupaya dengan keras untuk bersyukur dengan apa yang kita punya? Iya, pasti. Setidaknya hati kita tidak lelah dengan pencapaian orang, hati kita bersih dari iri dan dengki yang merusak, serta segala curah pikir kita benar-benar hanya terfokus pada apa yang kita kerjakan.

Setelah itu tunggulah keajaiban yang terjadi dengan banyaknya keberkahan yang datang kepada kita sebagai bentuk tambahan nikmat yang diberikan oleh Allah swt. Tak perlu menunggu keajaiban itu terjadi sebenarnya, hati yang lapang dan pikiran yang segar itu saja menjadi tambahan nikmat yang otomatis datang.

Jadi bersyukurlah pada saat titik masa berlaku zat kimiawi kebahagiaan itu berangsur-angsur menghilang. Titik masa ini yang disebut sebagai adaptasi hedonik atau hedonic treadmill. Ini adalah kecenderungan manusia untuk segera kembali ke tingkat kebahagiaan yang stabil meskipun sedang terjadi perubahan dalam hidupnya. “Ke tingkat kebahagiaan yang stabil” ini dibaca dengan frasa “menjadi biasa-biasa saja”.

Eric Barker dalam bukunya yang berjudul Mendaki Tangga yang Salah menulis, “Meluangkan waktu untuk bersyukur atas apa yang Anda miliki akan mengurai adaptasi hedonik.” Caranya bagaimana? Berterimakasihlah kepada orang-orang di sekitar kita.

Eric Barker mengutip penelitian Martin Seligman di Universitas Pennsyilvania  untuk menunjukkan cara konkret berterima kasih kepada orang-orang di sekitar.

Seligman meminta kita untuk membuat surat yang isinya mengucapkan terima kasih kepada seseorang. Tulis apa yang telah dilakukan seseorang itu sehingga memengaruhi hidup kita. Minta orang itu untuk bertemu dan bacakan di depan orang itu apa yang kita tulis dengan tulus. Ini pesan Eric, “Pastikan Anda membawa tisu. Mungkin mereka akan menangis, begitu pula Anda. Dan Anda berdua akan lebih bahagia bersama.”

Barangkali momen pembacaan surat-surat pendek ucapan terima kasih oleh Aurel Hermansyah kepada orang tua Aurel di saat pernikahannya beberapa waktu yang lalu bisa jadi contoh walaupun kita tidak tahu apakah itu memang inisiatif dari Aurel sendiri ataupun dari pengelola acara (EO) pernikahan mereka.

Jika pertemuan memang tidak bisa kita lakukan karena kita berada di masa pandemi Covid-19 dan adanya pembatasan interaksi, kita bisa mengirim surat elektronik atau pesan singkat dalam aplikasi percakapan untuk mengucapkan terima kasih itu.

Atau dengan Zoom…? Zoom saja mampu membuat CEO sekaligus pendiri Zoom Eric Yuan mengalami kebosanan yang akut karena hadir dalam 19 rapat berturut-turut dalam sehari.

Sebenarnya kita juga meyakini kalau itu semua tidak bisa menggantikan pertemuan dengan tatap muka. Persuaan secara langsung sesungguhnya bisa melepaskan ketegangan.

Saya jadi teringat dengan berita yang diangkat oleh harian Kompas pada 28 Mei 2021. Pemerintah Jepang merilis angka kematian bunuh diri pada Februari 2021. Angkanya jauh lebih tinggi daripada angka kematian karena Covid-19.

Sepanjang 2020, sebanyak 20.919 warga Jepang meninggal karena bunuh diri. Warga Jepang yang meninggal karena Covid-19 hanya 3.460 dalam periode yang sama. Dari jumlah itu, tercatat 499 korban bunuh diri berasal dari kalangan pelajar dan pemuda. Ini jumlah tertinggi sejak 1980.

Covid-19 menjadi salah satu faktor yang memicu angka bunuh diri. Pandemi Covid-19 meningkatkan kecemasan dan kesepian sekaligus, tulis Kompas. Kecemasan akan masa depan dan tidak tahu akan melakukan apa di saat masa pembatasan merusak mental para pemuda sehingga pada akhirnya bunuh diri dianggap sebagai jalan keluar dari segala masalah.

Padahal kita tahu, teknologi internet sudah sampai pada titik yang mampu menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Aplikasi percakapan tersedia banyak untuk diunduh. Namun, itu masih tidak mampu mengurangi kecemasan dan kesepian. Teknologi internet masih tak sanggup menggantikan pertemuan langsung, sebuah pelukan, dan bisikan lembut di telinga: “Tetap semangat. Aku masih bersamamu.”

Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga sampai menunjuk Tetsushi Sakamoto menjadi menteri yang mengurusi cara warga Jepang mengatasi kesepian. Barangkali perlu juga Perdana Menteri Jepang menunjuk seorang menteri untuk mengurusi warganya agar bahagia dengan cara banyak bersyukur atas apa yang dipunya.

Bukankah cemas dan sepi adalah takut dan harap kepada yang bukan semestinya?

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
6 Juni 2021

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.