Dari Padang ke Burj Khalifa: Seperti Binar Bapak Dulu


Kanwil DJP Sumbarja. Coba lihat di kejauhan, bentangan luas Samudra Hindia.

Sewaktu saya kecil, bapak sering menceritakan tentang perjalanannya berkeliling Sumatra saat menjual tenda payung berwarna-warni. Salah satunya ia pernah mampir di Padang. Raut muka dan suaranya saat ia menceritakan kota itu begitu penuh binar dan gelora. Entah kenapa.

Padang, sebuah kota yang belum pernah saya singgahi, namun baru pe​​kan lalu saya berkesempatan menginjakkan kaki di kota terbesar di Pantai Barat Sumatra. Pada saat puasa Ramadan kali ini.

Saya berangkat dengan penerbangan sore dari Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta. Sampai di Bandara Internasional Minangkabau pukul 17.20. Posisi Padang yang lebih barat daripada Jakarta tentu membuat durasi puasa saya menjadi lebih panjang. Waktu berbuka puasanya 34 menit lebih lama daripada waktu di Jakarta.

Ketika para penumpang turun dari pesawat, beberapa petugas bandara memberikan kotak kue untuk berbuka puasa. Saya menerima dengan senang hati pemberian itu.

Karena menggunakan topi biru berlogo DJP, saya mudah ditemukan oleh tim penjemput di pintu kedatangan. Mereka adalah teman sejawat dari Kantor Wilayah DJP Sumatra Barat dan Jambi (Kanwil Sumbarja): Pak Andik Khoironi dan Pak Iryan Saputra.

Hujan turun dengan lebatnya pada saat kami keluar dari bandara. “Seminggu ini Padang hujan terus,” kata Pak Andik.  Saya sengaja menjauhkan telepon genggam dari tangan dan memasukkannya ke dalam tas agar saya bisa benar-benar menikmati perjalanan.

Gelapnya suasana di luar kaca mobil tak mengurangi gairah saya untuk menelisik Padang lebih jauh lagi. Keberadaan saya di kota ini sebentar saja. Tidak lama. Besok juga saya akan kembali ke Jakarta.

Waktu Magrib tiba saat kami masih dalam perjalanan menuju Kanwil Sumbarja. Kami meneguk air kemasan dalam botol yang telah disiapkan sebelumnya. Saya tidak menuju hotel terlebih dahulu karena di Kanwil Sumbarja ada acara santunan anak yatim dan berbuka puasa bersama.

Di kantor itu ternyata banyak sekali kawan yang saya kenal seperti Pak Berta Yudha, yang rumahnya satu kompleks dengan saya; Mas Freddy Kurniawan, teman satu angkatan di Kampus STAN; Mas Fakhri Rozi yang saya kenal ketika saya masih berkantor di Kompleks Kalibata; atau Pak Selamat Muda yang pernah satu diklat khusus.

Mereka mempersilakan saya untuk mengambil kudapan takjil. Saya masuk ke dalam antrean kudapan. Yang menarik, kudapan ini ditempatkan dalam piring kecil berupa setangkup serabi berwana hijau yang diguyur dengan cairan gula semacam kuah kolak yang bisa kau ambil semaumu.

Gurih serabi dan manis kuah gula merah membuat saya berdecak penuh rasa kesyukuran. Sebuah kenikmatan paripurna saat berbuka puasa. Kuahnya bahkan saya tenggak sampai habis. Barulah saya tahu kalau inilah makanan khas Padang buat takjil. Sungguh, saya baru tahu.

Singkat cerita, saya kemudian bertemu dengan dengan Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil Sumbarja F.G. Sri Suratno. Kami langsung dekat satu sama lain. Kenapa coba? Karena ternyata ia pernah mampir di Tapaktuan, sewaktu ia menjabat di Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Balige, Sumatera Utara. Tapaktuan itu kota kecil di wilayah Aceh yang jaraknya 816 kilometer dari Padang. Saya pernah bertugas di kota itu selama tiga tahun dan empat bulan.

Saya juga bertemu dengan Kepala Kanwil Sumbarja Aim Nursalim Saleh. Sebagai sesama kombatan (baca: pernah bertugas di wilayah Aceh) ini pertemuan yang luar biasa.  Pak Aim pernah bertugas sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Aceh. 

Saya menyempatkan diri untuk ikut salat tarawih di musala kantor. Yang menjadi imam salat tarawih adalah fungsional pemeriksa Abdul Hofir. Bacaannya yang fasih membuat salat tarawih menjadi syahdu ditingkahi dengan hujan yang masih turun membasahi tanah-tanah Padang.

Setelah salat tarawih, saya diajak kawan lama untuk menyantap sate padang. Pak Yansasmi membawa saya ke sebuah resto khusus sate padang yang baru buka sekitar satu bulanan di kota itu. Nama resto itu adalah Sate Manangkabau.  Letaknya satu ruas jalan dengan Kanwil Sumbarja dan tak jauh dengan ikon kota Padang: Masjid Raya Sumatra Barat. Yang khas dari masjid ini adalah atapnya yang berbeda dari atap masjid kebanyakan. Puncak atapnya berbentuk runcing sebagaimana arsitektur atap di rumah gadang, rumah adat Minangkabau.

Ketika sampai di resto, Pak Yansasmi memesan sate padang daging sapi dengan kuah berwarna kuning khas Payakumbuh, namun ternyata yang disajikan kepada kami adalah sate padang dengan kuah berwarna merah khas Pariaman.

“Padahal kuah kuning itu yang paling enak,” kata Pak Yansasmi. Kesalahan penyajian itu tak membuat kami kecewa lebih lama, kami langsung menyantapnya dengan potongan lontong dan taburan bawang merah goreng ditemani dengan secangkir teh manis hangat. Hmmm, lamak bana.

Usai makan-makan dan bincang-bincang itu kami berpisah. Sesampainya di hotel yang letaknya persis di depan Kanwil Sumbarja saya baru mengecek isi kotak kue takjil itu. Ternyata salah satu isinya adalah serabi dengan kuah gulanya. Langsung saya santap kudapan itu lagi. Padahal sudah tengah malam.

Esok paginya saya langsung mengajar di Kanwil Sumbarja sampai siang. Kemudian sehabis Asar saya langsung menuju bandara. Setelah berpamitan dengan Pak Andik dan Mas Hanip Nurjati yang mengantar saya ke bandara, saya kemudian masuk pintu keberangkatan. Kurang satu jam lagi pesawat yang akan membawa saya ke Halim Perdanakusumah akan segera tiba. 

Suasana Bandara Internasional Minangkabau menjelang petang.
Silaturahmi dengan Kepala Kantor Wilayah DJP Sumatra Barat dan Jambi Aim Nursalim Saleh.
Resto Sate Manangkabau.
Kuali tempat bumbu kuah sate di Sate Manangkabau.
Suasana resto yang masih ramai didatangi pengunjung.
Bersama F.G. Sri Suratno.
Bersama kita bisa.
Menjelang berbuka puasa.
Takjil yang tersaji di ketinggian 34.000 kaki.

Pada pukul 17.55 pesawat mulai bergerak untuk tinggal landas. Banyak kursi yang kosong. Kursi di deretan saya juga tidak terisi. Kata teman, sejak harga tiket mulai tidak rasional penerbangan Padang-Jakarta banyak yang tidak terisi penuh. Padahal jalur itu termasuk jalur gemuk.

Saya sudah menyiapkan sebotol air minum untuk berbuka puasa. Kiranya saya akan berbuka puasa di atas ketinggian. Tentunya dengan waktu yang seharusnya lebih cepat karena pesawat ini mengarah ke timur. Ternyata tidak. Saya tetap berbuka puasa di atas kota Palembang. Pada jam yang sama dengan waktu berbuka puasa di Kota Padang:17.21.

Saya jadi ingat waktu iftar yang berbeda di gedung tertinggi di dunia: Burj Khalifa, Dubai, Uni Emirat Arab. Dengan ketinggian lebih dari 828 meter atau 160 lantai, maka waktu berbuka puasa dibagi tiga segmen yang didasarkan pada saat matahari terbenam benar-benar terlihat oleh penghuni bangunan itu.

Jadi orang-orang yang tinggal di lantai atas Burj Khalifa harus menunggu sedikit lebih lama untuk berbuka puasa dan harus lebih awal sahur karena azan Subuhnya lebih cepat.

Mereka yang tinggal di lantai 80 ke bawah mengikuti waktu berbuka yang disiarkan di tv-tv atau diperdengarkan oleh masjid sekitar. Mereka yang tinggal di antara lantai 80 (ketinggian di atas 414 meter) dan lantai 150 maka waktu berbukanya ditunda dua menit. Sedangkan mereka yang tinggal di lantai 150 ke atas (ketinggian 800 meter) harus menunggu tiga menit lebih lama untuk berbuka puasa.

Sekarang saya berada di ketinggian lebih dari 800 meter, 34.000 kaki di atas permukaan laut. Awak kabin memberikan sepotong roti isi sosis, kukis, air putih, dan teh manis untuk kawan berbuka puasa. Di luar jendela, awan-awan putih mulai menghitam, menyisakan segaris tipis merah di barat yang semakin tertinggal di belakang. Tetapi tidaklah dengan Padang. Ia menjadi kenangan di kepala dan memijar terang benderang. Seperti binar bapak dulu.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
27 Mei 2019

Advertisement

Tinggalkan Komentar:

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.