Cerita Lari Pocari Sweat Run Bandung 2019: Dibanjur Air dan Endorfin


Aku berjanji kepadamu kalau kisah ini adalah kisah terakhir dari rentetan cerita yang kupersembahkan untukmu. Kau ingat tentang bagaimana aku sudah tiba di titik KM-35? Dan setelah itu aku selalu bilang, “Tinggal 7 km lagi, tinggal 7 km lagi, tinggal 7 km lagi.”

Iya, sampai di titik itu aku tidak merasa halu, mentalku masih utuh, dan tidak berpikir garis finis untuk tiba-tiba saja sudah ada beberapa meter di depanku. Tidak. Aku bersyukur masih bisa berlari tanpa diselingi jalan.

Aku tiba di Jalan Cihampelas depan Eiger Adventure. Di sana ada water station (WS) yang didirikan oleh Komunitas Bodor (Bandrexhood on the Road dan KedodoRun). Mereka menyediakan air minum, buah-buahan, dan guyuran air.

“Mau dibanjur? Mau dibanjur?” kata salah satu dari mereka. Tentu sekali ajakan itu tak bisa ditampik, mengingat juga di Pocari Sweat Run Bandung (PSRB) 2019 ini tidak ada water sprinkler seperti waktu di Jogja Mandiri Marathon 2018. HP bagaimana? Tenang, sudah kumasukkan ke dalam plastik. Aman. Kubuka topiku dan mereka menyiramku dengan sentosa. Byuuurrrr!!! Adem. Sungguh.

Sekarang aku fokus berlari kembali. Aku melewati titik KM-36 di Jalan Wastu Kencana. “Tinggal 6 km lagi, tinggal 6 km lagi, tinggal 6 km lagi,” kataku berulang-ulang. Lepas titik itu ada pos panitia yang menyediakan busa basah. Aku ambil satu dan memerasnya di atas kepala. Berguna sekali untuk mendinginkannya.

Aku tiba di KM-37 di Jalan Merdeka. Tinggal 5 kilometer lagi.  Tangan kiriku masih memegang sisa-sisa pisang dari WS yang ada di KM-35, aku mengudapnya sebagai power supply terakhir. Lepas  KM-37 ada WS. Kali ini aku mengambil satu gelas isotonik pertamaku.  Semoga ini tidak bikin aku muntah.

Dan sekarang aku sudah sampai di KM-38 di Jalan Jawa. Tinggal empat kilometer lagi. Kau tahu? Di sinilah mula sebuah pendakian. Ternyata untuk sampai garis finis itu, para pelari dihadapkan pada kontur jalan yang menanjak panjang dan itu bermula di KM-38,76. Baik, aku akan melaluinya.

Ya, sekarang pun aku sudah tiba di KM-39 di Jalan Lombok lalu berbelok ke kanan menuju Jalan Aceh.  Jalanan sudah mulai penuh kendaraan pada saat jam hampir menunjukkan angka 10 itu. Tinggal tiga kilometer lagi.

Karena jalanan menaik, pace-ku melambat menjadi 7:50 menit/km. Di WS di seputaran titik KM-39 itu ada petugas medik yang berjaga-jaga. Alhamdulillah sampai di titik itu aku tidak pernah mampir dan memanggil petugas medik sekadar untuk menyemprotkan semprotan pelentur  (spray) antinyeri. Tidak seperti saat aku berlari di Borobudur Marathon 2018 lalu.

Begini salah satu ekspresiku di saat lari.

Dua Kilometer Lagi

Titik KM-40 berada dekat Taman Pramuka, di persuaan antara Jalan Aceh dan Jalan L.L.R.E. Martadinata. Aku sampai di sana dengan pace 8:05. Berarti sejak pagi aku sudah berlari selama 4:55:43 jam.  Lebih cepat dari target yang kutetapkan semula, yakni 5:11:40 jam. Aku menghemat 16 menit. Benar-benar aku tak menyangka saja.  Apakah aku bisa sampai di garis finis kurang dari waktu 5:25:40 jam? Bisa, tetapi ada satu kejadian yang akan menimpaku sebelumnya.

Jalanan masih menanjak menuju titik KM-41 yang berada dekat dengan bunderan Jalan Citarum. Orang ramai sekali di KM-41. Para penamat lari sudah banyak berkumpul. Mereka sedang menunggu teman satu komunitasnya yang belum datang jua.

Di sana  ada Mas Afif yang setia menunggu teman-teman dari DJP Runners. Ia sudah menyelesaikan Half Marathon-nya sedari tadi. Kupasang senyum dan tawa pedih menghadap telepon genggamnya yang merekamku.

Aku melihat dua orang datang menghampiri pelari yang sedang berlari  sendirian di depanku. Dari kaos yang mereka kenakan tampaknya mereka satu komunitas. Mereka sudah finis duluan dan datang untuk menjadi pacer. Di sinilah, aku teringat sebuah perkataan, “Kawan sejati ialah dia yang tak sekadar membersamaimu di kala engkau merayakan kesenangan, melainkan ia yang mampu menjulurkan tangannya menarikmu dari lembah kedukaan.”

Di KM-41 ini pace-ku sudah 8:07 menit/km. Lebih lambat lagi daripada pace di kilometer sebelumnya. Beberapa orang menyusulku. Di kilometer-kilometer sebelumnya aku mencari orang-orang yang bisa kuajak berlari bareng. Caranya dengan mengikuti irama larinya. Aku bisa mendampingi mereka yang berlari dengan pace konsisten itu bahkan kemudian mendahului mereka ketika mereka sudah melambatkan pace-nya. Sekarang, aku sudah mulai tak bisa. Untuk menyamai langkah saja tak mampu, apalagi menyusulnya. Aku seperti sedang mendaki bagian tertinggi Ciremai, gunung yang pernah kudaki dulu.

Ya, sekarang tinggal satu kilometer lagi. Aku masih menyusuri Jalan Citarum yang menanjak itu. Melewati jalan itu garis finis tinggal beberapa ratus meter lagi. Beberapa orang menyemangatiku, “Ayo, tinggal sebentar lagi. Semangat!!!”

Lepas Jalan Citarum aku berbelok ke kiri menuju Jalan Diponegoro. Dan sengkring!!! Ada blitzkrieg (serangan kilat) dan getar-getar di betis kiriku. Wow, ini tanda-tanda kram. Aku tak boleh memaksakan diri. Aku mulai mengurangi kecepatan.

Dari kejauhan sudah kulihat gerbang warna biru. Ingin kuberlari secepat yang engkau inginkan aku untuk datang dan mengakhiri semua ini.

Di sepanjang jalan Diponegoro, para pelari dari berbagai kategori yang sudah finis membentuk pagar di tengah jalan untuk menyambut para pelari yang belum finis. Mereka menyodorkan tangan untuk di-tap dan berteriak-teriak menyemangati, “Ayo DJP Runners! Ayo semangat!” Mereka membaca nama komunitasku yang tertulis gede-gede di bagian depan kaosku. Seorang pelari perempuan dengan kaos biru mendahuluiku.

Gerbang biru dengan karpet berwarna senada sudah semakin dekat.  Jam lariku telah menunjukkan 42,195 km, tetapi garis finis masih jauh di depan.  Dopaminku meningkat. Hormon kesenangan yang apabila otak kekurangan dalam kadar yang ekstrim menjadi penyebab Parkinson, jika kelebihan menjadi penyebab langsung skizoprenia.

Ayo Riza. Sebentar lagi sampai. Kuat! Kuat! Kuat! Masih berlari, berlari, terus berlari, dan finis!!! Aku segera mematikan jam lariku. Klik!

Membelok ke Jalan DIponegoro. Di saat mendapat blitzkrieg tanda-tanda kram, aku masih bisa tersenyum. Bukan karenamu, melainkan ada tukang poto. (Rep. Panitia)

Dibanjur Endorfin

Melewati garis itu, sekujur tubuhku diguyur endorfin.  Huh! Huh! Aku selesai dalam waktu 5:14:55 jam berdasarkan chip time. Sedangkan berdasarkan gun time adalah 5:20:28 jam. Kau ingat? Aku terlambat 5 menit bukan?

Di garis finis aku disambut oleh dua pelari dari DJP Runners Mas Omar dan Mas Hafiz Ramadhan. Sebelum bertemu mereka aku sujud syukur dulu. Aku tak menyangka saja. Ya, betul. Tak menyangka bisa finis sebelum target 5:25:40 jam, tanpa kram, tanpa jalan, tanpa makan-makan lama di WS, tanpa swafoto di tengah pelarian, tanpa semprotan pelentur, tanpa halu, tanpa kelelahan yang teramat sangat, dan tanpa anyang-anyangan. Alhamdulillah.

Latihan memang tidak pernah bohong. Untuk mengikuti PSRB ini aku memang menambah jarak dan waktu lariku dalam sepekan. Aku serius dalam persiapan, pada masa tapering, dan pada saat pelarian ini.

Aku menuju refreshment area. Di sana ternyata sudah ada teman sekantorku Mas Aji yang ikut Half Marathon. Sesuai janjinya ia sengaja menunggu saya dan memantau pelarianku dari live tracker. Ternyata  melalui situs webnya panitia menyediakan pelacak untuk memantau secara real time keberadaan pelari. Saya, Mas Aji, dan rekan-rekan dari DJP Runners berfoto bareng.

Sehabis itu, aku mencari tempat yang sepi untuk pendinginan. Aku mencoba konsisten untuk melakukannya  seusai lari. Dari referensi yang kubaca, tidak melakukan pendinginan setelah berlari dalam waktu lama akan membuat performa kita menurun di masa yang akan datang. Aku melakukan pendinginan ala Freeletics. Done!

Aku mengambil tas di tempat penitipan tas yang sudah  sepi itu kemudian mengganti kostum lariku dengan kaos kering supaya tidak masuk angin. Lalu aku meminum obat antidemam sebagai antisipasi. Setelah itu aku ikut merendam kakiku dengan es. Alhamdulillah tidak sampai menggigil seperti waktu di area finis Tugu To Tugu 2017 hampir tengah malam itu.

Ekspresi dibanjur endorfin di garis finis. Tak percaya bisa begitu.
Iya, aku masih tak percaya. Apalagi engkau.
Berfoto bersama DJP Runners. Mas Omar berkaos hitam. Mas Aji berkaos putih.

Kumpul di Garis Finis

Ketika aku hendak menuju pintu keluar gerbang barat Gedung Sate untuk pulang ke hotel, ada pesan masuk di grup percakapan DJP Runners. “Mas Riza di mana? Yuk, kumpul di finish line,” pesan Mas Deny Hastomo.

Aku mengurungkan niatku untuk pergi dan tak kembali. Aku menuju garis finis lagi. Di sana banyak kawan DJP Runners yang sudah menunggu teman-teman lainnya yang masih berjuang menuju garis finis. Saat itu waktu sudah menunjukkan jam  11.30. Masih ada waktu 30 menit lagi dari Cut Off Time (COT). COT adalah waktu yang harus ditempuh oleh pelari untuk mencapai garis finis. Di PSRB 2019 COT untuk Full Marathon dibatasi selama 7 jam.

Anggota DJP Runner s dari Pontianak, Kalimantan Barat Mas Masykur Aspari alias Maxonize adalah salah satu orang yang kami tunggu. Ia punya cita-cita untuk bisa finis di bawah COT. Dulu sewaktu di Mandiri Jogja Marathon 2018 ia sempat finis, namun melebihi COT. Lebih dari tujuh jam. Sekarang ia tak mau itu terjadi lagi.

Ternyata seru juga melihat para pelari yang masuk garis finis. Apalagi ketika menit-menit menjelang pukul 12.00 siang. Kami memantau Maxonize dari live tracker. Ia hampir mencapai garis finis. Ya, dari jauh, datang serombongan pelari berpakaian hitam-hitam bersorak-sorai. Mereka dari komunitas lari Riot sedang mengawal salah satu pelarinya. Di depan pelari itu ada Maxonize yang berlari-lari kecil.

Akhirnya Maxonize finis di bawah 6 jam 57 menit. Ketika sampai di garis finis aku meminta dia berhenti untuk foto. Dalam foto itu terpampang jelas penunjuk waktu 06:57:42 jam. Masih di bawah COT. Dan foto ini kelak berguna untuk dirinya.

Selamat, Mas. Akhirnya finis. Perjuangannya untuk bisa sampai di garis akhir ini luar biasa.

Berfoto ramai-ramai bersama Maxonize (ke-4 dari kiri) yang kita tunggu di garis finis.

*

Dua hari kemudian. Di tepian pantai sebuah pulau. Lebih dari 1000 km jauhnya dari Bandung.  Sebuah dokumen kertas kerja dari DJP Runners Mas Arif Yunianto masuk melalui aplikasi percakapan. Dokumen itu bertajuk “Training Plan Borobudur Marathon”. Belum juga jarem di paha bagian depan hilang, latihan untuk Ahad besok sudah terhidang.

Sepertinya Mas Arif ini menyentilku untuk mengamalkan ayat ke-7 surat Alam Nasyroh. “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh –sungguh (urusan) yang lain.”

Aku merenggut nafas satu-satu. Baiklah.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Citayam, 3 Agustus 2019

Baca juga:

  1. Cerita Lari Pocari Sweat Run Bandung 2019 (1): Terlambat Lima Menit
  2. Cerita Lari Pocari Sweat Run Bandung 2019 (2): Kuntilanak Kesiangan
  3. Freeletics Buat Pemula: Freeletics Routine for Beginner
  4. Cerita-cerita lari
  5. Transformasi Before After
Advertisement

2 thoughts on “Cerita Lari Pocari Sweat Run Bandung 2019: Dibanjur Air dan Endorfin

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.