Seorang penulis buku datang ke kubikel saya pagi ini.
Namanya Agus Muslim. Ia membawa dua bukunya yang baru terbit pada Februari 2021 dan menghadiahkannya kepada saya.
Buku pertama dengan sampul berwarna hijau berjudul “Aku Seorang Muslim. Senang Berkenalan Denganmu”. Buku kedua bersampul merah berjudul “Ngomong Sama Tembok. Muazin Gila dan Cerita-Cerita Biasa Lainnya”. Dua buku itu diterbitkan oleh penerbit yang sama: Maghza Pustaka.
Buku pertama sebagai etalase buat siapa saja yang ingin mengenal Islam. Namanya etalase tentu tidak semua hal dalam Islam ditulis di sana. Ini bukan buku babon karya para cendekia muslim ternama masa lalu, buku Agus Muslim menyelisihi dengan kesederhanaan tampilan dan isinya.
Sedangkan buku kedua adalah kumpulan tulisan-tulisan pendek dan ringannya yang dikumpulkan secara kronologis dari 2015 sampai 2019, sebelum pandemi datang menyerang Wuhan kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Mas Agus Muslim ini asli Cirebon, sekarang menjadi fungsional pemeriksa di Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, Direktorat Jenderal Pajak.
Kedatangannya itu membuat saya semringah. Setidaknya keinginan menerbitkan buku dalam percakapan kami di tahun lalu itu mewujud menjadi dua buku yang terbit di tahun ini. Luar biasa. Dua buku sekaligus.
Itu menjadi bukti, di era disrupsi siapa saja bisa menulis, siapa saja bisa menerbitkan buku. Yang penting bukunya bisa memberi manfaat yang banyak buat pembaca, buat umat.
Saya jadi ingat dengan satu kalimat yang pernah disampaikan Theodotus kepada Caesar dalam sebuah adegan drama karya George Bernard Shaw berjudul Caesar and Cleopatra. Ini saya ambil dari sebuah buku karya Fernando Baez dengan judul Pembakaran Buku dari Masa ke Masa.
“Kaisar, sekali dalam sepuluh generasi manusia, lahir di dunia ini buku yang tak bakal usang di makan zaman.”
Saya berharap buku Agus Muslim menjadi bagian dari karya yang dimaksud Theodotus. Pesan saya kepadanya cuma satu: pertahankan konsistensi menulis dan menerbitkan bukunya.
Harusnya saya juga memberikan buku Dari Tanzania ke Tapaktuan kepadanya, tetapi saya kelupaan. Dus, buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini cetakan ke-7 juga benar-benar habis. Tadi pagi baru terkirim ke Pare, Kediri.
Lain waktu saya akan bawa buku itu dan memberikan kepadanya. Terima kasih, Mas. Buat yang mau membaca buku Mas Agus Muslim ini silakan menghubunginya.
Buat yang lain, yuk, menulis. Tidak ada kata terlambat. Kita bisa memulai menulis dengan menulis di buku harian. Namun, di era ketika “menunjukkan sesuatu” menjadi sebuah kecenderungan, menulis di buku harian terasa usang.
Kita bisa memulainya dengan membuat sebuah blog dan menjadi pengeblog. Blog itu bisa diatur untuk publik atau untuk konsumsi sendiri. Kita tinggal menulis dan mengumpulkan tulisan satu per satu di sana kemudian menjadikannya satu buku dengan tema tertentu.
Atau kalau mau kita bisa langsung menulis satu tema khusus dan langsung membukukannya. Hanya satu hal yang kita mesti berdamai: semua butuh waktu, semua butuh proses.
Soal buku kita laku atau tidak laku itu urusan berikutnya. Untuk ini saya kembali mengingat pesan seorang teman, “Bukumu itu memberikan nilai tambah buat pembaca atau enggak?”
Pertanyaan ini setidaknya harus menjadi titik mula menulis buku. Kalau jawabannya adalah iya, banyak yang berkeyakinan buku kita akan laku.
Sejatinya pun, tidak hanya untuk memulai menulis buku pertanyaan itu diajukan. Di saat memulai menulis apa saja, pertanyaan itu harus terbit seperti matahari pagi. Menerangi kegelapan.
Saya berkeyakinan buku Agus Muslim demikian adanya.
***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
19 Maret 2021