Rasio Pajak masih menjadi pilihan yang dibahas menjelang pemilihan presiden dan legislatif pada 17 April 2019. Salah satunya pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi dan Perpajakan (PSEP) di Café 88, Kampus PKN STAN, Tangerang, Banten (Kamis, 21 Maret 2019).
Acara yang mengangkat tema Prospek Tax Ratio Indonesia di Tengah Ketidakpastian Global ini menghadirkan narasumber Kepala Kantor Wilayah Jakarta Selatan II Edi Slamet Irianto, anggota Komisi XI DPR RI M Misbakhun, Direktur Program INDEF Berly Martawardaya, dan Direktur Eksekutif PSEP Hangga Surya Prayoga.
Menurut Hangga terdapat tiga permasalahan yang mengemuka ketika membicarakan cara menaikkan rasio pajak. Pertama, biaya kepatuhan yang relatif tinggi. Wajib pajak masih harus mengeluarkan biaya yang banyak untuk menjadi patuh.
“Ada semacam hambatan administratif bahwa ternyata untuk patuh pajak itu perlu biaya. Bikin faktur perlu biaya. Kalau fakturnya salah jadi beban, jadi biaya juga. Untuk merekrut pegawai yang ngerti pajak ada biaya juga. Di level sektor informal ini menjadi penghambat,” ujar Hangga.
Menurutnya, Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas perpajakan masih menitikberatkan inovasinya pada sistem teknologi informasinya saja dan belum pada regulasi yang memudahkan wajib pajak.
Kedua, aturan perpajakan yang belum mengikuti perkembangan zaman dan memperhatikan praktik bisnis yang umum, serta kekurangtegasan pemerintah dalam pemberlakuan aturan perpajakan. “Saya contohkan tahun 2015 pernah ada peraturan atas pemungutan jasa jalan tol, (peraturan) itu hanya bertahan satu bulan,” kata Hangga.
Ketiga, Indonesia masih memiliki tekanan terhadap transaksi yang bersifat global dengan negara-negara lain. Tarif pajak Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN.
“Sehingga mungkin harus dipertimbangkan bahwa kebijakan-kebijakan untuk memberikan fasilitas perpajakan itu juga memang memperhatikan pemberlakukan pajak di negara sekitar sehingga tidak terjadi proses-proses transfer pricing yang ilegal,” tutup Hangga.
Relasi Negara
Sedangkan menurut Edi Slamet Irianto persoalan meningkatkan rasio pajak menyangkut relasi negara kepada masyarakatnya dalam konteks perpajakan.
“Jadi hal yang penting bahwa otoritas pajak ini supaya bisa berbicara dengan lingkungan perpajakan lebih efektif, berbicara komunikasi politik yang bisa dipercaya dengan lingkungan politik yang baik,” kata Edi.
Selain itu Edi melihat bahwa banyak yang perlu diperbaiki dari kelembagaan otoritas perpajakan. Salah satunya tentang keberadaan unit kantor pajak yang belum mengikuti geografis wilayah pemerintahan dari atas sampai bawah. Misalnya dalam satu wilayah provinsi terdapat dua kantor wilayah yang berbeda. Ini akan membuat bingung wajib pajak karena terdapat kebijakan perpajakan yang tak sama.
Edi juga menambahkan, otoritas perpajakan harus melakukan otokritik melalui reformasi administrasi perpajakan. “Hanya saja reformasi administrasi perpajakan yang sedang dilakukan seyogianya memahami apa yang dipersoalkan dan menjadi persoalan di masyarakat,” kata Edi.
Edi menjelaskan, cara lain menaikkan rasio pajak adalah dengan meningkatkan rasio Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui peningkatan pengawasan. Rasio PPN semula hanya 3,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan peningkatan 2% hingga 3% diyakininya penerimaan pajak bisa tembus hingga Rp1500-Rp1700 triliun.
Selanjutnya dengan menata Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut lembaga pemerintah kepada masyarakat karena sebenarnya PNBP membuat beban masyarakat lebih tinggi. “Tax ratio—kalau itu digabungkan dengan penerimaan yang tidak masuk—mungkin bisa mencapai 16%. Bahkan lebih,” tutur Edi.
Menurutnya, hanya ada empat jenis PNBP yang sesuai aturan dan praktik terbaik: bagi hasil dari sumber daya alam, deviden hasil BUMN, hasil dari pemanfaatan aset negara oleh privat, dan sisa anggaran lebih APBN. Tanpa disadari, PNBP di luar empat jenis itu telah membebani dan menimbulkan keengganan masyarakat untuk membayar pajak.
Jika PNBP diatur dan ditata dengan benar maka penerimaan pajak akan jauh lebih baik karena negara bisa meyakinkan masyarakat bahwa dengan membayar pajak masyarakat akan merasakan manfaat dan mendapatkan banyak fasilitas yang disediakan oleh negara.
Tax Collection Cost
Misbakhun memandangnya dari sisi lain berupa tax collection cost. Ia melihat cara meningkatkan rasio pajak antara lain dengan memberikan anggaran yang memadai kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dengan mengumpulkan penerimaan pajak sebesar Rp1500 triliun pada 2019 anggaran DJP sebesar Rp7 triliun belum memadai.
Misbakhun membayangkan, seandainya DJP diberikan anggaran sebesar 1% saja dari target penerimaan—standar OECD sebesar 2,5%—maka DJP dapat membangun super komputer dan membeli basis data geospasial untuk meningkatkan pengawasan perpajakan.
Selain itu DJP membutuhkan dana banyak untuk membangun citranya dan mem-branding pembayar pajak sebagai pahlawan bangsa. Misbakhun menjelaskan, pada hakikatnya mempromosikan pajak sama saja dengan mempromosikan negara. Tentu untuk itu dana promosi iklan (kehumasan) sebesar Rp32 miliar setahun yang ada pada satu direktorat di DJP tidaklah mencukupi.
Misbakhun menambahkan, di dalam struktur pajak yang ideal seperti di negara-negara yang memiliki rasio pajak tinggi, pajak perseorangan harus lebih tinggi daripada pajak badan. Ini yang menurut Misbakhun, otoritas perpajakan saat ini memiliki permasalahan struktural yang mesti dibenahi.
Kalah Jauh
Berly mengamini Misbakhun. Ia menginvetarisasi permasalahan tidak optimalnya rasio pajak di Indonesia. Antara lain soal proporsi pajak penghasilan badan lebih besar dibandingkan pajak perseorangan yang potensinya jauh masih bisa digali. “Yang memegang NPWP (per 1 Januari 2018) baru 39,2 juta atau 14,9% dari populasi,” kata Berly.
Determinan rasio pajak, menurut Berly, tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan usaha, melainkan soal bagaimana meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor formal seperti keuangan dan manufaktur.
Masalahnya adalah Indonesia masih kalah dari negara-negara di ASEAN dalam menarik investasi luar negeri. Menurut Berly, Indonesia masih kalah jauh daripada Vietnam. “FDI (Foreign Direct Investment ) Vietnam dua kali lipat dari Indonesia,” ujar Berly, “Bahwa Indonesia saat ini PPh Badannya, top rate-nya paling tinggi di ASEAN.”
Apalagi pada 2019 ini merupakan merupakan tahun pemilihan presiden. Menurut Berly, di setiap tahun pemilihan presiden tingkat investasi akan menurun. Efeknya akan sulit meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan.
Maka Berly memandang bahwa Indonesia harus realistis dengan pertumbuhan ekonomi dan FDI yang rendah sehingga penerimaan pajak tahun ini belum bisa mengerek rasio pajak. Baru pada 2020 penerimaan pajak akan lebih tinggi karena sudah lewat masa ketidakpastian politik dan keadaan global yang lebih stabil.
Selain itu Berly memandang otoritas perpajakan perlu mendorong kepatuhan wajib pajak baik orang pribadi dan badan. Ia mencontohkan kepatuhan di sektor pertambangan yang masih rendah. “Hanya 24% pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang membayar pajak,” tambah Berly.
Berly merekomendasikan beberapa hal untuk menaikkan rasio pajak yaitu dengan meningkatkan proporsi penduduk yang memiliki NPWP, mengetatkan pengawasan dan sanksi pada perusahaan yang tidak patuh khususnya di sektor pertambangan.
Selain itu dengan mengkaji penurunan tarif pajak PPh Badan dan penguatan ekonomi informal khususnya industri. Berly tidak meluputkan perhatiannya terhadap perkembangan e-commerce dan driver online yang menurutnya memiliki potensi perpajakan yang luar biasa. Terakhir, menurut Berly, dengan meningkatkan sistem perpajakan yang memudahkan wajib pajak.
“Di Eropa, self assessment-nya dibantu dengan sistem digital. Bukti pemotongan terhubung dengan akun kita di pajak. Kalau sistem online sudah dibangun seperti di negara-negara Skandinavia maka itu (penerimaan pajak) akan lebih jauh meningkat,” pungkas Berly. [Rz][*]
Artikel ini dibuat untuk Majalah Intax, Majalah Internal Direktorat Jenderal Pajak, Edisi II/2019.